Mengakui Sang Pemberi
Tak bisa dipungkiri bahwa di antara sifat dan tabiat dasar manusia adalah bergembira atas apa yang diperoleh berupa nikmat ataupun kebaikan duniawi. Walaupun kita paham bahwa dalam Islam nikmat apa pun yang kita dapatkan adalah bersumber dari Yang Maha Muasa saat menetapkan rezeki yang menjadi takdir kita lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, tapi terkadang semua itu menjadi buram karena kita hidup di dunia yang sangat menuntut akan hal-hal yang bersifat realistis. Pada akhirnya mengarahkan pikiran kita bahwa setiap ada sebab maka pasti ada akibat. Maka hal yang perlu kita tanamkan dalam pikiran kita agar tidak menjadi bias adalah meyakini bahwa sebab dan akibat keduanya adalah bagian dari konsep takdir.
Takdir secara harfiah adalah pecahan dari kata qadr (kadar) ketetapan yang Allah berikan kepada setiap hamba-Nya baik itu mukmin atau kafir, saleh atau fasik, laki-laki ataupun perempuan. Orang mukmin yang mendapatkan nikmat berupa harta benda sekaligus keimanan itu sendiri maka itu menunjukkan akan Fadhlullahi Alaihi (keutamaan yang Allah berikan kepadanya). Sedangkan orang kafir yang bahkan tidak mengakui Allah sebagai Tuhan yang Esa namun tetap bisa hidup dari rezeki yang Allah berikan maka itu menunjukkan akan ‘Adlullahi ‘Alaih (keadilan Allah kepadanya) karena Allah telah menjadikan bagi setiap orang yang berusaha jatah rezeki mereka disisi-Nya.
Setelah memahami analogi di atas hal penting yang kita harus resapi adalah bagaimana sikap kita ketika menerima semua pemberian itu. Apakah jika kita menyandarkan semua pencapaian kita kepada diri sendiri termasuk hal yang dibolehkan?
Mari menilik kembali ucapan Qorun yang diabadikan dalam Alquran saat ia berkata:
﴿ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ ﴾
“Sesungguhnya saya memperoleh semua harta & kejayaanku ini karena ilmu yang saya miliki.” [QS. al-Qashas: 78]
Qorun mengira bahwa hartanya dihasilkan karena ilmunya, dan ilmu yang ia dapatkan karena usahanya semata, padahal ilmu juga adalah rezeki (pemberian) dari Allah.
﴿ وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا ﴾
“Tidaklah ilmu yang diberikan kepada kalian kecuali hanya sedikit.” [QS. al-Isra: 85]
Oleh karena itu Allah kemudian menghukum dua orang yang melampaui batas di zaman nabi Musa dengan penenggelaman. Yang pertama Raja Ramses 2 (Firaun) yang ujub dengan kekuasaannya, maka ia ditenggelamkan beserta semua jajarannya ke dasar laut. Kemudian yang kedua kerabat Nabi Musa sendiri (Qorun) yang ujub dengan kekayaannya, maka ia ditenggelamkan dengan seluruh hartanya ke dalam tanah. Subhanallah, dengan hikmah-Nya orang-orang yang merasa dirinya berada di puncak kejayaan malah direndahkan oleh-Nya.
Dalam hal ini sebaik-baik contoh dalam menyikapi harta & kekuasaan yang hakikatnya adalah titipan maka Allah ‘Azza Wajalla menjadikan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai figur yang telah diabadikan dalam Alquran tatkala semua kejayaan dan kekayaan berada dalam genggamannya, beliau pun berkata:
﴿ هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُ ﴾
“Semua ini hanyalah keutamaan yang Tuhanku titipkan kepadaku agar mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” [QS. an-Naml: 40]
Demikianlah indahnya Syukur sebagai bentuk mengakui nikmat-Nya yang akan menjadikan nikmat itu semakin awet atau bahkan bertambah. Sebagaimana janji Allah dalam Alquran:
﴿ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ٧﴾
“Jika kamu bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu, namun jika kamu kufur maka sungguh azabku amat pedih.” [QS. Ibrahim: 7]
Ayat tersebut adalah sebuah peringatan yang sering kita lupakan dan sekaligus kabar gembira yang jarang kita amalkan seakan nikmat-nikmat yang kita terima adalah hak-hak yang mutlak menjadi milik kita tanpa harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya di Akhirat kelak, padahal Allah berfirman:
﴿ ثُمَّ لَتُسَۡٔلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ ﴾
“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu.” [QS. at-Takasur: 8]
Siapa kita tanpa pemberian dari-Nya? Bukankah jiwa-jiwa kita bahkan bukanlah milik kita? Makanya Allah melarang seseorang untuk membunuh dirinya sendiri yang mana itu bukan haknya. Ketika ruh dicabut dari badan maka kalimat pertama yang diucapkan adalah kalimat istirja’:
﴿ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ﴾
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali.” [QS. al-Baqarah: 156]
Maka tak pantas bagi seseorang bersandar pada dirinya dan menyandarkan semua pencapaiannya kepada kerja kerasnya tanpa mengakui dan berterima kasih kepada Sang Pemberi.
Salah satu bentuk perhatian Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam kepada umatnya dalam hal ini beliau telah mengajarkan sebuah doa agar kita selalu diberikan pertolongan oleh Allah sehingga kita senantiasa menghadirkan rasa syukur dalam diri kita:
«اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ«
“Ya Allah berilah hamba pertolongan agar selalu (mudah) berzikir (mengingat) kepada-Mu, agar bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan sebaik-baiknya kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud, disahihkan oleh al-Albani).
Demikian pula beliau mengajarkan diri kita sebuah doa untuk tidak bersandar kepada diri kita sendiri.
«يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ اسْتَغِيثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، ولَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ»
“Wahai Zat yang Maha hidup lagi berdiri sendiri, dengan rahmat-Mu lah aku memohon pertolongan. Maka perbaikilah keadaanku seluruhnya dan jangan Engkau jadikan aku bersandar (mengandalkan) diriku sedikit pun.” (HR. An-Nasa’i, disahihkan oleh Al-Albani)
18 Rabul Akhir 1445 H.