Penjelasan Hadis Arba’in Nawawiyah | Penjelasan Hadis Pertama (bagian 3)
Hadis Pertama :
عَنْ أمير المؤمنين أبي حفص عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)).
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu bergantung dengan niatnya dan tiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul–Nya maka hijrahnya karena Allah dan Rasul–Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijranya karena apa yang ia inginkan. [HR. Bukhari dan Muslim]
Pada dua artikel yang sebelumnya, penulis sudah menuliskan pembahasan terkait hadis pertama, izinkan penulis melanjutkannya dan menutupnya pada artikel ini.
Ketujuh
Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk berhijrah. Nabi memuji orang yang berhijrah karena Allah dan Rasul–Nya.
Hijrah artinya pindah dari negeri syirik/kafir menuju negeri Islam. Hukum hijrah berbeda sesuai dengan keadaan orang yang berhijrah dan negeri yang menjadi destinasi hijrah.
Hijrah menjadi wajib apabila seorang muslim mampu melakukannya dan pada saat yang sama ia tidak mampu menampakkan syiar agamanya di negeri asalnya serta merasa takut jika menampakkannya maka akan ada keburukan yang menimpanya dan membahayakan jiwanya.
Hijrah dikhukumi sunah (mustahab) dalam dua keadaan:
- Jika seorang muslim mampu menampakkan syiar agamanya di negeri asalnya tanpa ada sedikit pun tekanan. Namun ia ingin hijrah agar bisa berada di negeri kaum muslimin. Dikecualikan apabila keberadaannya di negeri kafir lebih bermanfaat guna mendakwahkan Islam di sana misalnya. Keberadaannya di negeri kafir pada kasus ini tentu lebih baik.
- Orang yang berhijrah meninggalkan perkampungan kecil kaum muslimin menuju negeri Islam yang besar untuk belajar dan menegakkan syiar-syiar Islam dan lain sebagianya. Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman berkata, “Demikian pula (mustahab hukum hijrahnya) orang yang berada di sebagian desa terpencil yang penduduknya menjalankan syariat Islam, menjauhi pertumpahan darah, mencuri harta dan lain-lain dari apa yang Allah haramkan. Juga tidak ada orang yang terang-terangan bermaksiat di antara mereka. Maka hijrah (meninggalkan) desa tersebut hukumnya sunah dan memiliki keutamaan besar dan pahala yang agung agar orang yang berhijrah mempelajari kebaikan dan dapat menegakkan salat Jumat serta memperoleh maslahat lainnya…”1
Hijrah itu terdiri dari tiga jenis:
- Hijrah tempat, yaitu hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam.
- Hijrah amal, yaitu hijrah meninggalkan amal perbuatan haram. Ini hukumnya wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah haramkan.”
- Hijrah dalam artian meninggalkan/memboikot orang yang melakukan kesalahan. Orang seperti itu ada dua jenis:
- Orang yang membuat perkara baru dalam agama yang tidak ada asalnya. Para salaf dahulu meninggalkan, memboikot, dan membenci mereka. Para salaf tidak mau mendengarkan perkataan mereka. Telah diriwayatkan perkataan para salaf terkait hal ini. Dari Hasan Al-Bashriy, ia berkata, “Jangan kamu duduk bermajelis dengan orang yang membuat perkara baru dalam agama karena seusngguhnya ia merusak hatimu.”
Yahya bin Abi Katsir berkata, “Jika di jalan kamu menemui orang yang membuat perkara baru dalam agama maka ambillah jalan yang lain.”
- Orang fasik yang gemar bermaksiat. Wajib untuk memboikot orang yang gemar bermaksiat dan membenci mereka karena Allah. Demikian pula wajib meninggalkan tempat maksiat. Allah berfirman,
وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَأُ بِهَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ إِنَّكُمۡ إِذٗا مِّثۡلُهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Artinya: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al–Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam.” [QS. An-Nisa: 140]
Perlu diperhatikan bahwa tidak seharusnya kita memboikot saudara kita sesama muslim. Orang yang memboikot saudaranya sesama muslim biasanya tidak jauh dari dua keadaan:
- Boikot disebabkan perkara duniawi. Tidak diperkenankan seorang muslim memboikot saudaranya karena masalah duniawi lebih dari tiga hari. Hal ini sesuai dengan hadis sahih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim memboikot/mendiamkan saudaranya sesama muslim lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu yang ini berpaling dan yang satunya pun berpaling. Orang yang terbaik di antara keduanya adalah yang pertama kali mengucapkan salam.”
- Boikot karena perkara agama. Misalnya karena saudaranya meremehkan ketaatan dan jatuh pada kemaksiatan. Para ulama (di antaranya Ibnu Taimiyah) mengatakan bahwa jika boikotnya bermanfaat bagi saudaranya maka boleh dilakukan. Yaitu apabila boikot itu menjadikan saudaranya berhenti mengerjakan maksiat misalnya. Apabila boikot tidak memberikan dampak apa pun kepada saudaranya bahkan menambah keterjerumusan saudaranya ke dalam maksiat maka hendaknya tidak diboikot dan senantiasa diberi nasihat. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memboikot sahabat melainkan beberapa orang saja, yaitu tiga orang yang tidak ikut berperang dan tidak menyampaikan uzurnya.6 Padahal di antara mereka ada orang-orang yang berbuat lebih buruk semisal orang-orang munafik. Namun nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memboikot mereka. Oleh sebab itu, masalah boikot ini tergantung dengan maslahat yang ada.
Hadis ini begitu penuh faedah dan sarat makna. Para ulama telah membahasnya secara panjang lebar. Semoga penjelasan ringkas ini bisa menjadi pengantar sebelum para pembaca menelaah buku-buku dan penjelasan tentang hadis ini secara lebih mendalam. [fal]