Memahami Makna Zahir dari Nama-nama dan Sifat-sifat Allah Tanpa Takwil
Dalam memahami nas-nas Alquran dan Sunah yang berkenaan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita wajib memahaminya sesuai dengan zahirnya. Dan yang dimaksud dengan makna zahir dari nas Alquran dan sunah adalah makna yang bisa langsung terbetik di dalam benak pikiran orang yang pandai bahasa Arab saat membaca atau mendengarnya. Seperti lafaz يَدٌ (tangan), وَجْهٌ (wajah), قَدَمٌ (kaki), يَنْزِلُ (turun), اسْتَوَى عَلَى (bersemayam di atas), جَاءَ (datang) dan semacamnya. Ketika dibaca atau didengar oleh orang yang pandai bahasa Arab maka makna yang langsung terbetik dalam pikirannya adalah tangan, wajah, kaki, turun, bersemayam di atas dan datang. Inilah makna zahir dari setiap lafaz tersebut.
Hanya saja makna zahir dari setiap lafaz bisa berbeda-beda tergantung kepada susunan kalimat, konteks pembicaraan dan kepada siapa lafaz tersebut disandarkan. Lafaz atau kata يَدٌ ketika disandarkan kepada Ahmad hingga terangkai menjadi يَدُ أَحْمَد maka makna zahirnya adalah tangan Ahmad, dan ketika disandarkan ke monyet dan dirangkai menjadi يَدُ القِرْدِ maka makna zahirnya adalah tangan monyet, dan jika disandarkan kepada gajah dan dirangkai menjadi يَدُ الفِيْلِ maka makna zahirnya adalah tangan gajah.
Ketika lafaz يَدٌ (tangan), وَجْهٌ (wajah), قَدَمٌ (kaki) disandarkan kepada Allah atau Rabb hingga menjadi يَدُ الله atau وَجْهُ الله atau الرَّبِّ قَدَمُ maka makna zahir dari lafaz tersebut adalah tangan Allah, wajah Allah dan kaki Rabb. Demikian pula lafaz yang berbentuk kata kerja seperti يَنْزِلُ (turun), اسْتَوَى عَلَى (bersemayam di atas), جَاءَ (datang) jika disandarkan kepada Allah atau Rabb dan terangkai menjadi:
يَنْزِلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى السَّمَاءِ
Maka makna zahirnya adalah: “Allah Azza wajalla turun ke langit.” Demikian juga dengan:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Makna zahirnya adalah: “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr: 22). Begitu pula dengan:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ
Makna zahirnya adalah: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A’raf: 54).
Begitu juga dengan lafaz lainnya, hendaknya dipahami sesuai makna zahirnya dan tidak memalingkan kepada makna lain yang bukan makna zahir alias makna kiasan kecuali jika dalil yang memalingkannya adalah ayat Alquran, hadis sahih ataupun ijmak, bukan logika semata, mimpi, perasaan, prasangka dan semacamnya.
Memahami nas-nas Alquran dan sunah termasuk nas-nas yang berkenaan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai makna zahirnya telah dipertegas oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Risalah. Beliau menulis:
والقرآن على ظاهره، حتى تأتي دلالة منه أو سنة أو إجماع بأنه على باطن دون ظاهر
“Alquran sesuai zahirnya hingga ada dilalah dari Alquran, atau sunah atau ijmak yang menunjukkan bahwa dilalahnya secara batin dan bukan zahir.” (Lihat: Al-Risalah, hal. 435).
Artinya nas Alquran tidak boleh dikeluarkan dari makna zahirnya hingga ada dalil yang mengalihkan zahirnya kepada makna lainnya. Dan dalil yang dapat mengalihkannya adalah Alquran, atau sunah atau ijmak.
Di tempat lain dalam konteks membicarakan hadis-hadis yang berhubungan dengan larangan mengerjakan salat setelah menunaikan salat Ashar hingga magrib dan salat subuh hingga matahari terbit dan meninggi, beliau berkata:
وهكذا غير هذا من حديث رسول الله، هو على الظاهر من العام حتى تأتي الدلالة عنه كما وصفت، أو بإجماع المسلمين: أنه على باطن دون ظاهر، وخاص دون عام
“Demikianlah, sikap terhadap hadis ini ataupun hadis Rasulullah lainnya, sesuai zahirnya dan berlaku umum hingga terdapat dilalah dari hadis tersebut sebagaimana Aku sebutkan, atau ada ijmak kaum muslimin bahwa hadis tersebut berlaku batin dan bukan zahir, khusus dan bukan umum.” (Lihat: Al-Risalah, hal. 278).
Dalam kedua nukilan tersebut, setidaknya terdapat dua hal penting yang beliau pertegas, pertama, kewajiban memperlakukan nas Alquran dan Sunah apa adanya sesuai zahirnya. Kedua, makna zahir dari nas tersebut tidak boleh dialihkan kepada makna non zahir kecuali dengan dalil yang beliau kemukakan, yaitu dalil Alquran atau Sunah atau ijmak.
Penegasan dan pembatasan beliau dengan ketiga jenis dalil tersebut memberi isyarat bahwa seseorang yang ingin mengalihkan makna zahir kepada makna non zahir dari nas Alquran dan Sunah tidak boleh seenaknya dan sekehendaknya memainkan nas tanpa aturan. Adanya batasan pada ketiga jenis dalil tersebut menolak takwil-takwil yang tidak berdasar kepada ketiganya atau salah satu di antaranya.
Dengan demikian mengalihkan makna zahir suatu nas yang berkenaan dengan nama ataupun sifat Allah hanya karena alasan logika, perasaan atau tradisi dan semacamnya tertolak dalam pandangan Imam Syafi’i rahimahullah. Sebagai contoh, firman Allah ta’ala:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS. Al-Fath: 10).
Secara zahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan tangan Allah tersebut sesuai dengan keagunganNya dan tidak serupa dengan tangan makhluk. Jika ada orang yang mengatakan tangan tersebut harus ditakwil dengan kekuatan atau nikmat karena jika diberlakukan sesuai zahirnya bahwa Allah memiliki tangan hakiki maka konsekuensinya Allah itu jism (visual), maka dikatakan kepadanya bahwa ini termasuk takwil, yaitu memalingkan makna ayat dari zahirnya bukan dengan dasar ayat Alquran, Sunah ataupun ijmak, melainkan hanya dengan dasar logika.
Contoh lainnya, dalam hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam:
إِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ، أَوْ ثُلُثَاهُ، يَنْزِلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Apabila seperdua malam atau dua pertiganya telah berlalu maka Allah Tabaraka Wata’ala turun ke langit yang terendah.” (HR. Muslim No. 758).
Zahir hadis ini menunjukkan bahwa Allah turun ke langit terendah sesuai dengan keagungan dan kebesaranNya dan tanpa kita ketahui model turunNya karena Allah dan Rasulullah tidak menjelaskannya.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa hadis ini harus ditakwil menjadi: malaikat turun, atau rahmat, atau perintah Allah, bukan Allah yang turun, karena jika Allah yang turun maka hal tersebut berkonsekuensi bahwa Arsy akan berada di atasNya, atau Allah akan berada di langit terendah sepanjang waktu. Dengan alasan karena perbedaan waktu sepertiga malam terakhir di setiap negeri atau kawasan berbeda dari negeri dan kawasan lainnya. Maka dikatakan kepadanya bahwa takwil tersebut tidak dapat diterima karena hal tersebut merupakan pengalihan makna hadis dari makna zahirnya tanpa dalil ayat atau hadis ataupun ijmak. Melainkan logika semata, padahal logika tersebut hanya berlaku bagi makhluk, sedang Allah tidak berlaku bagiNya logika seperti itu karena Allah tidak serupa dengan makhluk.