Fikih

Persetujuan Penghalalan yang Haram

Sebuah teori fikih mengatakan bahwa: “Akad rusak, tidak dapat menjadi sah dengan kesepakatan”, hal ini guna menepis suatu opini yang mengatakan: “selama suka sama suka, maka tidak mengapa”.

Akad riba yang telah dihukumi sebagai akad yang haram oleh syariat, dapat menjadi halal bagi sebagian orang dengan dalih “sama-sama sepakat, jadi tidak mengapa”, senada dengan yang menghalalkan zina dan mengatakan “mereka sama-sama suka”.

Ulama menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, ada dua hak yang harus terus selalu dijaga;

Pertama: hak milik Allah; berupa perintah dan larangan

Kedua: hak sesama makhluk, terkhusus manusia.

Hal ini sering kita dengar dengan istilah: Hablun min Allah, wa Hablun minannas, (hubungan dengan Allah, dan hubungan dengan manusia).

Pada proses ritual peribadatan, biasanya hanya ada satu hak yang kita tunaikan, yaitu Hak Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak kita sembah. Hak manusia dalam hal ini tidak menjadi prioritas, melainkan hanya bersifat tambahan dan sampingan, misalnya: “Jangan membesarkan bacaan Al-Quran ketika ada orang yang sedang istirahat”, bacaan Al-Quran dalam kasus ini akan tetap sah, tapi kita mendapatkan dosa karena mengganggu ketenangan orang lain.

Lain halnya dengan akad dan muamalah keseharian kita, hal ini mengandung dua hak yang telah kita sebutkan. Sebagai contoh: Jual beli memiliki syarat dan rukun, syarat dan rukun ini diterapkan guna untuk menjaga salah satu atau dua hak ini, seperti: “tidak boleh melakukan jual beli benda najis” yang merupakan hak Allah, dan “tidak boleh melakukan jual beli tanpa keridaan pemilik barang” yang merupakan hak manusia.

Setelah hal di atas kita pahami, maka meskipun seseorang mengatakan: “Aku rida”, tapi barang yang dijual adalah barang najis, maka akad jual beli tersebut tetap tidak sah, sebab menyelisihi hak Allah, walaupun tidak menyelisihi hak sesama manusia.

Baca Juga   Jual Beli Sende, apakah sah atau tidak? (Bagian 1)

Lebih lanjut sebagai contoh  “hak pembatalan akad ketika terdapat cacat bagi pelaksana akad” yang mungkin terlihat sepele, tapi hak ini dipatenkan oleh Syariat dan tidak dapat di cancel meskipun salah satu atau kedua belah pihak yang berakad telah bersepakat untuk membatalkan hak tersebut.

Misalnya: seseorang membeli suatu produk dan ternyata terdapat cacat. Menurut syariat, pembeli berhak dan memiliki hak pembatalan akad dan pengembalian barang akibat cacat yang terjadi. Jika saja mereka sejak awal mengatakan: “kita sepakat bahwa jika terdapat cacat pada barang, maka Anda tidak berhak membatalkan akad ini”, maka hak pembatalan ini tidak akan gugur, sebab ia telah dipatenkan oleh syariat, dan tidak dapat di batalkan dengan berdalih “kesepakatan kedua belah pihak”.

Para ulama menyebutkan, bahwa akad yang tidak sah, akan batal secara otomatis tanpa pembatalan dari kedua belah pihak atau lafaz “saya batalkan akad ini”, karena “hak pembatalan akad” tidak hanya milik kedua belah pihak yang bertransaksi saja, namun juga milik Syariat. Olehnya, akad yang tidak sah, dapat di batalkan sepihak oleh agama karena melanggar hak Allah, meskipun mereka berdua sepakat untuk terus melanjutkan akad tersebut.

Sungguh benar perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu: “Tidak boleh seorang pun di pasar ini melakukan transaksi jual beli, melainkan seorang yang telah belajar ilmu agama”, karena sejatinya seorang yang paham agamalah yang akan senantiasa menjaga dua hak ini, Wallahu A’lam.

Referensi:
Badai’ Shana’i, Imam Kasaani

Nadzariat Fikhiyyah, DR. Muhammad Zuhaili

Usamah Maming, Lc., M.A.

Alumni S1 dan S2, Qassim University, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?