Puasa Bulan Sya’ban
Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah melakukannya sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha :
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم استَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَر مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
Artinya : ” Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali dalam Ramadhan dan saya tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari : 1969 dan Muslim : 1156)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh kecuali dalam bulan Ramadhan, adapun puasa beliau di bulan Sya’ban maka jumlah harinya melebihi puasa di bulan lainnya walaupun tidak sampai berpuasa Sya’ban satu bulan penuh.
Hadits ini juga menunjukkan fadhilah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, namun ini bukan berarti fadhilah puasa Sya’ban lebih utama daripada puasa Muharram, karena bagaimanapun juga puasa Muharram tetap yang lebih utama setelah Ramadhan dengan beberapa alasan:
Pertama: Adanya hadits yang shahih:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ الله الْمُحَرَّم
Artinya : “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim : 1163).
Kedua: Memperbanyak puasa Sya’ban tidak menunjukkan bahwa ia lebih utama daripada puasa Muharram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan suatu alasan yaitu persiapan untuk menghadapi bulan Ramadhan.
Ketiga: Keutamaan puasa Muharram bersumber dari sunnah qauliyah (ucapan beliau) sedangkan puasa Sya’ban bersumber dari sunnah fi’liyah (amalan beliau), dan jika keduanya kontradiktif maka sunnah qauliyah lebih diutamakan daripada sunnah fi’liyah.
Keempat: Lagipula dalam bulan Muharram terdapat hari ‘Asyura yang mana keutamaan puasa di dalamnya dapat menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya.
Adapun alasan beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban maka sebagian ulama mengatakan bahwa alasannya adalah:
- Untuk berlatih puasa sehingga terasa mudah menjalani puasa Ramadhan karena telah terbiasa dengan puasa Sya’ban.
- Beliau melakukannya untuk mengingatkan para sahabatnya dengan dekatnya bulan Ramadhan.
- Sebagai rasa syukur atas dekatnya kedatangan Ramadhan.
Lalu apakah dibolehkan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban ?
Jawabannya adalah tetap dibolehkan berpuasa karena dalil larangan berpuasa selepas pertengahan Sya’ban adalah dhoif lagi munkar yaitu hadits Al ‘Alaa’ bin Abdur Rahman dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا
Artinya : “Jika bulan Sya’ban telah memasuki pertengahan maka janganlah kalian berpuasa.” (HR. Ahmad : 2/442 dan Empat imam ahli sunan[1])
Imam Ahmad mengomentari hadis ini : “Ia adalah hadits munkar,” juga dinilai dhoif oleh Yahya bin Ma’in, Ibnu Mahdi, Abu Zur’ah, Nasai, Abu Bakr Al-Atsram, Al-Khalili, dan selain mereka. Hadits ini di dalam sanadnya terdapat Al-‘Alaa’ bin Abdur Rahman ; rawi yang tsiqah, namun para imam dan huffadz mengingkari hadits ini karenanya. Ibnu Mahdi berkata : “Al-‘Alla’ tsiqah, haditsnya tidak diingkari kecuali hadits ini.” Abu Hatim juga berkata : “Ia shalih, para tsiqat telah meriwayatkan darinya, namun saya mengingkari beberapa haditsnya,” dan termasuk yang Abu Hatim ingkari dari riwayatnya adalah hadits ini[2].
Adapun larangan berpuasa dalam bulan Sya’ban adalah tanggal 30 Sya’ban yang juga disebut sebagai yaum asy-syak (hari syak/hari yang diragukan), karena dikhawatirkan saat itu Ramadhan telah masuk. Dalil pengharaman puasa ini adalah hadits ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma :
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (masuk dalam Ramadhan ; 30 Sya’ban) maka ia telah bٍermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. Abu Daud 2334, Ibnu Majah 1645, An-Nasai (4/153) , Tirmidzi 68 6 dan berkata : hadits hasan shahih, juga dinukil oleh Bukhari dalam Shahihnya dari jalur Shilah dari ‘Ammar radhiyallahu ‘anhu – sebelum hadits no. 1906 – secara mu’allaq ( tanpa sanad yang bersambung ).
Puasa pada 30 Sya’ban ini tidak boleh dilakukan kecuali:
Pertama: Bagi orang yang telah terbiasa puasa misalnya telah terbiasa puasa senin kamis atau puasa Daud, maka ia boleh berpuasa pada hari itu jika bertepatan dengan hari puasa kebiasaannya, ini sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
Artinya : “Janganlah seorang diantara kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari kecuali jika seseorang telah terbiasa dengan puasanya, maka hendaknya ia berpuasa pada hari itu.” (HR. Bukhari 1914)
Kedua: Bagi orang yang masih memiliki utang qadha puasa Ramadhan sebelumnya, maka ia wajib mengqadha puasanya walaupun bertepatan tanggal 30 Sya’ban (yaum asy-syak), karena puasa qadha ini adalah kewajiban yang harus ia bayar sebelum masuk bulan Ramadhan.
Ketiga: Orang yang memiliki puasa nadzar atau puasa kaffaarah/denda, maka ia wajib bersegera membayar puasa nadzar/kaffarahnya ini sesegera mungkin karena ia adalah utang yang wajib ditunaikan dan tidak boleh ditunda walaupun dalam yaum asy-syak.
Sebagian ulama berpendapat wajib berpuasa pada hari syak ini sebagaimana pendapat sebagian ulama madzhab Hanbaliyah[3], dan sebagian mereka ada yang berpendapat mustahab/sunnah, dan ada juga yang berpendapat makruh saja, namun yang benar/shahih adalah keharamannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu barangsiapa yang melakukan puasa pada hari ini dengan tujuan kehati-hatian / ihtiyaath masuknya Ramadhan, maka ia telah melakukan perkara haram dan puasanya tidak bernilai di sisi Allah Ta’ala.
Adapun puasa nishfu Sya’ban atau pengkhususan malamnya dengan berbagai macam ibadah maka ia adalah perkara bid’ah yang tidak bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun bersumber dari hadits-hadits palsu dan batil.
Walahu A’lam.
_____________________________
[1] .Abu daud (2337), An-Nasai dalam Sunan Kubra (2/172), At-Tirmidzi (738) dan Ibnu Majah (1651)
[2] .Komentar-komentar ulama ahli hadits ini silahkan dilihat di Kitab Fathul-Bari karya Ibnu Rajab 4/152, Su-aalaat Al-Barda’i 2/388, Lathaaiful-Ma’aarif 151, As-Sunan Al-Kubra karya An-Nasai 4/209 dan Al-Irsyad karya Al-Khalili (1/217).
[3] .Adapun menisbatkan pendapat ini kepada Imam Ahmad sebagaimana yang terdapat dalam kitab Zaad Al-Mustaqna’ atau kitab Haasyiah Ar-Raudh, maka ini tidak shahih (Sulaiman Al-‘Ulwan).