Sejak Kapan Implementasi Syariat Dipersoalkan?
Pertanyaan seputar “otoritas syariat” belum pernah mencuat ke permukaan sepanjang sejarah Islam. Sebab, otoritas syariat merupakan prinsip dasar yang diimani oleh setiap muslim. Kendati acap kali terjadi penyimpangan dalam implementasi syariat, tetapi prinsip dasar “otoritas syariat” tak pernah terusik.
Prinsip ini tetap tegak dengan kokoh walau dalam implementasinya tak jarang terjadi penyimpangan, perilaku zalim dan pelanggaran yang bertentangan dengan syariat. Namun tak pernah terbersit sedikit pun keinginan untuk mencari referensi hukum selainnya.
Selama ratusan abad Islam telah hadir di muka bumi, berdiri di berbagai negara, kerajaan dan dinasti yang tidak terhitung jumlahnya, yang dipimpin oleh beraneka ragam etnis, meski berbeda suku bangsa tetapi semuanya sepakat akan urgensi implementasi syariat, perbedaan hanya terletak pada frekuensi jauh dekatnya implementasi tersebut terhadap syariat.
Apa yang Berubah di Era Kita?
Eksistensi dunia Islam mengalami kemunduran drastis pasca runtuhnya khilafah. Berbagai wilayahnya dicaplok oleh penjajah, sumber dayanya dieksploitasi, bahkan tangan jahat para penjajah berani mengotak-atik komponen dasar Islam; terutama identitas, pengetahuan dan budayanya. Kemudian dihadirkan referensi hukum yang menyaingi syariat dengan memproduksi sistem hukum dan perundangan yang memarginalisasi otoritas syariat. Lalu komunitas muslim dipaksa tunduk kepada referensi hukum dan perundangan yang bertolak belakang dengan identitas dan wawasan budaya Islam.
Pada saat itulah persoalan “implementasi syariat” muncul ke permukaan, disusul dengan ramainya tuntutan penerapan syariat dari berbagai elemen masyarakat muslim, disertai seruan akan urgensinya dan usaha mengonter berbagai tuduhan dan hujatan terhadapnya.
Sebagian pembaca mungkin kaget dengan fakta bahwa persoalan implementasi syariat baru saja muncul, tepatnya di awal era kolonial yang masih segar dalam ingatan. Mata generasi kontemporer mulai terbuka saat menyaksikan kontroversi hebat terkait persoalan implementasi syariat, barangkali mereka mengira bahwa persoalan ini adalah isu lama dalam sejarah Islam yang dipicu hasil ijtihad atau pendapat tertentu, padahal faktanya tidaklah demikian.
Setelah hegemoni kolonialisme berhasil menyingkirkan referensial syariat, diskusi dan debat sengit terkait implementasi syariat mulai merebak. Pada awalnya dimulai dengan persoalan korelasi antara “agama dan negara”, dan apakah syariat Islam hanya terbatas pada hubungan spiritual antara hamba dengan Tuhannya, atau ia juga mencakup peraturan, perundangan dan sistem yang mengikat?
Pada periode ini tercatat banyak tulisan yang menyimpulkan bahwa syariat hanyalah doktrin spiritual yang berisi ajaran dan tugas individual, tidak mencakup kewajiban yang harus dilakukan atau larangan yang harus ditinggalkan, oleh sebab itu pandangan tersebut menganggap tidak perlu sibuk membahas soal implementasi syariat, sebab syariat tidak memiliki korelasi dengan sistem kekuasaan.
Maka bangkitlah ulama, para dai dan intelektual muslim mendiskusikan kasus ini dan membantahnya dengan mengerahkan perbendaharaan dalil-dalil syariat yang berlandaskan nas-nas wahyu. Tulisan demi tulisan silih berganti menjelaskan kekeliruan dan penyimpangan perspektif tersebut hingga runtuh berkeping-keping dan tak mampu bangkit kembali.
Perspektif asing yang telah menyibukkan publik untuk masa yang lama, kini menjadi pucat pasi dan ditinggalkan oleh para pengusungnya, setiap orang yang paham akan penelitian objektif merasa malu untuk melontarkannya. Maka para penyandang ideologi sekuler mulai mengalihkan medan perdebatan ke topik lain, seperti sarana memahami nas, studi historis dan relativitasnya.
Meski demikian, implementasi syariat tetap menjadi topik hangat dalam berbagai diskusi dan perhelatan pemikiran kontemporer. Pembahasan berlanjut sampai kepada persoalan yang lebih spesifik, perpustakaan pun dipenuhi dengan penelitian dan kajian yang tidak terhitung jumlahnya terkait topik ini.
Soalan kontemporer tersebut dapat dipecah ke dalam dua bagian:
Pertama, soalan terkait tata cara dan tantangan implementasi syariat, perincian hukum-hukum syariat, mana hukum tsawabit (konstan/tetap) dan mutaghayyirat (fleksibel/dapat berubah), serta soalan lainnya yang menimbulkan perdebatan intelektual yang luas. Semua persoalan tersebut sangat penting untuk dibahas agar konsep implementasi syariat dapat dipahami secara jelas dan mendalam.
Kedua, soalan yang terkait dengan hukum dasar implementasi syariat, inilah yang menjadi pemicu keraguan terkait konsep implementasi syariat dan berpotensi mengaburkan esensinya.
Lebih menarik lagi, bahwa mereka yang mendukung dan aktif mempromosikan persoalan tersebut tidak semuanya menganut perspektif anti Islam, persoalan tersebut justru sering keluar dari mulut tokoh-tokoh dan intelektual muslim yang tidak menolak dasar referensial syariat, bahkan sebagian mereka tidak menerima jika referensi hukum lain dijadikan rival bagi referensi yang bersumber dari wahyu.
Persoalan seperti ini dilema, karena isinya disepakati dan dihasut oleh dua kubu pemikiran yang kontradiktif. Bisa bersumber dari kubu yang anti terhadap dasar-dasar syariat yang pasti atau memang tidak menerima referensi wahyu, bisa pula dari kubu yang dengan tegas menyatakan beriman kepada wahyu dan konsisten terhadap syariat.
Persoalan implementasi syariat sangat banyak, setelah diteliti, diklasifikasi secara tematis dan sebagian persoalan dimerger dengan yang lainnya, maka disimpulkan ke dalam delapan persoalan, yang akan dikupas tuntas pada sesi-sesi berikutnya –Insya Allah-.
Bersambung…
(Tulisan adalah terjemahan resmi dari kitab “Su’aalaat Fii Tahkiim al-Syarii’ah” )