Pemuda dalam Al-Quran (Bag. 2)

Pemuda yang akan kita teladani kali ini adalah sang KalimuLLah, salah satu Ulul Azmi¸ menantu dari Nabi Syu’aib, anak pungut Fir’aun sekaligus musuh bebuyutannya, beliau adalah Nabi Musa alishis salam.
Kembali kita akan mencicipi lezatnya hidangan Allah yang disuguhkan dalam surat al-Kahfi, karena kisah pemuda yang akan kita telisik edisi ini terukir abadi di dalamnya dalam ayat 60-82, yaitu kisah Nabi Musa dengan gurunya Nabi khodir alaihimas salam.
Kisah ini bermula dari sebuah pertanyaan yang dijawab oleh Nabi Musa tanpa mengucapkan “Allahu A’lam”, diselingi dengan “teguran” Allah kepada NabiNya, dan diakhiri dengan bergurunya beliau kepada Nabi khodir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَامَ مُوسَى النَّبِيُّ خَطِيبًا فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ فَسُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ فَقَالَ أَنَا أَعْلَمُ فَعَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِ إِذْ لَمْ يَرُدَّ الْعِلْمَ إِلَيْهِ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِي بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ هُوَ أَعْلَمُ مِنْكَ
Artinya:”Nabi Musa berdiri berkhutbah di tengah Bani Israil, kemudian beliau ditanya: siapakah manusia yang paling ‘alim?, maka beliau menjawab: saya yang paling ‘alim, maka Allah mencela beliau karena tidak mengucapkan “Allahu a’lam”, maka Allah menurunkan wahyu kepada Musa bahwa ada hambaku yang tinggal di pertemuan dua samudra yang lebih alim dari engkau”.[1]
Setelah memperoleh wahyu tersebut, meletuplah semangat Nabi Musa, tersulutlah motivasi beliau untuk menuntut ilmu, maka beliau pun mulai mengumpulkan informasi tentang sang calon guru; Nabi Khodir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ بِهِ فَقِيلَ لَهُ احْمِلْ حُوتًا فِي مِكْتَلٍ فَإِذَا فَقَدْتَهُ فَهُوَ ثَمَّ
Artinya:”Nabi Musa berkata: Wahai Allah, bagaimana aku menjumpainya? Maka Allah berkata: bawalah ikan dan taruhlah di keranjang, jika engkau kehilangan (keranjang itu), maka ia (Khodir) tinggal di tempat tersebut”.[2]
Informasi di atas, bukannya menggembosi tekad Nabi Musa, namun justru semakin membulatkan tekad beliau untuk menuntut ilmu kepada Khodir, maka beliau pun mempersiapkan diri dan bekalnya untuk berguru, dengan ditemani oleh Yusya’ bin Nun, maka dimulailah kisah perjalanan panjang nan fenomenal itu. Allah berfirman, mengabadikan ucapan Nabi Musa:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
Artinya:”Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya (Yusya’ bin Nun): aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua samudra, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.
Di sini kita berhenti sejenak, tuk menyelami kisah di atas, agar dapat mendulang mutiara-mutiara faedah dari sepenggal kisah di atas, dua sifat agung yang layak diteladani dari tokoh kita saat ini:
Pertama: sifat tawadhu’ (rendah hati) Nabi Musa.
Para ulama kita menjelaskan, bahwa jawaban Nabi Musa:“saya adalah manusia yang paling ‘alim”, bukanlah jawaban “lancang” yang bersumber dari kecongkakan dan kesombongan beliau, namun jawaban tersebut sesuai dengan ilmu dan fakta yang beliau ketahui. Posisi beliau Nabi dan Rasul bagi Bani Israil[3], adalah indikasi penting bagi “keshahihan” jawaban beliau. Jika ada satu sikap yang dapat dikambing hitamkan dari “teguran” Allah kepada beliau adalah kealpaan beliau menutup jawaban dengan kalimat agung “Allahu A’lam”. Justru hikmah yang dapat kita dulang dari kisah di atas adalah ketawadhuan beliau. buktinya, ketika Allah mewahyukan bahwa ada di antara hambanya yang lebih alim, kemarahan beliau tidak bangkit, namun justru membangkitkan minat beliau untuk berguru.
Sikap ini patut untuk ditiru oleh para thullabul ilmi, terutama thuwailibul ilmi seperti kita, yaitu penuntut ilmu pemula, yang baru belajar “berenang” di pinggiran samudra ilmu yang sangat luas, kemudian ia menganggap dirinya Syaikhul Islam, lebih miris lagi jika ia lancang dalam memberikan fatwa dalam masalah-masalah kontemporer yang belum dikuasainya, maka thuwailib yang seperti ini layak dibacakan di hadapannya ucapan Imam Syafi’i:
فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
Artinya:”bertakbirlah empat kali untuk menyalati kematiannya”.
Sikap tawadhu’ akan mewariskan kecintaan Allah bagi hambaNya, sehingga Dia berkenan memberikan taufik bagi langkah-langkahnya ketika menuntut ilmu. Sikap ini juga merupakan kunci untuk memperoleh khazanah ilmu yang luas bagi seseorang, sebab ia tidak gengsi dan malu untuk menuntut ilmu dari siapa saja yang kompeten di bidangnya kendati usia dan kedudukan lebih rendah dari sang penuntut ilmu, sungguh benar ucapan tabiin yang mulia Mujahid bin Jabr:
لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
Artinya:”tidak (sukses) belajar ilmu orang yang pemalu dan sombong”.[4]
Kedua: semangat beliau untuk menuntut ilmu.
Di antara sifat menonjol dari Nabi Musa yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah semangat beliau untuk menuntut ilmu, kendati proses belajarnya memerlukan perjalanan yang tidak pendek. Ucapan Nabi Musa kepada Yusya’ bin Nun yang diabadikan Allah dalam surat al-Kahfi “aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua samudra, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”, menunjukkan semangat yang tidak pernah padam dalam menuntut ilmu kendati harus mendaki bukit terjal untuk merealisasikannya. Kalimat di atas sangat perlu untuk kita gaungkan kembali dalam sanubari kita sebagai thullabul ilmi, untuk membangunkan kita dari kelalaian dan keterpurukan dalam belajar. Kalimat di atas harus kita doktrinkan kepada generasi penerus warisan kenabian yang semakin langka. Kalimat di atas perlu untuk kita teriakkan ke seluruh penjuru dunia, demi menyadarkan umat agar kembali ke pangkuan Al-Quran dan Sunnah.
[1] . Lihat Fathul Baari 1/195, versi Maktabah Syamilah.
[2] . Idem.
[3] . Silahkan merujuk ke Fathul Baari 1/195, versi Maktabah Syamilah.
[4].HR Bukhari secara mu’allaq, 1/135