Sejarah Kewajiban Puasa
Apakah ada kewajiban puasa bagi umat Islam di era Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum penetapan syariat kewajiban puasa Ramadhan? Terdapat beberapa pendapat ulama seputar hal ini. Di antara pendapat tersebut adalah:
Pertama: Tidak adanya puasa wajib sebelum datangnya kewajiban puasa Ramadhan.
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy rahimahullah berkata,
وقَدِ اخْتَلَفَ السَّلَفُ هَلْ فُرِضَ عَلى النّاسِ صِيامٌ قَبْلَ رَمَضانَ أوْ لا فالجُمْهُورُ وهُوَ المَشْهُورُ عِنْدَ الشّافِعِيَّةِ أنَّهُ لَمْ يَجِبْ قَطُّ صَوْمٌ قَبْلَ صَوْمِ رَمَضانَ
“Salaf berselisih pendapat apakah telah ada puasa wajib sebelum Ramadhan atau tidak? Mayoritas mereka dan merupakan pendapat yang masyhur di kalangan Syafi’iyyah bahwa tidak ada puasa wajib sebelum Ramadhan.” (Fathul-Bari: 4/103)
Beliau juga mengatakan,
فَمِن أدِلَّةِ الشّافِعِيَّةِ حَدِيثُ مُعاوِيَةَ مَرْفُوعًا: لَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيامَهُ
“Di antara dalil Syafi’iyyah yaitu hadits Mu’awiyah secara marfu’: ‘Allah tidak mewajibkan puasa (Asyura)’.” (Fathul-Bari: 4/103)
Kedua: Puasa wajib pertama adalah puasa Asyura.
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy rahimahullah berkata,
وفِي وجْهٍ وهُوَ قَوْلُ الحَنَفِيَّةِ أوَّلُ ما فُرِضَ صِيامُ عاشُوراءَ فَلَمّا نَزَلَ رَمَضانُ نُسِخَ
“Dalam pendapat lain yang merupakan pendapat Hanafiyyah bahwa yang paling pertama diwajibkan adalah puasa Asyura. Tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, hukum puasa Asyura mansukh (tidak lagi wajib).” (Fathul-Bari: 4/103)
Di antara dalil pendapat kedua ini:
1. Hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau meriwayatkan,
لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ. فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ, فَقَالُوا: هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْفَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. ثُمَّ أَمَرَ بِصَوْمِهِ
“Setibanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Mereka ditanya tentang masalah itu, lalu mereka menjawab, ‘Ini adalah hari di saat Allah memenangkan Musa ‘alaihissalam dan bani Israil atas Firaun. Sehingga kami berpuasa untuk mengagungkan hal itu.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kami lebih berhak kepada Musa daripada kalian.’ Kemudian beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari Asyura.” (Muttafaq ‘Alaihi, HR. Bukhari: 3943, dan Muslim: 1130)
2. Hadis Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau meriwayatkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِصِيَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ. فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan untuk berpuasa pada hari Asyura sebelum diwajibkannya Ramadhan. Tatkalah puasa Ramadhan diwajibkan, maka pada hari Asyura siapa saja boleh berpuasa dan siapa juga boleh berbuka.” (Muttafaq ‘alaihi, HR. Bukhari: 2001, dan Muslim: 1125)
Ketiga: Puasa 3 hari setiap bulan.
Qatadah rahimahullah berkata,
قَدْ كَتَبَ اللَّهُ تَعالى ذِكْرُهُ عَلى النّاسِ قَبْلَ أنْ يَنْزِلَ رَمَضانُ صَوْمَ ثَلاثَةِ أيّامٍ مِن كُلِّ شَهْرٍ
“Allah Ta’ala telah mewajibkan atas manusia puasa tiga hari setiap bulan sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan.” (Jami’ al-Bayan: 3/159)
Namun, pendapat ini dikritik oleh imam Abu Ja’far ath-Thabariy rahimahullah dengan menukil riwayat dari ‘Amr bin Murrah bahwa guru-gurunya dari kalangan sahabat meriwayatkan padanya:
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمّا قَدِمَ عَلَيْهِمْ أمَرَهُمْ بِصِيامِ ثَلاثَةِ أيّامٍ مِن كُلِّ شَهْرٍ تَطَوُّعًا لا فَرِيضَةً؛ قالَ، ثُمَّ نَزَلَ صِيامُ رَمَضانَ
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat datang menemui mereka, beliau memerintahkan mereka untuk puasa tiga hari setiap bulan sebagai suatu sunah bukan kewajiban.’ (Perawi) berkata, ‘Kemudian puasa Ramadhan diwajibkan’.” (Jami’ al-Bayan: 3/159)
Kapan Puasa Ramadhan Diwajibkan?
Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-2 Hijiriah, sebagaimana perkataan Imam an-Nawawiy rahimahullah:
صامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضانَ تِسْعَ سِنِينَ لِأنَّهُ فُرِضَ فِي شَعْبانَ فِي السَّنَةِ الثّانِيَةِ مِن الهِجْرَةِ وتُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الأوَّلِ سَنَةَ إحْدى عَشْرَةَ مِن الهِجْرَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa Ramadhan 9 tahun karena ia diwajibkan pada bulan Syakban di tahun kedua hijiriah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat pada bulan Rabiulawal tahun kesebelas hijriah.” (Al-Majmu’: 6/250)
Bagaimana Sejarah Tahapan Diwajibkannya Puasa?
Puasa Ramadhan tidaklah diwajibkan dalam satu tahapan, namun ada 3 tahapan dalam sejarah kewajibannya, yaitu:
Tahapan pertama: Puasa Ramadhan diwajibkan namun tetap diberikan pilihan untuk berpuasa atau bayar fidyah.
Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ حَتَّى نَزَلَتْ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
“Ketika turun ayat, ‘… Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…’. Ada yang tetap berbuka (tidak berpuasa) dan hanya membayar fidyah, sampai turun ayat setelahnya dan menasakhnya (menghapus hukumnya).” (Muttafaq ‘Alaihi, HR. Bukhari: 4507 dan Muslim: 1145).
Tahapan kedua: Puasa Ramadhan diwajibkan dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari lalu berbuka saat itu, jika ketiduran maka berbuka pada hari berikutnya saat matahari terbenam.
Tahapan ketiga: Puasa Ramadhan tanpa adanya syarat tersebut, jadi boleh saja berbuka jika matahari sudah terbenam di hari itu meskipun ketiduran.
Untuk 2 tahapan ini, terdapat sebuah hadis dari al-Bara’ radhiallahu ‘anhu, ia meriwayatkan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ } فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ }.
“Dahulu di kalangan para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila seseorang berpuasa lalu ketika tiba waktu berbuka dia tidur sebelum berbuka, maka dia tidak memakan sesuatu pada malam (itu) dan pada siang hari (keesokannya) hingga petang hari. Pada suatu ketika, Qais bin Shirmah al-Anshariy berpuasa, ketika tiba waktu berbuka dia mendatangi istrinya seraya berkata kepadanya, ‘Apakah kamu punya makanan?’ Istrinya berkata, ‘Tidak, namun aku akan membuatkannya untukmu.’ Di siang hari itu dia bekerja keras sehingga saat itu ia mengantuk lalu tertidur. Kemudian istrinya datang. Ketika istrinya melihat dia (sedang tertidur), istrinya berkata, ‘Rugilah kamu.’ Kemudian pada tengah hari keeseokannya Qais jatuh pingsan. Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah Ta’ala: ‘Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa bercampur dengan isttri-istri kalian.’ Dengan turunnya ayat ini para sahabat merasa sangat senang, hingga kemudian turun sambungan ayatnya: ‘Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu di waktu fajar’.” (HR. Bukhari: 1915)
Adapun yang tidak bisa sama sekali berpuasa, dan tidak pula bisa mengqadhanya di lain hari, maka diberikan keringanan membayar fidyah. ‘Atha mendengar Ibnu Abbas menyatakan:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فَلَا يُطِيقُونَهُ {فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}, لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“‘Bagi orang-orang yang berat menjalankannya maka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin’. Ibnu Abbas berkata, ‘Ayat ini tidak dimanshukh, namun ayat ini hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah sangat tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin’.” (HR. Bukhari: 4505). Wallahu a’lam