Persatuan Dalam Bingkai Tauhid
Islam datang dengan akidah, dan metode beragama yang meneguhkan status umatnya dan menggariskan baginya satu jalan yang bermuara pada gerbang kebahagiaan dan keselamatan. Ia datang dengan berbagai ajaran universal yang bertujuan mengokohkan eksistensi agama dan menjaga maslahat dunia manusia.
Hanya saja, status keotentikan akidah umat ini sering kali digugat, dan dikotori oleh para orientalis, dan pengklaim liberalis yang menginginkan umat ini melebur dalam satu ajaran dan doktrin dengan ajaran agama lainnya. Padahal, islam sebagai agama yang berdiri di atas kalimat tauhid “Laa ilaaha illallaah”, tidak akan mungkin bisa terwarnai oleh ajaran agama lainnya, baik yang berdiri di atas ajaran paganisme, ataupun doktrin trinitas. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (QS. Al-Anbiya: 92)
Perbedaan islam dengan agama lainnya dari segi pokok akidah ini, merupakan satu keistimewaan yang menunjukkan bahwa islam adalah agama yang paling benar, dan umat islam adalah umat yang satu, tak mungkin dileburkan atas nama akidah dengan umat-umat lainnya.
Allah Ta’ala telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS Al-Kafirun: 6). Bahkan, persatuan lintas agama atas nama doktrin akidah ini adalah faktor terbesar yang bisa melemahkan umat ini, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al-Quran: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah: 120)
Jadi, seruan persatuan hendaknya berdiri di atas kesatuan akidah, karena persatuan yang berdiri di atas selain pijakan akidah yang sama, dan dasar kalimat tauhid, hanya akan memberikan mudharat dan bahaya besar bagi umat.
Sebab itu, sebelum Allah Ta’ala menyeru orang-orang kafir untuk bersatu dengan umat islam, Dia terlebih dahulu menyeru mereka agar mengakui keabsahan kalimat tauhid dan berkomitmen dengan konsekuensinya: “Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim.” (QS. Ali Imran: 64).
Di sisi lain, persatuan yang diinginkan Islam adalah persatuan yang terbangun di atas pondasi utama akidah, yaitu rukun islam dan rukun iman yang satu, dan bukan di atas seluruh persamaan pandangan dalam berbagai persoalan.
Hal inilah yang diserukan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (pada masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana … “. (QS Ali Imran: 103).
Bila seruan Allah ini diimplementasikan, niscaya gambaran kesatuan umat yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam akan terwujud dengan mudah: “Perumpamaan kaum muslimin dalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menolong di antara mereka adalah seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakan pula dengan rasa demam dan tidak bisa tidur” (HR Muslim).
Bila elemen-elemen umat islam meyakini, dan mempraktekkan garis-garis besar ajaran yang tertuang dalam rukun islam dan rukun iman, maka mereka akan bisa menyatukan langkah, meskipun dalam cabang-cabang persoalan akidah tertentu mereka berbeda pendapat. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil dan fakta valid:
Pertama: Bahwa akidah utama umat yang ditekankan dalam berbagai ayat dan hadis-hadis adalah kesatuan rukun iman dan rukun islam. Selama mereka masih berpegang teguh dengannya, maka mereka masih dianggap sebagai elemen ahli kiblat yang bisa diajak menyatukan kalimat. Kelompok yang tidak mengakui salah satu dari unsur rukun iman atau islam, tidak akan bisa menjadi salah satu komponen dalam persatuan umat karena mereka telah merusak ajaran islam itu sendiri: semisal kaum Syiah Rafidhah, Qadariyah, Khawarij, Ahmadiyah, Islam Jama’ah, dll.
Kedua: Bahwa sejak seribu tahun lalu, umat ini bersatu melawan kaum kafir tidak di atas pondasi berbagai cabang akidah yang satu, meskipun mereka semua masih berpegang teguh dengan prinsip rukun islam dan iman. Salah satu bukti populernya adalah dalam era Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, di mana beliau berjihad di bawah bendera kerajaan dan masyarakat islam yang didominasi oleh kaum yang bermazhab Asy’ariyah. Juga dalam era Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi rahimahullah, di mana seluruh umat islam dari berbagai kelompok yang masih berpegang teguh dengan rukun islam dan iman sukses menyatukan kalimat dalam melawan kekuatan pasukan salibis.
Poin kedua ini juga menunjukkan bahwa sikap persatuan dan saling bahu membahu dengan kelompok atau sekte tertentu, utamanya yang sangat dekat dengan ajaran Ahli Sunah dan hanya memiliki penyimpangan pada beberapa poin akidah tertentu, bisa dilakukan dengan syarat adanya maslahat yang pasti dan manfaat yang lebih besar, tentunya tanpa meninggalkan praktek tanashuh atau saling menasihati dalam kebaikan. Hal inilah yang ditunjukkan oleh para salaf dan ulama-ulama Ahli Sunnah yang hidup di era pertengahan dan kontemporer.
Poin ini ditegaskan kembali oleh Fatwa Resmi Ulama Kerajaan Arab Saudi yang diketuai oleh Syaikh Abdul’Aziz Ibnu Baz rahimahullah yang menyatakan: “Jamaah-jamaah islam yang lebih dekat kepada kebenaran dan paling semangat mempraktekannya adalah Ahli Sunnah yang merupakan ahli hadis, kemudian Jamaah Anshar As-Sunnah, kemudian Ikhwan Muslimin. Secara umum, setiap kelompok ini, atau selain mereka, memiliki kesalahan dan kebenaran. Maka silahkan bekerjasama dengan mereka dalam perihal yang mereka benar di dalamnya, dan menjauhi kesalahan-kesalahan yang mereka terjatuh padanya, tentunya dengan tetap saling memberikan tanashuh, dan taawun (saling bekerjasama) dalam kebaikan dan takwa.” (Fatawa Lajnah Daimah: 6250).
Dalam kesempatan lain, Ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang Kelompok Islam Sudan yang menyatukan berbagai komunitas di dalamnya, yaitu Harakiah, Sufiah, dan Salafiah, serta disebutkan pada beliau bahwa partai ini melakukan aktifitas politik, dan melawan kaum komunis dan liberalis.
Beliau lalu menjawab: “Tidak diragukan lagi bahwa kerja sama antara umat Islam dalam menghadapi sekte-sekte yang membinasakan umat, para penyeru kesesatan, makar Nushairiah, komunisme dan liberalisme = merupakan salah satu kewajiban yang sangat urgen, juga salah satu jihad yang paling besar di jalan Allah, sebagaimana firman Allah: “Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS Al-Maidah: 2) … Sebab itu, kami memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada kelompok ini dalam hal memenangkan kebenaran dan menampakkannya pada selainnya, serta mematikan kebatilan dan menghinakan para penyerunya … (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/166-167). Wallaahul-Muwaffiq.