Puasa dan tauhid
Allah ta’ala berfirman:
لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 177)
Ayat diatas menjelaskan tentang tiga pilar ketakwaan yaitu Iman/tauhid, ibadah dan akhlak. Oleh karenanya takwa tidak akan sempurna kecuali bila ketiga pilar tersebut terpenuhi. Keimanan merupakan pilar yang paling penting, olehnya ibadah dan akhlak tidak akan membuahkan ketakwaan tanpanya. Itulah sebabnya iman/tauhid termaktub pada urutan yang pertama sebelum ibadah dan akhlak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabada:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وإِقَامِ الصَّلَاةِ، وإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadhan.'” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadis diatas menjelaskan 5 rukun Islam, yaitu syahadat tauhid & risalah, salat, zakat, puasa serta haji. Mengapa tauhid menjadi rukun islam yang pertama? Karena tauhid adalah landasan bagi empat rukun yang lain, dimana ke empat rukun tersebut tidak akan tegak tanpa tauhid, sehingga para ulama bersepakat tentang hancurnya amal ibadah (termasuk empat rukun salat, puasa, zakat, dan haji) bila tidak dilandasi oleh tauhid. Selain itu, hadis tadi juga mengisyaratkan bahwa amal ibadah (termasuk empat rukun salat, puasa, zakat, dan haji) hendaknya mampu meningkatkan tauhid kepada Allah ta’ala.
Terkait ibadah puasa yang sedang dijalani, sejatinya memiliki nilai-nilai tauhid yang terkandung padanya. Diantara nilai-nilai tersebut sebagaiman berikut:
- Keyakinan bahwa hanya Allah ta’ala sajalah yang berhak menetapkan suatu syariat, memerintah ataupun melarang, menentukan halal ataupun haram, merupakan bagian dari tauhid rububiyah, Allah ta’ala berfirman:
أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha Suci Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-A’raf : Ayat 54)
Oleh karenanya ayat perintah puasa didahului oleh panggilan bagi orang-orang Yang beriman, Allah ta’ala berfirman:
((يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ))
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 183)
Pengkhususan orang-orang yang beriman dalam perintah puasa merupakan isyarat bahwa iman dan tauhid adalah landasan utama bagi ibadah puasa. Pengamalan ibadah puasa akan terasa ringan, sebab dilakasnakan dengan penuh harap dan cinta pada Allah ta’ala.
- Ibadah puasa juga menjadi bentuk realisasi terhadap tauhid uluhiyyah; menyerahkan segala bentuk ketaatan dan peribadatan hanya bagi Allah ta’ala semata.
Keyakinan ini akan mendorong kepada keikhlasan dalam melaksanakan ibadah puasa dan kesungguhan untuk menjaganya dari setiap hal yang merusak. Ibadah dan ketaatan bila tercampur maksiat, bagaikan madu atau susu yang tercampur racun; keduanya menjadi tidak bermanfaat, bahkan justru membahayakan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari)
- Keimanan dan ihtisab (pengharapan akan pahala) saat menjalankan ibadah puasa, merupakan bentu realisasi tauhid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صام رمضان إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berpuasa dengan (penuh) keimanan dan pengharapan (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis diatas menjelaskan kaitan puasa dan tauhid. Dimana Rasulullah menegaskan bahwa pahala puasa dan pengampunan dari dosa masa lampau, hanya akan diraih bila syaratnya terpenuhi; yaitu dengan iman dan ihtisab. Iman dalam berpuasa bermakna keyakinan penuh kepada Allah ta’ala seraya membenarkan rububiyah dan uluhiyyahNya. Adapun maksud ihtisab pada puasa adalah memurnikan niat dan tujuan hanya kepada Allah ta’ala seraya mengharapkan pahala dariNya, bukan karena riya atau pujian. Maka iman dan ihtisab bagi tauhid, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.