Pentingnya Ilmu Tafsir
Al-Quran merupakan mukjizat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengeluarkan manusia dari kejahilan kepada peradaban yang beriman dan maju. Al-Quran berlafalkan bahasa Arab, diajarkan kepada para sahabat dalam aspek cara baca dan maknanya sehingga mereka dapat mengamalkan kandungannya, dan keotentikannya dijaga oleh Allah hingga hari Kiamat.
Meskipun Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, ada kalanya para sahabat tidak mengerti maksud dari beberapa ayat Al-Quran sehingga mengharuskan mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang makna ayat tersebut. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika ayat ini turun:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman‘. (QS. Al-An’am: 82). Para sahabat merasa berat dalam memahaminya hingga mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Siapa di antara kita yang tidak menzalimi dirinya‘. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘(Ayat ini) tidak seperti yang kalian pahami. Tidakkah kalian mendengar perkataan hamba yang saleh (Luqman) kepada anaknya: Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang besar?!’ (HR. Bukhari, No. 3181 dan Muslim, No. 197)
Pada hadis di atas, para sahabat menafsirkan “kezaliman” dengan makna asalnya, sehingga mereka bertanya-tanya bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang bisa terlepas dari kezaliman. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan pemahaman para sahabat tersebut bahwa kezaliman yang dimaksud di ayat tersebut adalah kesyirikan.
Di beberapa kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menafsirkan ayat-ayat tertentu, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin Amir rahimahullah. Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sedang ia di atas mimbar, ‘Persiapkanlah segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kalian miliki’. (QS. Al-Anfal: 60). Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah’.” (HR. Muslim, No. 1917).
Para sahabat sangat konsen dengan disiplin ilmu tafsir Al-Quran sampai-sampai ketika menghafal Al-Quran mereka tidak akan melanjutkan hafalan sebelum memahami dengan baik apa yang mereka hafal dan mengamalkannya. Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman a-Sulamiy, ia berkata, “Telah sampai berita kepada kami dari salah seorang sahabat Nabi yang mengajarkan kepada kami Al-Quran bahwa mereka tidak akan beranjak dari sepuluh ayat Al-Quran sebelum memahami isinya dan mengamalkannya.” (HR. Ahmad, No. 23482)
Perhatian akan ilmu tafsir ini tidak terbatas oleh para sahabat saja, namun juga oleh para murid-murid mereka dari kalangan tabiin. Diriwayatkan dari Qatadah bahwa ia berkata, “Tidaklah turun satu ayat dalam Al-Quran kecuali Hasan a-Bashriy sangat suka jika ia mengetahui Asbab Nuzul (sebab turunnya) dan makna dari ayat tersebut.” (Fadha’il Al-Qur’an karya al-Qasim bin Sallam, hal. 97)
Jikalau para sahabat dan tabiin yang merupakan generasi emas umat ini, yang bahasa Arab mereka masih terjaga dan fasih sangat memerlukan ilmu tafsir Al-Quran, maka umat sekarang lebih butuh lagi dengannya lantaran jauhnya kita dari zaman kenabian dan lemahnya pemahaman kita akan bahasa Arab yang murni. Karenanya, berikut pentingnya ilmu tafsir yang terangkum ke dalam beberapa poin:
Pertama: Membantu dalam memahami kalam Allah ‘azza wa jalla.
Al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup manusia yang berisi perintah yang harus dikerjakan, larangan yang harus ditinggalkan, pelajaran dari kisah-kisah kaum terdahulu, harapan bagi mereka yang beriman, dan ancaman bagi mereka yang ingkar. Semua hal tersebut tidak akan bisa tersampikan dengan baik tanpa ilmu tafsir. Jika ayat-ayat Al-Quran sebagai konteksnya, maka tafsir sebagai penjelas dan penjabar dari maksud konteks tersebut, agar manusia tidak keliru dalam memahaminya.
Kedua: Mendekatkan pada pemahaman generasi salaf.
Hampir semua konteks Al-Quran telah ditafsirkan oleh para salaf, perkataan-perkataan mereka tersebar di buku-buku tafsir para ulama, di antaranya perkataan salah seorang tabiin, Mujahid bin Jabr rahimahullah: “Saya menyetorkan hafalan Quran saya kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali. Saya berhenti tiap satu ayat dan menanyakan sebab turunnya dan maknanya.” (Musnad ad-Darimiy, No. 1160).
Mempelajari dan membaca kitab-kitab tafsir para ulama akan membuat kita lebih dekat dengan para sahabat dan tabiin karena tafsir yang murni, yang sesuai dengan keaslian bahasa arab dan kemurnian akidah adalah tafsir yang berasal dari pemahaman-pemahaman mereka.
Ketiga: Menjauhkan dari penyimpangan.
Di antara sebab penyimpangan seseorang adalah pemahaman yang salah terkait ayat-ayat Allah Ta’ala. Dengan ilmu tafsir yang benar dan sesuai dengan pemahaman para sahabat dan tabiin, maka seseorang akan terjaga dari penyimpangan, baik itu penyimpangan dari sisi akidah maupun ibadah.
Di antara ayat yang sering disalahpahami adalah firman Allah Ta’ala yang berbunyi:
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Masyarakat yang awam terhadap agama kerap menggunakan ayat ini untuk mengklaim bahwa fitnah dalam artian menuduh seseorang tanpa bukti itu lebih kejam daripada pembunuhan. Padahal, arti dari kata “fitnah” menurut bahasa Arab adalah ujian atau cobaan. Lalu menurut ulama tafsir kata “fitnah” dalam ayat tersebut adalah syirik, yakni perbuatan syirik yang dilakukan oleh penduduk Makkah kala itu lebih berat dosanya dari pada membunuh. (Lihat: Tafsir ath-Thabariy, jilid 4, hal. 307). Pemahaman seperti ini tentunya tak akan bisa didapatkan kecuali dengan membaca penafsiran para ulama terkait ayat tersebut.
Keempat: Membantu menadaburi Ayat-ayat Al-Quran
Di antara kewajiban kita terhadap Al-Quran adalah menadaburinya. Allah Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menadaburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Shad: 29).
Hal yang terpenting untuk membantu seseorang menadaburi Al-Quran adalah memahami terlebih dahulu makna yang terkandung dari ayat tersebut. Sabagaimana perkataan Syaikhul–Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Menadaburi kalam Allah tanpa mengetahui maknanya adalah sesuatu yang mustahil. Olehnya, Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab agar mereka memahaminya.’ (QS. Yusuf: 2). Sementara tujuan suatu kalam adalah untuk dipahami.” (Majmu’ al-Fatawa, jilid 13, hal. 332).
Kelima: Menambah interaksi dengan Al-Quran
Selain rutin membaca Al-Quran dan menghafalkannya, cara meningkatkan intensitas kebersamaan dengan Al-Quran juga bisa dilakukan dengan mempelajari makna dan tafsirnya, agar terhindar dari golongan orang yang mengabaikan Al-Quran, seperti yang dikeluhkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam firman Allah Ta’ala:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا
“Dan Rasul (Muhammad) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan’.” (QS. Al-Furqan: 30).
Dengan mempelajari tafsir Al-Quran maka seseorang akan membuka buku tafsir atau paling tidak mencari makna ayat yang ia baca di laman-laman internet. Waktu yang ia gunakan untuk memahami ayat tersebut hingga ia memahaminya dengan baik masih terhitung sebagai waktu interksi dengan Al-Quran, dan jika diniatkan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka ia akan mendapatkan pahala.
Demikian beberapa poin akan pentingnya mempelajari ilmu tafsir, yang tentunya masih banyak lagi dari yang disebutkan di atas. Mudah-mudahan artikel singkat ini dapat membuka wawasan kita akan pentingnya memahami ayat Al-Quran melalui penafsiran yang benar dari para generasi terbaik para sahabat dan tabiin serta ulama-ulama tafsir. Wallahu a’lam bis–shawab.