Sebab-sebab Ampunan (3)
Sebab Kedua: Istigfar
Istigfar merupakan sebab ampunan sebesar apa pun dosa seorang hamba, bahkan jika banyaknya dosa itu mencapai awan di langit atau hingga batas pandang kita. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
لو أخطأتُم حتَّى بلغت خطاياكم ما بين السماء والأرض، ثم استغفرتم الله لَغفر لكم
“Kalau sekiranya kalian bersalah hingga kesalahan kalian mencapai apa yang ada di antara langit dan bumi lalu kalian meminta ampunan Allah, niscaya Allah pasti mengampuni kalian.”[1]
Istigfar adalah meminta magfirah yang bermakna berarti perlindungan dari keburukan dosa dibarengi dengan ditutupinya dosa tersebut. Al-Quran banyak menyebutkan tentang istigfar dalam berbagai konteks, seperti perintah beristigfar. Allah berfirman,
وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“… Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 199)
Allah juga berfirman,
وَّاَنِ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ
“Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya.” (QS. Hūd: 3)
Konteks lain penyebutan istigfar di dalam Al-Quran ialah dengan menyebutkan pujian bagi orang yang mengerjakannya. Allah menyebutkan bahwa di antara ciri-ciri orang-orang beriman ialah:
اَلصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْمُنْفِقِيْنَ وَالْمُسْتَغْفِرِيْنَ بِالْاَسْحَارِ
“Orang-orang yang sabar, benar, taat, dan berinfak, serta memohon ampunan pada akhir malam.” (QS. Āli ‘Imrān: 17)
Allah juga berfirman,
وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ
“Pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS. Aż-Żāriyāt: 18).
وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri,) mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Āli ‘Imrān: 135)
Konteks penyebutan lainnya di dalam Al-Quran adalah penjelasan bahwa Allah mengampuni siapa saja yang meminta ampunan-Nya. Allah berfirman,
وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisā`:135)
Penyebutan Istigfar di dalam Al-Quran sering digandengkan dengan tobat. Dalam keadaaan seperti ini maka istigfar bermakna permintaan ampunan dengan lisan, sedangkan tobat bermakna berlepas dari dosa dengan hati dan anggota tubuh.
Terkadang pula istigfar hanya disebutkan secara tunggal tanpa digandengkan dengan apa pun, lalu dijanjikan ampunan sebagai balasannya. Namun, ada yang mengatakan bahwa maksud istigfar dalam konteks ini adalah istigfar yang dibarengi dengan tobat. Ada pula yang mengatakan bahwa nas-nas yang menyebutkan istigfar secara tunggal bersifat mutlak dan mengerucut pada makna yang disebutkan dalam surah Āli ‘Imrān ayat 135 di atas, yakni istigfar disertai meninggalkan dosa serta tidak meneruskannya. Allah menjanjikan ampunan bagi orang yang beristigfar dan tidak meneruskan perbuatannya. Olehnya itu, semua nas-nas yang bersifat mutlak dikerucutkan pada makna ini.
Ucapan seseorang, “Ya Allah ampunilah aku” adalah sebuah permohonan dan doa. Hukumnya sama seperti doa-doa lainnya. Jika Allah berkehendak, Dia mengambulkan dan mengampuni dosa orang yang meminta ampunan-Nya, apalagi jika ucapan itu berasal dari sanubari yang sangat menyesali akibat dosanya atau diucapkan pada saat mustajab semisal waktu sahur serta di penghujung salat.
Diriwayatkan dari Luqmān al-Ḥakīm bahwa beliau pernah berkata kepada anaknya,
يا بنيَّ عَوِّدْ لسانك: اللهمَّ اغفر لي، فإنَّ لله ساعاتٍ لا يرُدُّ فيها سائلاً
“Wahai anakku, biasakan lisanmu menyebut, ‘Allahummagfirlī (Ya Allah, ampunilah aku)‘ karena Allah menetapkan beberapa waktu yang di dalamnya Dia tidak menolak orang yang meminta pada-Nya.”[2]
Al-Ḥasan berkata,
أكثِروا من الاستغفار في بيوتكم، وعلى موائدكم، وفي طُرقكم، وفي أسواقكم، وفي مجالسكم أينما كُنتم، فإنَّكم ما تدرون متى تنْزل المغفرة
“Perbanyaklah beristigfar di rumah, saat makan, di jalan, pasar, dan perkumpulan kalian, di manapun kalian berada karena kalian tidak tahu kapan waktu diturunkannya ampunan.”[3]
Di dalam Kitab Ḥusnuẓẓan[4], Ibnu Abī Ad-Dunyā meriwayatkan hadis Abu Hurairah secara marfū’,
بينما رجلٌ مستلقٍ إذ نظر إلى السَّماء وإلى النجوم، فقال: إني لأعلم أنَّ لك رباً خالقاً، اللهمَّ اغفر لي، فغفر له.
“Ada seorang pria sedang berbaring seraya memandangi langit dan bintang-bintang, ia pun berkata, ‘Aku sangat tahu bahwa kalian memiliki Tuhan dan pencipta. Ya Allah, ampunilah aku.’ Lantas Allah pun mengampuninya.”
Muwarriq mengisahkan, “Ada seorang pria yang mengerjakan banyak keburukan, ia pun lalu keluar menuju tanah lapang yang tandus. Ia lantas menumpuk tanah lalu berbaring di atasnya. Ia lalu bergumam, ‘Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku.’ Allah pun berfirman, ‘Sesunggahnya orang ini tahu bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni atau mengazab.’ Allah pun lantas mengampuninya.”
Mugīṡ bin Sumay mengisahkan, “Suatu ketika ada seorang pendosa sadar. Ia pun berkata, ‘Ya Allah, berilah ampunan-Mu, Ya Allah, berilah ampunan-Mu.’ Lalu orang itu pun meninggal dan Allah pun mengampuninya.”[5]
Ini menguatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam aṣ-Ṣaḥīḥain:
إنَّ عبداً أذنب ذنباً، فقال: ربِّ أذنبتُ ذنباً فاغفر لي، قال الله تعالى: عَلِمَ عبدي أنَّ له رباً يغفر الذنب، ويأخذُ به، غفرتُ لعبدي، ثمَّ مكث ما شاء الله، ثم أذنب ذنباً آخر، فذكر مثل الأوَّل مرتين أخريين.
“Sesungguhnya seorang hamba melakukan dosa lalu ia berkata, ‘Tuhanku, aku telah melakukan sebuah dosa, ampunilah aku.’ Allah pun berfirman, ‘Hamba-Ku tahu bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa atau mengazab disebabkan dosa itu, Aku telah mengampuni hamba-Ku.’ Lalu ia pun hidup sesuai dengan kehendak Allah dan melakukan dosa lainnya.”[6] Nabi pun menyebutkan seperti di atas dua kali.
Di dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa pada ketiga kalinya Allah berfirman,
قد غفرتُ لعبدي، فليعمل ما شاء
“Aku telah mengampuni hamba-Ku, hendaklah ia mengerjakan apa yang ia inginkan.”[7]
Maksudnya, selama sang hamba berada dalam keadaan seperti yang disebutkan di atas, jika berdosa, ia pun memohon ampun/beristigfar. Makna lahiriah hadis ini menunjukkan bahwa yang dimaksud di sini ialah istigfar dengan tidak meneruskan dosa. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar aṣ-Ṣiddīq:
ما أصرَّ من استغفر وإنْ عاد في اليوم سبعين مرةً
“Orang yang selalu beristigfar (setiap berdosa secara jujur) bukanlah orang yang (dianggap) terus-menerus berbuat dosa, walaupun dalam sehari ia berbuat dosa sebanyak tujuh puluh kali.”[8]
===
[1] Lihat : Dīwān Abī Nuwwās hal. 620.
[2] Disebutkan oleh Ḥakīm at-Tirmiżiy dalam Nawādir al-Uṣūl (2/294)
[3] Idem
[4] Hal. 107, sanadnya lemah.
[5] HR. Hannād dalam az-Zuhd (hal. 942) dan Abū Nu’aim dalam al-Ḥilyah (6/68).
[6] HR. Bukhari (7507) dan Muslim (2758)
[7] HR. Muslim (2758)
[8] HR. Abu Daud (1514) dan Tirmizi (3559), hadis ini lemah. Tirmizi berkata, “Sanadnya bukan sanad yang kuat.”