Akidah

Merawat Persatuan Ummat

Sesungguhnya persatuan umat merupakan bagian dari syariat dan salah satu pilar penting bagi kejayaan umat. Sangat banyak dalil syar’i yang memotivasi dan memerintahkannya. Di antaranya adalah firman Allah,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang teguhlah dengan tali agama Allah, dan janganlah kalian berpecah belah.” (Surah Ali Imran: 103)

Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

من القواعد العظيمة التى هي من جماع الدين: تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البيّن… وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة، كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة.

“Di antara kaidah yang terpenting yang menjadi pilar agama adalah bersatunya hati-hati kaum muslimin, berpadunya kalimat mereka, dan eloknya hubungan antara sesama kaum muslimin… dan orang yang berkomitmen dengan pilar ini disebut ahlul jamaah, sebagaimana orang yang menyelisihi pilar ini disebut ahlul furqah (perpecahan).”[1]

Syekh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah memaparkan urgensi pilar ini dengan mengatakan, “Di antara perkara-perkara ilahiyah, dan syariat-Nya nan suci, serta wasiat kenabian yang teragung adalah berpegang teguh dengan tali agama Allah dan bersatunya kalimat kaum muslimin, dan berusaha untuk memotivasi mereka dengan beragam sarana untuk mencapainya (persatuan), mewanti-wanti umat dan memberi peringatan kepada mereka untuk tidak berselisih, berpecah belah dan bercerai berai, serta melarang seluruh sarana yang dapat mengantarkan umat ini kepada hal tersebut.”[2]

Kendati masalah ini termasuk perkara yang sangat gamblang dan terang benderang, namun banyak terdeteksi problematika dakwah yang dipantik oleh fenomena pertikaian dan perpecahan di medan dakwah yang menimpa para aktifis dakwah. Hal ini berpotensi merusak aktivitas dakwah dan melemahkan kekuatan para du’at serta merapuhkan barisan kaum muslimin dan ukhuwah mereka. Fenomena ini sangat nampak di tubuh kaum muslimin, sehingga sangat mudah diprovokasi dan diagitasi oleh musuh-musuh mereka, khususnya ketika badai fitnah datang dan permasalahan-permasalahan kontemporer melanda umat ini.

Jika kita menyimak dan menelaah nas-nas syar’i dari Al-Qur’an dan Sunah dengan seksama, khususnya nas yang melarang umat untuk berpecah belah dan peringatan untuk tidak bertikai, maka akan dapat diketahui dampak negatif yang tidak sedikit dari fenomena perpecahan ini. Di antara fenomena tersebut adalah:


  1. Munculnya sifat gentar dan lenyapnya kekuatan kaum muslimin.

Allah berfirman,

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُم

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih dan bertikai, sehingga menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilangnya kekuatan kalian.” (Surah Al-Anfal: 46)

Ayat ini menjabarkan bahwa unsur terpenting bagi kekuatan suatu entitas bukan hanya terletak pada kuantitas massanya semata, namun unsur yang paling esensi adalah persatuan. Tanpanya, kuantitas massa yang dimiliki oleh sebuah komunitas, hanyalah bak buih di lautan, nampak sangat banyak dan dominan, namun sejatinya sangat rapuh dan tidak memiliki kekuatan.

  1. Terjadinya fitnah (bencana) dan kerusakan yang besar.

Allah berfirman,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِير

“Dan orang kafir, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, jika kalian tidak melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan itu, niscaya akan terjadi bencana dan kerusakan yang besar di atas bumi.” (Surah Al-Anfal: 73)

Ketika seluruh musuh-musuh Islam dapat bersatu-padu untuk menghancurkan umat Islam, disebabkan karena persamaan misi di antara mereka, padahal sejatinya ada perseteruan dan pertikaian yang sengit bahkan telah tegak dinding pemisah yang tinggi di antara mereka -yang seharusnya menghalangi kerjasama itu-, sedangkan umat Islam dan tokoh-tokohnya enggan untuk  bersatu, bekerja sama dan saling tolong menolong untuk menghadapi musuh bersama yang telah disepakati,  padahal banyak sisi-sisi persamaan di antara mereka, maka saat itulah akan terjadi kekacauan dan bencana yang dahsyat bagi umat Islam. Perpecahan dan permusuhan itulah yang sejatinya menjadi pemicu utama dari kekalahan dan keterpurukan umat.

Baca Juga  Tawakal Dalam Perspektif Aqidah

Ibnu Jarir rahimahullah, seorang pakar tafsir, mengutip perkataan Ibnu Juraij rahimahullah ketika menjelaskan firman Allah di atas dengan mengatakan, “Jika kalian enggan untuk melaksanakan perintah Allah berupa anjuran untuk bekerjasama dan saling menolong di atas agama, maka akan terjadi kekacauan dan bencana yang besar.”[3]

  1. Berpotensi untuk mendapatkan kebinasaan dan azab.

Rasulullah bersabda,

والْجَمَاعَةَ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةَ عَذَابٌ

“Sesungguhnya, berjamaah (persatuan) itu mendatangkan rahmat, dan perpecahan mendatangkan azab.”[4]

Di antara bentuk azab yang menimpa umat Islam adalah terus berselisih dan bertikai bahkan sampai bercerai-berai, kecuali mereka yang dinaungi Allah dengan rahmat-Nya. Alangkah indahnya firman Allah,

وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

“Dan mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang diberi Rahmat oleh Rabbmu.” (Surah Huud: 118-119)

Syekh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allah mengabarkan bahwa jika Dia berkehendak, maka niscaya manusia akan dapat disatukan dalam agama Islam, karena Allah Maha Mampu, namun sifat Bijaksana Allah berkonsekuensi bahwa mereka harus berselisih pendapat, dan menyelisihi jalan yang lurus…kecuali para hamba yang dirahmati oleh Allah, maka mereka diberi hidayah untuk mengetahui kebenaran, dan mengamalkannya, serta bersatu di atasnya[5].

  1. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berlepas diri dari orang yang berpecah belah.

Hal ini tercermin dengan nyata dalam firman Allah,

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya (yaitu melaksanakan sebagian syariat agama dan meninggalkan yang lain) dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, maka engkau wahai Rasul bukan bagian dari mereka.”  (Surah Al-An’am: 159)

Syekh Abdur Rahman As-Sa’di menafsirkan ayat ini dengan berkata, “Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa agama ini memerintahkan kepada perkumpulan dan persatuan, serta melarang perpecahan dan pertikaian antar sesama umat islam, dan di seluruh masalah agama, baik yang pokok maupun yang cabang, dan Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk berlepas diri dari mereka.”[6]

  1. Dikuasai oleh musuh.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya, Rasulullah bersabda, bahwa Allah berfirman,

يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لا يُرَدُّ وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لأُمَّتِكَ أَنْ لا أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ، وَأَنْ لا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ، وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِ أَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكَ بَعْضًا

“Wahai Muhammad, sesungguhnya Aku jika telah menetapkan sebuah takdir maka tidak akan bisa ditolak (pasti terjadi), dan sesungguhnya Aku telah menakdirkan bagi umatmu (umat Islam) untuk tidak binasa dan hancur dengan bencana kelaparan dan kekeringan, dan (juga) mereka tidak akan dikuasai oleh musuh dari luar (orang kafir) sehingga menghancurkan (kekuatan) kaum muslimin, kendati mereka (orang-orang kafir) bersatu-padu untuk memerangi dan menaklukkan mereka, kecuali jika sesama kaum muslimin saling membinasakan/bertikai.”[7]

Hadis ini dengan gamblang menjelaskan bahwa ketika umat bernaung di bawah persatuan umat, dan tidak sibuk bertikai dan bertengkar dengan sesama, sehingga bercerai berai kekuatannya, niscaya musuh-musuh Islam tidak akan mampu mengalahkan dan menjajah umat Islam, kendati mereka bersatu-padu untuk itu. Namun jika persatuan umat terkoyak, ukhuwah Islamiah tidak dirawat, dan pertikaian antarsesama umat menguat, inilah faktor utama dari kemenangan musuh-musuh Islam atas umat Islam di belahan bumi bagian barat dan timur.[8]

  1. Ditundanya ampunan Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana yang jelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diriwayatkan  oleh Abu Hurairah, bahwa beliau bersabda,

تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ كُلَّ يَوْمِ اثْنَيْنِ وَخَمِيسٍ فَيُغْفَرُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا  رجلا كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

Baca Juga  Persatuan Dalam Bingkai Tauhid

“Pintu surga terbuka setiap hari Senin dan hari Kamis, Allah mengampuni pada hari itu seluruh hamba yang tidak musyrik, kecuali seseorang yang memusuhi saudaranya, maka dikatakan untuk mereka, ‘Tundalah ampunan untuk mereka sampai mereka berdamai’.”[9]

Ini adalah dampak negatif dari permusuhan sesama kaum muslimin pada level individu. Tentu saja, dampak negatif dari permusuhan pada level kelompok dan komunitas lebih besar, karena skala permusuhan yang mendekam di dalam tubuh kaum muslimin juga lebih besar, dan ini adalah fakta yang dihadapi oleh kaum muslimin pada hari ini. Pertikaian dan permusuhan antarkelompok, ormas, dan komunitas, bahkan sampai pada level saling cerca, saling tuduh, saling menjatuhkan di media-media sosial dan saling membunuh antara anggota satu komunitas Islam dengan sesama komunitas Islam yang lain menjadi fenomena yang tidak sulit ditemui. Sungguh ironis.

  1. Hilangnya keberkahan.

Dari sahabat Wahsyi bin  Harb radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ:((فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ)). قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ:((فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ)).

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan, namun kami tidak kenyang. Rasulullah menjawab, ‘Jangan-jangan kalian makan dengan berpencar?’ Mereka mengatakan, ‘Benar wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Berkumpullah jika kalian sedang makan dan ucapkanlah basmalah sebelum kalian makan, maka Allah akan mencurahkan berkah untuk makanan tersebut’.”[10]

Hadis ini menjelaskan bahwa keberkahan suatu makanan dapat berkurang bahkan dapat lenyap jika berpencar saat menyantapnya. Jika saja hal ini dapat terjadi pada makanan,  maka bagaimana dengan keberkahan ilmu, dakwah dan jihad yang dilakukan oleh kaum muslimin, ketika mereka tetap saling bertikai dan bermusuhan?

Jika dampak-dampak negatif di atas ditelaah dengan seksama, maka terbersit rasa khawatir di dalam dada, bahwa fenomena kemunduran umat akhir-akhir ini dan musibah yang bertubi-tubi menimpanya adalah buah pahit dari perpecahan dan permusuhan di antara sesama umat Islam.

Olehnya, sangat penting bagi tokoh-tokoh Islam dan seluruh kaum muslimin untuk mengkaji faktor-faktor yang dapat menyatukan kaum muslimin di atas kebenaran, dan merencanakan langkah-langkah nyata untuk mewujudkan persatuan umat di atas kebenaran dan ketakwaan, serta  berusaha untuk mempererat ukhuwah Islamiah, dan mengendurkan permusuhan, demi saling bekerja sama (ta’awun) dalam menyebarkan dan menegakkan Islam.

Beberapa tahapan dan langkah di bawah ini merupakan usulan penulis kiranya dapat diimplementasikan di dalam kehidupan dalam rangka mewujudkan persatuan dan ukhuwah Islamiah.

Pertama, bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sifat ini merupakan penghulu bagi seluruh sifat mulia. Dengan mewujdukan sifat ini, akan muncul harapan untuk dapat menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia yang lainnya, di antaranya adalah sikap memperbaiki hubungan dan interaksi dengan sesama kaum muslimin. Allah berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah, dan perbaikilah hubungan kalian dengan sesama kalian.” (surah Al-Anfal: 1)

Tema besar dari surat Al-Anfal adalah menjelaskan tentang rambu-rambu dan sarana untuk menggapai kemenangan dan kejayaan.[11] Allah subhanahu wata’ala mengisahkan tentang kemenangan kaum muslimin yang gemilang di perang Badar, padahal ada ketimpangan dalam jumlah personil yang turut andil berperang jika dibandingkan dengan jumlah pasukan suku Quraisy. Meski demikian, kemenangan berada di dalam genggaman kaum muslimin. Allah membuka surat ini dengan perintah untuk bertakwa kepada-Nya. Pelajaran yang dapat dipetik dari surat ini adalah bahwa sarana terbesar untuk menggapai kemenangan dan kejayaan sebagaimana yang terjadi di perang Badar adalah dengan ketakwaan kepada Allah ta’ala.

Kedua, bersikap adil kepada penyelisih.

Hal ini sebagaimana yang telah diwasiatkan oleh Allah di dalam firmannya,

Baca Juga  Urgensi Pemahaman Salaf Dalam Memahami Nas-Nas Wahyu

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَCبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian kaum yang menegakkan kebenaran karena Allah, dan menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum, menyebabkan kalian tidak bersikap adil. Berlaku adillah, karena sikap adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Surah Al-Maidah: 8)

Syekh Abdur Rahman As-Sa’di mengatakan, “Di antara hal yang harus diperhatikan oleh para ulama adalah tidak berpecah belah dan bertikai disebabkan perbedaan pendapat dalam masalah agama –khususnya yang tidak mengeluarkan pelakunya dari koridor ahlus sunnah dan ahlut tauhid-, dan membangun dinding loyalitas dan permusuhan dengannya, karena ini merupakan bagian dari kezaliman dan melampaui batas berdasarkan ijmak kaum muslimin.”[12]

Ketiga, menjauhi fanatisme.

Afiliasi seorang muslim kepada mazhab, ormas, pesantren, ataupun ustaz tertentu bukan berarti membelunggu wala’ dan bara’ terhadap sesama kaum muslimin, lalu bersikap tidak simpati dan loyal kepada penyelisihnya.

Mazhab, ormas, pesantren dan yang lainnya hanyalah sarana dakwah semata. Kaum muslimin berkumpul dan berafiliasi kepada sarana-sarana tersebut karena persamaan dan kecocokan tujuan, visi dan misi. Olehnya, akan sangat naif jika kita membangun ukhuwah dan loyalitas hanya berdasarkan kesamaan mazhab, ormas dan yang lain. Begitu juga, membatasi kebenaran hanya kepada mazhab, ormas dan wadah tertentu, akan menyelisihi realitas kehidupan ulama salaf. Perbedaan wadah bukan berarti perbedaan hati dan perselisihannya.

Sungguh indah untaian ucapan Ibnu Qayyim rahimahullah,

…عادتنا في مسائل الدين كلها، دقها وجلها، أن نقول بموجبها، ولا نضرب بعضها ببعض، ولا نتعصب لطائفة على طائفة، بل نوافق كل طائفة على ما معها من الحق، ونخالفها فيما معها من خلاف الحق

“Kebiasaan kita dalam menyikapi masalah khilaf dalam masalah agama, baik masalah yang kecil maupun besar, adalah berpendapat sesuai dengan hujjah (dalil yang kuat), (dan bukan kebiasaan kami) membenturkan dalil yang satu dengan dalil yang lain, (dan bukan kebiasaan kami) bersikap fanatik kepada salah satu kelompok, namun kami bersepakat dengan setiap kelompok disebabkan kebenaran yang ada pada mereka, dan menyelisihi (tidak sepakat)  suatu kelompok jika menyelisihi kebenaran.”[13]

Lebih indah lagi ucapan beliau di kitab Zadul Ma’ad,

التعصبُ لِلمذاهب، والطرائِقِ، والمشايخ، وتفضيلُ بعضها على بعض بالهوى والعصبية، وكونُهُ منتسباً إليه، فيدعو إلى ذلك، ويُوالى عليه، ويُعادِى عليه، وَيزِنُ الناس به، كُلُّ هذا مِن دعوى الجاهلية

“Fanatisme kepada mazhab, tarekat dan para masyayaikh (tokoh Islam), serta lebih memuliakan sebagian di antara yang lain karena hanyut dalam hawa nafsu dan fanatisme, atau disebabkan karena ia berafialisi kepadanya, dan membangun sikap loyal dan sikap benci berdasarkan kelompok, dan menimbang manusia juga berdasarkan hal tersebut, semua fenomena ini adalah bagian dari seruan jahiliyah .”[14]

Wallahu a’lam.

[1] . Majmu’ul Fatawa Ibnu Taimiyah 28/51.

[2]. Al-Hatstsu ‘Ala Ijtima’i Kalimatil Muslimin, karya Syekh Abdur Rahman As-Sa’di, hal. 18.

[3] . Tafsir Ibnu Jarir At-Thabari 14/87.

[4] . HR. Ahmad, Thabrani dan Al-Baihaqi, dan dinyatakan Hasan oleh Syekh Albani.

[5] . Tafsir As-Sa’di, hal. 392.

[6] . Idem, hal. 282.

[7] . HR Muslim, no hadis: 2889.

[8] . Lihat Al-Mufhim, karya Al-Qurthubi (7/218), dengan narasi dan redaksi dari penulis.

[9] . HR Muslim, no hadis: 2565.

[10] . HR. Abu Dawud, no hadis: 3766, dan dinyatakan hasan oleh syekh Albani.

[11] . Al-Mukhtashar fit Tafsir, hal. 177.

[12] . Al-Hatstsu ‘Ala Ijtima’i Kalimatil Muslimin, karya Syekh Abdur Rahman As-Sa’di, hal. 33.

[13] . Thariqul Hijratain , hal. 582.

[14]. Zaadul Ma’ad (2/471).

Lukmanul Hakim, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Bidang Tafsir & Hadits, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?