Puasa & Ramadhan

Puasa Ramadan dan Buah Ketakwaan

(Prof. Dr. Hafizh bin Muhammad al-Hakamiy -hafizhahullah-)

Segala puji hanya bagi Allah, Rabbul-‘alamin. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul-Nya al-Amin, para keluarga dan sahabatnya, serta orang-orang yang meneladani mereka di atas kebaikan hingga hari Kiamat. Amabakdu:

Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).

Pada ayat yang suci ini, Allah Ta’ala menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman bahwa Dia telah mewajibkan atas mereka ibadah puasa Ramadan dengan tujuan agar karakter ketakwaan bisa terwujud dalam diri mereka, yaitu dengan mengaplikasikan ketaatan kepada Allah dan menjauhi segala maksiat kepada-Nya. Karakter takwa inilah yang membuat mereka pantas meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memaparkan fadilah takwa ini serta besarnya buah positifnya bagi penyandangnya dengan berfirman,

{وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا}

Artinya: Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ}

Artinya: “Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

{وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ}

Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran: 133).

Sungguh, tak akan ada nikmat dan kebahagiaan yang bisa menyamai buah ketakwaan yang ada dalam ayat-ayat ini, berupa: penghilangan musibah, pemudahan berbagai urusan, penganugerahan rezeki baik dari arah yang disangka-sangka ataupun tidak, dan raihan surga yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala menggambarkan ini dalam firman-Nya:

{فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ}

Artinya: “Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Baca Juga  Sejarah Syariat Puasa

Sungguh tak diragukan, ganjaran ini merupakan keuntungan luar biasa yang selalu dicita-citakan oleh orang-orang mukmin dan dikejar oleh orang-orang yang memiliki semangat tinggi. Ia tidak dipedulikan dan dihiraukan kecuali oleh orang yang lemah iman, yang dikalahkan oleh hawa nafsu, dan ditawan oleh jeratan setan.

Inilah bulan Ramadan! Ia telah ada di ambang pintu, bahkan pancaran hilalnya telah hampir menyinari. Orang-orang beriman yang mengarapkan pakaian ketakwaan hendaknya bergembira menyambutnya karena Allah berfirman,

{وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ}

Artinya: “Pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26)

Di antara persoalan yang mesti diperhatikan adalah bahwa hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertujuan untuk menjelaskan dan memperinci makna-makna ayat Al-Quran sebagaimana dalam firman Allah:

{وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ}

Artinya: “Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).

Sebab itu, hadis-hadis Rasulullah telah secara gamblang menjelaskan bahwa puasa yang sesuai tuntutan syariat dan yang memiliki banyak buah positif yang agung  dalam diri orang mukmin bukanlah sekadar aktivitas menahan diri dari makan dan minum saja. Namun, harus berupa aktivitas puasa yang di dalamnya seorang mukmin konsisten menerapkan syarat-syarat dan adab-adabnya, serta menjauhi berbagai pelanggaran dan larangan-larangan syariat.

Di antara hadis tersebut adalah yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Artinya: “Siapa yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala, maka dosa-dosanya yang berlalu akan diampuni.”

Hadis ini memberikan penjelasan bahwa puasa yang bermanfaat dalam pengampunan dosa harus memenuhi dua syarat, yaitu:

  • Keimanan, yaitu keyakinan akan wajibnya puasa Ramadan sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.
  • Pengharapan pahala (Ihtisab); tentang maknanya, al-Imam al-Khatthabiy rahimahullah berkata, “Yaitu ia berpuasa karena mengharapkan pahalanya, dengan penuh suka cita melaksanakannya, tidak berkeluh kesah lantaran beratnya, dan tidak pula merasa hari-harinya kelamaan.” (Lihat: al-Fath: 4/115).
Baca Juga  Keutamaan dan Teknis Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Jadi, kesimpulan hadis ini adalah bahwa hendaknya seorang muslim berpuasa Ramadan sebagai implementasi perintah Allah Ta’ala, bukan untuk mengikuti kebiasaan tahunan atau ikut-ikutan, bukan untuk tujuan pengobatan ataupun diet, serta tujuan duniawi lainnya. Sebaliknya, ia berpuasa Ramadan dengan tekad ibadah yang tulus sembari mengharapkan pahala dari Allah, tidak menampakkan rasa kesal dan keluh kesah lantaran beratnya puasa, dan tidak pula menampakkan kondisi kekurangannya di hadapan orang lain agar dikasihani dan diberikan bantuan lantaran ia telah berpuasa.

Di samping itu, orang yang berpuasa hendaknya menahan diri dari berbagai maksiat dan pelanggaran syariat. Dalam ash-Shahihain dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصيامُ جُنَّةٌ، فإذا كان أحدُكم صائمًا فلا يَرفُثْ ولا يَجهلْ، فإنِ امْرُؤٌ شاتَمَه أو قاتَلَهُ فَليَقُلْ إنِّي صائمٌ

Artinya: “Puasa adalah perisai. Bila kalian sedang dalam masa puasa, hendaknya ia tidak berbuat rafats (perbuatan keji) dan tidak pula berbuat jahl (maksiat). Jika ada orang lain yang memukulnya atau mencelanya, hendaknya ia menyatakan: saya sedang berpuasa.”

Makna “rafats” dalam hadis ini adalah ucapan kotor dan jimak serta mukadimahnya. Adapun makna “jahl” maka mencakup seluruh maksiat; sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar. Bahkan, Ibnu Hajar menukil kesepakatan para ulama tentang wajibnya puasa yang membuahkan ketakwaan dan mendatangkan ampunan dosa tersucikan dari berbagai maksiat. Beliau berkata, “Para ulama bersepakat bahwa maksud puasa tersebut adalah puasa orang yang tersucikan dari maksiat, baik maksiat lisan ataupun perbuatan.” (Al-Fath: 4/109).

Dalam ash-Shahihain juga terdapat hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من لم يدَعْ قولَ الزُّورِ والعملَ بِهِ ، فليسَ للَّهِ حاجةٌ بأن يدَعَ طعامَهُ وشرابَهُ

Artinya: “Siapa yang tidak meninggalkan ucapan az-zur dan perbuatan az-zur, maka Allah tidak butuh pada aktivitas meninggalkan makan dan minumnya.”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Makna az-zur di sini adalah ucapan dusta, kejahilan, dan kebobrokan.” (Al-Fath: 4/109). Tentunya, tiga hal ini mencakup seluruh jenis maksiat, baik berupa ucapan ataupun perbuatan.

Baca Juga  Setiap Hari dan Malamnya Pembebasan dari Api Neraka

Jadi, puasa yang sesuai tuntunan syariat adalah berupa aktivitas menahan diri dari makan, minum, serta seluruh pembatal puasa dan syahwat yang diharamkan. Dalam hadis qudsi yang terdapat dalam ash-Shahihain, Allah Ta’ala berfirman,

يَتْرُك طَعَامه، وشَرَابه، وشَهوته من أجلي، الصيام لي وأنا أَجْزِي به

Artinya: “(Hamba-Ku) meninggalkan makannya, minumnya, dan syahwatnya demi Aku. Puasa itu khusus untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.”

Jika orang yang puasa tidak meninggalkan syahwat yang diharamkan, maka puasanya tidak bermanfaat bagi dirinya karena puasa ini tidak akan mewujudkan tujuan puasa yang ditetapkan oleh syariat, yaitu ketakwaan, karena hakikat ketakwaan adalah mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Al-‘Allamah al-Baidhawiy rahimahullah berkata, “Pensyariatan puasa tidak bertujuan pada rasa lapar dan dahaga, tetapi bertujuan pada pengekangan syahwat dan penundukan jiwa yang penuh syahwat terhadap jiwa yang penuh ketenangan (ketaatan). Jika hal ini tidak terwujud, maka Allah tidak akan menerima (pahala) puasanya.” (Al-Fath: 4/117).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan juga menjelaskan bahwa ada orang yang tak mendapatkan manfaat apa-apa dari ibadah puasanya; sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad dan Mustadrak al-Hakim bahwa beliau bersabda.

ربَّ صائم حظه من صيامه الجوع والعطش

Artinya: “Boleh jadi orang yang puasa itu, hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja (tanpa berpahala).”

Kesimpulannya: hendaknya orang yang ingin puasanya membuahkan nilai ketakwaan memperhatikan hal-hal yang disebutkan dalam hadis-hadis sahih yang tersebut di atas; karena ia termasuk ilmu wajib yang mesti dituntut lantaran termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

طلب العلم فريضة على كل مسلم

Artinya: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Kita memohon kepada Allah dengan kemurahan-Nya agar menyampaikan kita pada bulan Ramadan, memberikan kita semua taufik untuk berpuasa dan melaksanakan qiyamullail di dalamnya dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala, serta menjadikan kita termasuk golongan yang bertakwa.

Semoga selawat dan salam senantiasa Allah curahkan kepada hamba dan rasulnya, Muhammad.

Maulana Laeda, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?