MEMETIK HIKMAH DARI KISAH HIJRAH
Pada tahun sepuluh kenabian, nampaknya kebutuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berhijrah semakin besar, khususnya pasca wafatnya sang paman yang tercinta; Abu Thalib dan istrinya; Khadijah radiyallahu ‘anha, sebab intimidasi, siksaan, dan kezaliman yang dibidikkan kepada beliau dan kaum muslimin semakin merajalela, karena sang pamanda yang selama ini berdiri di garda terdepan dalam membela dan melindungi beliau telah wafat, oleh karena itu beliau sangat gigih mencari tempat hijrah yang baru, sehingga disamping beliau mendakwahkan kalimat kalimat tauhid kepada kabilah-kabilah yang di sekitar kota Mekkah, beliau sisipkan juga permohonan agar menjadi sekutu baginya dan memberikan suaka kepada beliau dan pengikutnya.
Upaya Rasulullah untuk mencari tempat hijrah tidak sia-sia, ketika penduduk Madinah mulai beriman kepada beliau, kemudian terjadi peristiwa baiat Aqabah pertama yang diikuti oleh 12 orang, ketika peserta baiat pulang kembali ke Madinah, mereka mengirim surat kepada Rasulullah untuk mengutus sahabat yang dapat mengajari mereka Al-Qur’an, maka beliaupun mengutus seorang da’i, yaitu sahabat yang mulia Mus’ab bin Umair radiyallahu ‘anhu; dan ternyata dakwah beliau sukses, bahkan Saad bin Mu’az dan Usaid bin Khudhair yang merupakan tokoh di Madinah masuk Islam lewat dakwah beliau,[1] dan setahun beliau berdakwah di kota Madinah; kurang lebih 73 orang kemudian berbaiat kepada Rasulullah pada baiat Aqabah yang kedua. Pasca baiat Aqabah pertama[2] datang izin Rasulullah bagi sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah, maka kaum muslimin mulai berbondong-bondong berhijrah ke kota Madinah[3], sehingga pasca baiat Aqabah kedua, tidak tersisa di kota Mekkah kecuali segelintir kamu muslimin yang belum berhijrah, termasuk diantaranya Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib.
Suatu hari, tepatnya tanggal 26 safar tahun ke 14 kenabian, kaum musyrik Quraisy bermusyawarah di Daru al-Nadwah untuk memutuskan nasib Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa Rasulullah harus dibunuh[4], dan disepakati dalam musyawarah tersebut bahwa masing-masing kabilah mengutus pemuda terbaik dan terkuatnya, dengan dibekali pedang yang sangat tajam untuk mengepung dan menggeruduk rumah Rasulullah dan membunuh beliau, dan Allah menyingkap konspirasi tersebut dengan menurunkan wahyunya,
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan ingatlah, ketika orang-orang kafir Quraisy memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjaramu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.” QS. al-Anfal : 30.
Pada saat itu pula datang izin bagi Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam untuk berhijrah, maka beliaupun bergegas mengunjungi Abu Bakar di siang bolong dengan menutup kepalanya (agar tidak dikenali atau agar tidak kepanasan) untuk menyampaikan informasi dari Jibril tersebut, sehingga mereka bermusyawarah menyiapkan rencana demi suksesnya mega proyek hijrah ke kota Madinah, dan diantara rencana-rencana yang disiapkan untuk mensukseskan hijrah adalah sebagai berikut[5]:
- Untuk keluar dari kota Mekkah pada malam hari ke arah barat daya menuju gua Tsur, hal ini untuk mengelabui orang-orang kafir Quraisy, sebab mereka pasti akan memusatkan pencarian ke arah utara, yaitu ke arah Madinah.
- Berdiam di gua Tsur selama tiga hari, sebab orang-orang kafir Quraisy pasti akan gencar memburu mereka berdua di seluruh pelosok Mekkah pada rentang waktu tersebut.
- Menyewa pemandu jalan yang sangat mengetahui seluk beluk jalanan di padang pasir, yaitu Abdullah bin Uraiqith. Mereka berjanji untuk bertemu di sekitar gua Tsur dalam tiga hari, upahnya adalah dua ekor unta.
- Menugaskan Abdullah bin Abu Bakar untuk berprofesi sebagai intelejen bagi mereka. Yang mana Abdullah ini aktif bergerilya mencari informasi dan berita di kota Mekkah pada waktu siang, kemudian datang menemui Nabi di gua Tsur pada waktu malam untuk menyampaikan informasi-informasi penting terkait orang-orang kafir Quraisy dan aktifitas mereka, diantara tujuannya adalah agar Rasulullah mengetahui aktifitas orang-orang kafir Quraisy dan dedengkotnya secara real dan up to date, sehingga dapat memutuskan sikap sesuai dengan informasi yang datang.
- Menugaskan budak Abu Bakar, yaitu ‘Amir bin Fuhairah untuk menggembala domba dan kambing di sekitar gua Tsur, tujuannya adalah untuk menyiapkan susu bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau menyamarkan dan melenyapkan jejak-jejak kaki beliau dan Abu Bakar di padang pasir ketika proses keluar dari kota Mekkah.
- Meminta Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu untuk menggantikan beliau di pembaringannya dengan ditutupi dengan kain warna hijau yang biasa beliau pakai, sehingga orang-orang kafir Quraisy menduga bahwa Nabi masih berda di dalam rumahnya.
Malam datang menjelang, orang-orang kafir Quraisy telah berkumpul di sekitar rumah Rasulullah untuk melaksanakan rencana busuk mereka, pada saat itulah planing pertama Rasulullah dilaksanakan, yaitu meminta kepada Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan Nabi tidur di peraduan beliau, agar orang kafir Quraisy terkecoh dan menduga bahwa beliau masih berada di dalam rumahnya. Setelah Ali menggantikan beliau, maka beliaupun menyelinap keluar dengan bantuan dari Allah Azza wajalla, sehingga beliau dapat lolos dari kepungan 11 orang pilihan utusan orang-orang kafir yang akan membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau menuju ke gua Tsur.
Setelah orang-orang kafir Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhasil lolos dari kepungan mereka, maka mereka juga membuat rencana-rencana baru dan melakukan langkah praktis untuk mengejar Rasulullah, diantaranya adalah[6]:
- Mengutus utusan yang dipimpin oleh Abu Jahal ke rumah Abu Bakar radiyallahu ‘anhu untuk bertanya tentang keberadan beliau kepada keluarganya, sebab mereka sangat mengetahui keakraban Abu Bakar dengan Rasulullah, sehingga bisa menyingkap keberadaan Rasulullah lewat Abu Bakar, namun mereka kembali dari rumah Abu Bakar dengan tangan hampa.
- Memantau dan mengawasi dengan teliti semua jalan keluar di kota Mekkah.
- Menggelar sayembara; bahwa yang dapat menangkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu dalam keadaan hidup atau mati akan mendapat hadiah berupa 100 ekor unta.
- Menyewa para pencari jejak yang handal untuk menelusuri jalanan di kota Mekkah, demi melacak keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantara yang disewa adalah Kurz bin ‘Alqamah.[7]
HIKMAH DARI PERISTIWA HIJRAH
Peristiwa hijrahnya Nabi ke Madinah merupakan peristiwa sejarah yang sarat dengan ibrah dan hikmah, diantara ibrah yang dapat dipetik ialah;
- Peristiwa hijrah bukanlah peristiwa biasa dan sederhana, dan bukan proyek dengan tujuan menyelamatkan jiwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semata dari ancaman orang-orang kafir Quraisy, namun ia merupakan mega proyek umat dengan misi menyelamatkan agama Islam dan akidah yang benar, serta mendakwahkannya ke seluruh pelosok negeri, buktinya adalah keterlibatan banyak pihak demi untuk menyukseskan proyek hijrah ini sebagaimana dijelaskan diatas dan upaya yang luar biasa yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy untuk menggagalkan proses hijrah beliau ke kota Madinah bahkan berusaha untuk membunuh beliau.
- Proyek hijrah adalah salah satu ajang adu strategi, rencana, kecerdikan dan taktik antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pembesar orang-orang musyrik.
- Dalam proyek hijrah ini sangat nampak kepakaran Rasulullah dan Abu Bakar dalam membuat planning dan strategi untuk menyukseskan proyek hijrah mereka.
- Pentingnya musyawarah, perencanaan, merumuskan strategi dan tandhim (pengaturan) dalam proyek-proyek dakwah, dan dari kisah hijrah ini dapat dipetik pelajaran bahwa kesuksesan proyek hijrah Nabi disebabkan karena keunggulan beliau dan Abu Bakar dalam hatersebut, tentunya setelah taufik dan pertolongan Allah Azza wajalla.
- Musuh-musuh Islam menyiapkan dan merencanakan strategi dalam memerangi Islam, oleh sebab itu sangat perlu untuk melawan strategi dengan strategi, taktik dengan taktik dan perencanaan dengan perencanaan pulan.
- Urgensi ‘amal jama’i (teamwork) dan berta’awun (bekerjasama) dalam mengerjakan proyek-proyek dakwah. Dan dalam proses hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat nampak partisipasi dari para sahabat yang lain demi menyukseskan proyek tersebut.
- Upaya memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada para generasi muda untuk mengambil peran dalam amal-amal dakwah, tentunya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing, dan ini sangat nyata ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu memberikan amanah dan tugas kepada Abdullah bin Abu Bakar, ‘Amir bin Fuhairah dan lain sebagainya.
- Urgensi tauzi’ul maham (pembagian tugas) dalam ‘amal jama’i (kerja tim/teamwork), dan masing-masing harus berkomitmen untuk melaksanakan tugasnya masing-masing dengan sekuat tenaga.
- Kewajiban tunduk dan patuh kepada wahyu khususnya dalam hal-hal yang terkait syariat. Diantara faktor penyebab kesuksesan hijrah Rasulullah ke Madinah adalah karena faktor ini, buktinya adalah awal pergerakan Rasulullah untuk melaksanakan hijrah adalah ketika datang izin dari Allah lewat Jibril.
- Dalam proyek-proyek dakwah, sangat diperlukan pengetahuan seorang dai terhadap realita obyek dakwah, sehingga dapat merencanakan proyek dakwah yang cocok dengan mereka, tentunya tanpa bertentangan dengan syariat, sebagaimana Rasulullah menugaskan Abdullah bin Abu Bakar untuk menggali informasi terkait aktifitas orang-orang Quraisy dalam memburu Rasulullah dan melaporkannya kepada beliau di gua Tsur.
- Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pada peristiwa transaksi penyewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Abdullah bin Uraiqith sebagai pemandu jalan dalam kisah hijrah, padahal dia adalah orang kafir; adalah dalil bolehnya bekerjasama dengan orang-orang kafir dalam masalah kedokteran, obat-obatan, perhitungan dan lain sebagainya (dalam masalah-masalah dunia).[8]
[1] . Sirah al-Nabawiyah Fi Dhau’i al-Qur’an wa Sunah (1/436-441).
[2] Di kitab Fikih Sirah hal. 304, izin hijrah ke Madinah datang pasca baiat Aqabah ke dua.
[3] Idem (1/459).
[4] . Sirah al-Nabawiyah Fi Dhau’i al-Masadiri al-Ashliyah, hal. 264.
[5] . Sirah al-Nabawiyah Fi Dhau’i al-Masadiri al-Ashliyah, hal. 267-268, dan lihat Sahih Bukhari, no hadis: 3905.
[6] Sirah al-Nabawiyah Fi Dhau’i al-Masadiri al-Ashliyah, hal. 272.
[7] . Fathul Bari (15/91), penjelasan hadis nomor (3905).
[8] Bada’i’u al-Fawaid (3/208), lihat Fikih Sirah, hal. 312-313.