Sejarah Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
Setiap tahun di bulan Rabiul awal, tepatnya tanggal 12 di bulan ini, sebagian dari umat Islam merayakan hari maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam dengan berbagai macam bentuk dan ragamnya, dari yang merayakan secara sederhana di masjid-masjid diselingi dengan ceramah tentang perjalanan hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai yang merayakannya dengan penuh semarak, berisikan rangkaian acara yang menyita waktu, tenaga dan dana yang tidak sedikit.
Tapi, tahukah kita dari mana perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam berasal? Siapakah yang pertama kali merayakannya dan kapan itu terjadi? Apakah hal ini telah ada sejak zaman Rasulullah, ataukah zaman Abu bakar, Umar bin Khattab, Utsaman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib?
Sejarah tidak mencatat bahwa perayaan maulid pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah hidup, dan juga tidak ada pada zaman alkhulafa’ arrasyidin, Abu Bakar ash shiddiq, Umar bin Khattab, Utsaman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, padahal mereka adalah orang yang paling cinta pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bahkan sejarah tidak menyaksikan perayaan ini di masa-masa awal Islam, baik pada masa sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, Tabi’in dan generasi pengikut Tabi’in, masa di mana hidup para ulama-ulama mazhab ternama, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad. Padahal mereka adalah generasi yang paling paham dengan sunnah-sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, sangat antusias dalam mengamalkan dan menyebarkannya baik lisan maupun tulisan, merekalah generasi yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai generasi terbaik. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in )” (HR. Bukhari&Muslim).
Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam pertama kali dirayakan setelah generasi terbaik Islam, yaitu pada abad keempat hijiriyah, di zaman dinasti Fathimiyah berkuasa di Mesir. Hal ini dinyatakan oleh seorang pakar sejarah dinasti Fathimiyah, Taqiyuddin al Muqrizy (wafat 845 H), beliau berasal dari Kairo dan tinggal di sana, beliau berkata: “Adalah para khalifah (pemimpin) dinasti Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar (yang mereka rayakan), yaitu: hari Raya tahun baru, hari raya Asyura`, hari raya maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam, hari ulang tahun Ali ibn Abi Thalib, ulang tahun Hasan dan Husain, ulang tahun Fathimah, ulang tahun Khalifah yang sedang berkuasa, malam awal Rajab, malam nishfu Rajab, malam awal Sya’ban, malam nishfu Sya’ban, malam Ramadhan, awal Ramadhan, tengah Ramadhan, malam khataman, hari raya Idul Fitri, hari raya Kurban, hari raya Ghadir, Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), hari besar penaklukan Teluk, hari raya Nairuz (tahun Baru Persia), hari raya al-Ghuthas, hari ulang tahun, hari raya Khamis al-Adas (perayaan 3 hari sebelum hari paskah umat Nasrani), dan hari-hari Rukubat”([1]). Dalam keterangan lain beliau berkata: “Pada bulan Rabiul Awal (yakni pada tahun 394 H) manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir”([2]).
Perayaan maulid ini terus berlangsung pada masa pemerintahan Fathimiyah sampai pertengahan abad keenam hijriyah di saat runtuhnya dinasti Fathimiyah di tangan Salahuddin al Ayyubi.
Perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam kembali dirayakan dengan semarak oleh Raja Mudzaffaruddin, yang diangkat oleh Shalahuddin al Ayyubi menjadi raja Irbil pada tahun 580 H dan juga ipar dari Salahuddin al Ayyubi. As Suyuthi berkata: “Orang yang pertama kali melakukan hal itu (merayakan maulid Nabi shallallahu alaihi wasallampent) penguasa Irbil, raja al Mudzhaffar Abu Said kukburi bin Zainuddin Ali bin baktakin”([3]). Ibnu Katsir menyebutkan bahwa perayaan maulid di masa raja al Mudzhaffar sangat semarak, dengan berbagai bentuk makanan dan menghadirkan tokoh-tokoh sufi lalu bersama mereka mendengarkan irama-irama musik dari waktu dhuhur sampai subuh, perayaan tersebut sampai menghabiskan dana 300 ribu dinar([4]).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang pertama kali memunculkan perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah dari kalangan pemimpin dinasti Fathimiyah di Mesir.
Lalu, siapakah mereka? Mereka adalah keturunan Bani Ubaid al Qaddah, yang menamakan diri mereka dengan nama Fathimi, mereka mengklaim bahwa nasab mereka berasal dari salah seorang anak Ali bin Abi Thalib, yaitu Aqil. Namun klaim ini dibantah oleh para ulama dan pakar sejarah. Kakek mereka Ibnu Daishan al Qaddah, salah seorang pendiri paham bathiniyah yang merupakan paham sesat dan kufur, sebagaimana yang dikatakan oleh al Qadhi al Baqillani: “mereka adalah kelompok yang menampakkan paham rafidhah (syi’ah) secara lahiriyah dan menyembunyikan kekufuran tulen”([5]). Mereka merayakan maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam bukan karena cinta kepada beliau dan keluarganya, tetapi untuk mengelabui orang-orang awam agar mendapat legitimasi atas klaimnya bahwa mereka adalah keturuan Ali bin Abi Thalib dan secara tersembunyi menjalankan misinya untuk merusak Islam dengan menyusupkan ke dalam ajaran Islam pemahaman dan amalan yang tidak berasal dari Islam.
Wallahu Ta’ala a’lam.
[1]. Almawa’idzh wal i’tibar (1/490)
[2]. Itti’azhul hunafa` (2/48)
[3]. lihat albida’ alhauliyah hal.148.
[4]. lihat albidayah wa annihayah (13/131)
[5]. lihat al bida’ alhauliyah hal 141.