Rasulullah Adalah Manusia

Michael H. Hart, seorang astrofisikawan, dalam bukunya yang berjudul “The 100” (100 orang paling berpengaruh dalam sejarah), menempatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada peringkat pertama orang yang paling berpengaruh dalam sejarah. Alasannya, karena beliau berhasil dari sisi keagamaan dan pemerintahan, dan pengaruhnya meluas ke seluruh penjuru dunia. Terlepas dari perdebatan yang terjadi di dalamnya, ini menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang luar biasa dan berhasil dalam misinya. Itu adalah penilaian lahiriah manusia yang tidak terlepas dari kekurangan dan kealpaan dari berbagai sisi. Namun yang tidak dapat disangga adalah penilaian Allah Ta’ala terhadap beliau sebagai manusia pilihan, tidak hanya dari sisi pandang tertentu namun dari berbagai sisi. Allah Ta’ala berfirman:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS. Asy Syarh:4)
Beliau pernah bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku adalah pemimpin anak cucu Adam (manusia) pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Beliau sampaikan itu bukan untuk membangga-banggakan diri sebagaimana beliau tegaskan dalam riwayat lain, tapi beliau mengabarkan kenyataan dan informasi dari Allah Ta’ala agar diketahui oleh umatnya, dan dijadikan sebagai keyakinan. Apakah ini hanya berlaku di akhirat saja, sebagaimana yang mungkin dipahami dari sabdanya: “pada hari kiamat?”, tentu tidak! Beliau lebih khusus menyebutkan hari kiamat karena pada hari itu akan tampak segala sesuatu sesuai kenyataan dan tidak seorang pun yang mampu mengklaim sesuatu, termasuk masalah ini, kecuali atas izin Allah dan benar adanya.
Kendati demikian, beliau adalah manusia biasa, berasal dari keturunan Nabi Adam alaihi salam, beliau lahir dari seorang ibu dan ayah dari jenis manusia.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu” (QS. Al Kahfi:110)
Dan ini yang dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik pada zaman beliau untuk menolak risalah yang dibawanya, mereka tidak menerima seorang Rasul yang berasal dari kalangan manusia yang memiliki sifat-sifat manusia, mereka ingin diutus malaikat yang menurut mereka memiliki sifat-sifat sempurna:
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَن يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَىٰ إِلَّا أَن قَالُوا أَبَعَثَ اللَّـهُ بَشَرًا رَّسُولًا . قُل لَّوْ كَانَ فِي الْأَرْضِ مَلَائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِم مِّنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَّسُولًا
Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: “Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi Rasul?”.Katakan“ah: “Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi Rasul” (QS. Al Isra:94-95).
Sisi Manusia Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah, sebagaimana manusia lainnya, memiliki sifat-sifat manusia, hanya saja Allah Ta’ala telah mendidiknya sehingga memiliki sifat-sifat terpuji dan dibersihkan dari sifat-sifat tercela yang dibenci fitrah murni manusia. Allah telah memujinya dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qolam: 4)
Rasulullah sebagai manusia biasa memiliki perasaan. Beliau juga senang ketika ada hal yang menggembirakannya, bersedih ketika tertimpa apa yang membuat manusia bersedih ketika mengalami hal yang serupa. Beliau bersedih ketika anaknya yang bernama Ibrahim meninggal, beliau memeluknya dan menciumnya hingga tidak terasa air matanya bergelimang membasahi pipi dan janggutnya. Melihat adegan itu, sebagian sahabat berkata dengan nada heran: “(anda menangis) padahal anda adalah seorang Rasul”?, maka beliau menjawab: “Ini adalah rahmat (kasih sayang)”, sambil meneteskan air mata beliau bersabda: “Mata meneteskan air mata, hati bersedih, namun kami tidak berucap kecuali apa yang diridhai Rabb kami” (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga lupa sebagaimana manusia biasa lupa. Suatu ketika beliau shalat bersama para sahabatnya, setelah salam, salah seorang di antara mereka mengingatkannya bahwa telah terjadi sesuatu dalam shalat (jumlah rakaat lebih atau kurang), lalu beliau sujud sahwi dan bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Aku hanyalah manusia biasa seperti kamu sekalian yang dapat lupa seperti kalian Maka apabila aku lupa ingatkanlah aku” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan pernah beliau lupa mandi junub, ketika hendak takbiratul ihram dalam suatu shalat jama’ah, beliau teringat dan berkata kepada para sahabatnya: “Tetaplah di tempat kalian”, lalu beliau mandi wajib dan kembali ke masjid untuk mengimami sahabat-sahabatnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hal cinta dan benci, Rasulullah juga merasakannya. Beliau memiliki beberapa orang istri, namun ada sebagian yang lebih dicintainya dibandingkan dengan yang lain, dan ini adalah fitrah. Ketika beliau ditanya siapakah wanita yang paling ia cintai, maka beliau menjawab: “Aisyah”, lalu sahabat bertanya: “Dari kalangan laki-laki”?, beliau menjawab: “Abu Bakr” (HR. Tirmidzi).
Dan ketika Wahsyi (orang yang membunuh Hamzah, paman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) datang ke Medinah memproklamirkan keislamannya di hadapan Rasulullah, beliau berkata kepadanya: “Bisakah kamu bersembunyi dariku (agar aku tidak melihat wajahmu)”? (HR. Bukhari). Merupakan fitrah manusia benci melihat wajah orang yang telah menyakiti kerabat atau sahabatnya, dan tidak harus terjerumus ke dalam sikap boikot yang terlarang.
Walaupun beliau sebagai seorang Nabi yang terkadang tahu perkara gaib yang telah diwahyukan kepadanya, namun dalam beberapa perkara yang belum ada wahyu mengabarkannya, beliau pun tidak mengetahuinya sebagaimana manusia biasa. Hal ini tampak jelas dalam beberapa kejadian yang beliau alami, di antaranya ketika tersebar fitnah bahwa istrinya Aisyah “selingkuh” dengan laki-laki lain, beliau tidak dapat memastikan bahwa itu adalah dusta karena tidak ada saksi, hingga turun wahyu dari langit yang membantah fitnah itu. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” (QS. An Nur:11).
Demikian juga ketika dua orang datang kepada beliau untuk memutuskan perkara sengketa di antara mereka, lalu beliau memutuskan perkaranya dan memenangkan salah satu di antara keduanya, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian berdua membawa persengketaan kalian kepadaku. Mungkin saja salah seorang dari kalian lebih lihai dalam membawakan alasannya dibanding lawannya, sehingga aku pun memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar dari kalian” (Muttafaqun ‘alaih).
Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah mengalami sakit fisik, diracun oleh seorang wanita yahudi, gigi geraham beliau rontok terkena tombak musuh, kepala beliau terluka mengucurkan darah terkena senjata dalam peperangan, terperosok ke dalam parit hingga kakinya cidera, tangan kanannya patah akibat jatuh dari kudanya sehingga terpaksa memimpin shalat dalam keadaan duduk, bahkan beliau pernah disihir oleh seorang lelaki dari kalangan yahudi, hingga beliau kadang merasa melakukan sesuatu padahal ia tidak melakukannya akibat pengaruh sihir itu.
Demikianlah, ketika kita menelusuri perjalanan hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita dapati bahwa beliau juga adalah manusia biasa, mengalami dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan manusia lain, membutuhkan apa yang dibutuhkan manusia biasa, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Namun dengan bimbingan Allah ta’ala serta usaha keras beliau, sehingga beliau menempati kedudukan yang mulia di mata manusia, dan derajat tertinggi di sisi Allah ta’ala. Allahumma shalli wasallim wabaarik alaihi.