Puasa & Ramadhan

Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal Sembilan bulan Dzul Hijjah. Dinamakan puasa Arafah karena pada hari itu seluruh jamaah haji berkumpul pada suatu tempat yang bernama padang Arafah.

Puasa Arafah sangat dianjurkan karena memiliki keutamaan yang luar biasa besarnya, di antara keutamaannya adalah: puasa Arafah menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صيام يوم عرفة، أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله، والسنة التي بعده

Artinya: “Puasa hari Arafah, aku harapkan dari Allah bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya”. (HR. Muslim, no. 1162)

Para ulama sepakat bahwa puasa Arafah disunnahkan bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi orang yang sedang berhaji. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:

Pendapat pertama: makruh hukumnya berpuasa Arafah bagi jamaah haji; karena puasa akan membuatnya menjadi lemah, sehingga tidak bisa maksimal dalam wukuf dan berdoa pada hari itu, padahal amalan haji yang paling utama adalah wukuf di Arafah, dan sebaik-baik doa adalah doa Arafah. Sedangkan puasa Arafah bisa ia kerjakan pada tahun-tahun berikutnya, berbeda dengan ibadah haji yang mungkin hanya mampu ia kerjakan sekali seumur hidup; oleh karena itu mendahulukan ibadah yang tidak terulang lebih utama daripada mendahulukan ibadah yang masih memungkinkan terulang.

Ini adalah pendapat jumhur ulama: madzhab Maliki[1], Syafi’i[2], dan Hanbali[3].

Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن صوم يوم عرفة بعرفة

Artinya: “Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa Arafah (bagi orang yang sedang wukuf) di Arafah”. (HR. Abu Dawud, no. 2440, dan Ibnu Majah, no. 1730).

Baca Juga  Pendidikan Karakter dalam Ibadah Puasa

Pendapat kedua: Disunahkan puasa Arafah bagi jamaah haji sebagaimana disunahkan bagi seluruh kaum muslimin yang lain; supaya mereka mendapatkan dua keutamaan sekaligus: keutamaan wukuf dan keutamaan puasa, kecuali bagi orang merasa lemah apabila berpuasa sehingga tidak mampu memaksimalkan wukuf, maka tidak dianjurkan berpuasa.

Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi[4], dalil mereka adalah: keumuman hadits tentang keutamaan puasa Arafah, dan secara nalar: bahwa orang yang mampu melaksanakan dua ibadah dalam satu waktu tanpa mempengaruhi kualitas ibadah tersebut lebih utama dari orang yang melaksanakan satu ibadah saja.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, berdasarkan dua sebab:

  1. Dalil tentang keutamaan puasa Arafah bersifat umum; karena masuk di dalamnya seluruh kaum muslimin (termasuk jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah), sedangkan dalil tentang larangan puasa bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah bersifat khusus, maka keumuman hadits pertama dikhususkan dengan kekhususan hadits kedua, berdasarkan kaidah yang mengatakan: الخاص يخصّص العام)) artinya: apabila ada dua dalil yang saling bertentangan, kemudian kita ketahui bahwa yang satu umum dan yang lain khusus; maka dalil umum dikhususkan dengan dalil khusus.
  2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada waktu beliau wukuf di Arafah. Diriwayatkan dari Ummu al Fadhl binti al Harits radhiyallahu anha bahwasannya beliau mengirimkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semangkuk susu, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminumnya. (HR. al Bukhari, no. 1658, dan Muslim, no. 1123), dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memilih kecuali perkara yang afdhal (lebih utama), wallahu a’lam.

_________________________________

[1]. Lihat: kitab Mawahib al Jalil fi syarh Mukhtashari Khalil, jilid: 2, halaman: 402.

Baca Juga  Salat Lail, Qiyam Lail, Tahajud, Tarawih dan Witir dalam Perspektif Istilah Syariat

[2]. Lihat: kitab Fath al ‘Aziz syarh al Wajiz, jilid: 6, halaman: 468.

[3]. Lihat: kitab al Inshaf fi Ma’rifat ar Rajih min al Khilaf, jilid: 3, halaman: 344.

[4]. Lihat: kitab Badai’ ash Shanai’ fi Tartib asy Syarai’, jilid: 2, halaman: 79.

Kholid Saifulloh, Lc., M.A.

Alumni S2, Bidang Ushul Fiqih, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?