Pendidikan Karakter dalam Ibadah Puasa
Puasa di bulan Ramadhan penuh makna dan pelajaran berharga bagi diri setiap muslim. Allah Subhanahu wata’ala menjadikannya sebagai sarana pembinaan, pelatihan, dan ujian agar umat Islam sampai pada derajat kemuliaan yang hakiki. Allah berfirman yang artinya:
“… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…” [QS. Al-Hujurat: 13]
Ya, dialah takwa yang bisa mengubah insan yang penuh keterbatasan menjadi mulia di sisi-Nya, dan puasa adalah salah satu jalan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menggapainya, sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah: 185. Sehingga seluruh rangkaian ibadah puasa menjadi sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Maka tidak salah kalau puasa dan rangkaiannya disebut sebagai Madrasah Rabbaniyah; sarana pendidikan untuk mencapai level, peringkat, atau gelar takwa itu. Ada banyak nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa ini, di antara nilai-nilai tersebut ialah:
- Puasa mengajarkan keikhlasan
Setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa tahu dan sadar akan beratnya perintah ini, namun tetap saja komitmen menjalankannya, tanpa ada imbalan dan keuntungan duniawi yang diperoleh. Dari sini jelaslah bahwa harapan dan sandarannya hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala semata. Sekiranya dia mau membatalkan puasanya, maka sangatlah mudah, tetapi karena iman dan keinginannya yang kuat untuk beribadah serta mengharapkan pahala, maka teriknya mentari, panjangnya waktu, beratnya godaan, dan letihnya bekerja tidak membuatnya surut demi menggapai ridha Rabbnya.
Pahala keikhlasan ini ialah surga Allah. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari karena Allah, melainkan dengan puasanya satu hari itu, Allah menjauhkannya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” [HR. Muslim]
Syekh Abdullah bin Abdirrahman Alu Bassam rahimahullah menuturkan: “Dijauhkan dari api neraka berarti didekatkan ke surga, karena di sana tidak ada pilihan lain kecuali ke surga atau neraka.” [Lihat: Taisiirul ‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkaam, hal. 477]
- Puasa mengajarkan kejujuran
Karakter kejujuran merupakan karakter utama dari sebuah keberhasilan pendidikan. Puasa mengajarkan kejujuran yang luar biasa karena berasas pada keyakinan bahwa Allah Subhanahu wata’ala senantiasa mengawasi dan mengetahui niat dan perbuatan hamba-Nya. Di saat sendiri atau berada di tempat tertutup tetap saja tidak berani berbuka puasa sebelum waktunya karena yakin ada Allah Al-Bashir yang senantiasa mengawasi dan mengetahui tingkah lakunya. Bahkan dalam berpuasa bukan saja meninggalkan makan, minum dan jima’ tapi juga harus meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta untuk mendapatkan pahala dari puasa yang dikerjakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak peduli dengan rasa lapar dan hausnya (puasanya).” [HR. Bukhari]
- Puasa melatih pengendalian diri
Puasa (shaum) secara bahasa bermakna menahan, dan secara istilah bermakna menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari; menahan diri dari makan, minum, jima’ dan termasuk juga menahan diri dari segala perkataan dan perbuatan yang dapat membatalkan pahala puasanya.
Nafsu dan syahwat merupakan bagian dari fitrah yang melekat pada diri manusia, bisa menjadikan manusia rendah seperti binatang jika memperturutkannya. Sebaliknya, bisa juga menjadikan manusia mulia bahkan lebih dari pada malaikat jika ditempatkan pada jalan yang diridhai-Nya. Bukankah pencurian, korupsi, perzinaan, penipuan dan perbuatan buruk lainnya disebabkan oleh ketidakmampuan dirinya dalam mengendalikan nafsu dan syahwat yang ada?
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barang siapa sudah memiliki kemampuan (biologis maupun materi), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya.” [HR Bukhari dan Muslim]
Puasa disyariatkan tidak untuk menghilangkan fitrah tersebut, tapi agar manusia terlatih mengendalikan diri berdasarkan apa yang diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Kalau yang halal saja (yang merupakan hak kita) bisa ditinggalkan dalam puasa, maka tentu yang bukan merupakan hak kita lebih mudah untuk kita tinggalkan.
- Puasa mengajarkan kesabaran
Seorang yang berpuasa mengumpulkan seluruh jenis kesabaran:
- Bersabar dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wata’ala dengan meninggalkan makan, minum, dan jima’ yang merupakan pembatal puasa.
- Bersabar dalam meninggalkan larangan-Nya dengan tidak berbuat dosa dan maksiat yang bisa mengurangi bahkan menghapus pahala puasa yang dikerjakannya.
- Bersabar atas ketetapan-Nya, melaksanakan kewajiban puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari selama satu bulan penuh.
Oleh karena itu, puasa mendapatkan pahala yang tanpa batas, Allah Subhanahu wata’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [QS. Az-Zumar: 10]
Di antara bentuk kesabaran orang yang berpuasa adalah sabar atas gangguan orang lain, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنَّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Jika salah seorang di antara kalian melaksanakan ibadah puasa, maka janganlah ia mengucapkan perkataan kotor dan jangan berteriak-teriak. Jika ia dicaci oleh orang atau hendak diajak berkelahi, maka hendaknya ia mengatakan: Aku sedang puasa.” [HR. Bukhari]
- Puasa mendidik untuk bersyukur
Rasa syukur akan muncul dari seorang hamba tatkala dia tersadarkan akan besarnya arti sebuah nikmat yang didapatkannya. Kesadaran ini biasanya lahir tatkala dia terhalang untuk memperoleh nikmat tersebut. Pada saat berpuasa terasa besar karunia Allah Subhanahu wata’ala berupa nikmat makanan, minuman, dan hubungan pernikahan yang selama ini luput dari perhatiannya. Maka setelah perjuangan menahan diri dengan kesabaran berpuasa di siang hari, dia kemudian berbuka, maka terasalah kenikmatan tersebut yang tidak bisa diungkapkan kecuali dengan ucapan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya.” [HR. Muslim]
Maka berkumpullah sabar dan syukur dalam ibadah puasa, ini merupakan modal besar seorang mukmin dalam menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
- Puasa mengajarkan kepedulian dan kasih sayang
Dengan merasakan keadaan lapar dan haus, seorang muslim akan menyadari penderitaan yang dialami oleh orang lain yang kurang mampu, sehingga memunculkan sifat empati dan kepedulian terhadap kebutuhan mereka, bahkan tidak sekedar peduli tetapi hendaknya mencintai mereka sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Rezeki adalah milik Allah Subhanahu wata’ala, ditahan atau diberikan kepada manusia sesuai ketetapan-Nya, dan Allah Subhanahu wata’ala menganjurkan untuk berinfak dengan rezeki yang telah diberikan-Nya itu:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hambaNya dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apapun yang kamu infakkan dari sesuatu, maka Dia menggantinya dan Dia sebaik pemberi rezeki.” [QS. Saba: 39]
Di antara bentuk perhatian dan kasih sayang ajaran Islam terhadap pemeluknya adalah bahwa kaum muslimin diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitri sebelum Shalat ‘Ied. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barang siapa menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka itu adalah satu sedekah dari macam-macam sedekah.” [HR. Abu Daud, hasan]
Hal ini sebagai bentuk kepedulian kaum muslimin terhadap saudaranya yang membutuhkan. Bahkan terdapat motivasi khusus untuk memberi makan orang yang berpuasa, yaitu mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Orang yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang berpuasa.” [HR. Tirmidzi, hasan shahih]
- Puasa mengajarkan hakikat kehidupan
Kebanyakan manusia lalai dari tujuan penciptaannya ke dunia ini, mereka sibuk dengan perdagangan, urusan kantor, pekerjaan rumah, dan lain-lain untuk mendapatkan kesenangan dunia yang sesaat berupa makanan dan minuman yang enak, menikahi istri yang cantik, pakaian yang mahal, dan rumah serta fasilitas hidup yang mewah. Ibadah puasa melatih manusia untuk tidak tergantung kepada hal-hal tersebut, dan bisa lebih mendahulukan ketaatan kepada perintah Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipat gandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wajalla berfirman: ‘Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” [HR. Muslim]
Hal ini memberi makna bahwa kehidupan dunia dan kenikmatannya bukanlah tujuan dan kebutuhan utama melainkan sekedar sarana untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagai implementasi tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini; mengesakan Allah dalam ibadah.
- Puasa mendidik sikap optimis
Setiap ibadah tentu membutuhkan pengorbanan, kepayahan, dan kesabaran. Kesemuanya itu tidak akan berlangsung terus menerus tanpa henti, namun akan berujung pada kenikmatan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Hal ini tergambar dalam kalimat yang diucapkan ketika berbuka puasa:
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki.” [HR. Ad-Daruquthny, hasan]
Maka, pepatah “Bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian” bisa dibawa pada makna ini, bahwa setiap keadaan sulit yang dirasakan jika dihadapi dengan kesabaran dan optimisme, maka akan sampai pada kebahagiaan dan kesuksesan. Allah berfirman yang artinya:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” [QS. Al-Insyirah: 5]
Demikianlah sederetan pelajaran berharga yang sempat tersingkap dalam tulisan singkat ini, semoga menjadi titik harapan baru bagi sebuah perubahan dalam diri kaum muslimin.
niniarwinda2@gmail.com