Manajemen Lisan
Romantika manajemen lisan memang gampang-gampang susah. Akan tetapi, merupakan karakter seorang insan beriman, sanggup menjaga iman beserta baiknya lisan. Manusia yang mu`min akan berjuang keras untuk mempertahankan kestabilan imannya dan berusaha menjaga lisannya. Hal itu telah diisyaratkan oleh Rasulullah,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Al-Bukhari no. 6018, 6136, 6475; Muslim no. 47; Abu Dawud no. 5154; At-Tirmidzi no. 2500. Lihat pula hadits senada dalam Shahih Al-Jami’ no. 6500, 6501]
Secara implisit, Rasulullah ingin menyampaikan bahwasanya orang-orang yang beriman memiliki ciri khas istimewa yaitu tidaklah terucap dari lisannya kecuali kata-kata yang berkualitas tinggi, yang penuh manfaat, dan jauh dari maksiat. Bila dirasa tidak berfaidah, lisannya akan dia cegah.
Ibnu Hajar menerangkan, “Menjaga lisan adalah tidak berbicara dengan kata-kata yang dilarang syariah.” [Fat-h Al-Bari 11/308] An-Nawawi menguraikan, “Hendaknya seseorang yang ingin berbicara merenungkan apa yang hendak diucapkannya terlebih dahulu di dalam qalbunya sebelum ia mengucapkannya. Jika ada mashlahatnya, ia boleh bicara, tetapi jika tidak, hendaknya ia diam.” [Al-Minhaj 18/328]
Jadi diam adalah emas, berbicara yang baik adalah mutiara. Kalau tidak bisa meraih mutiara tidak mengapa hanya beroleh emas, daripada malah mendapatkan kayu bakar akibat ghibah, namimah, dusta, sumpah palsu, sum’ah, fitnah, mencaci maki, memuji diri, menghina, nadzar maksiat, fatwa tanpa ilmu, menuduh, mengolok-olok, berdoa keburukan, memuji selain Allah secara berlebihan, beramar ma’ruf nahi munkar tapi malah tidak mempraktekannya, dan sebagainya.
Mengapa lisan sedemikian erat dihubungkan oleh Rasulullah dengan iman kepada Allah dan hari akhir? Pasalnya, bila seseorang itu percaya bahwa Allah akan membalas segala yang keluar dari lisan dan yang diperbuat oleh anggota badan pada hari qiyamah, yang akan berdampak bagi keberlangsungan hidup di akhirat, sudah barang tentu orang itu akan berusaha sebaik mungkin untuk berkata baik, dan tatkala merasa tidak bisa, maka dia akan diam.
LISAN BISA MENJADI MALAPETAKA
Nabi menyarankan kita untuk berhati-hati dalam mempergunakan lisan. Sebelum mengucapkan sesuatu, kita diperintahkan untuk memprediksi efek dan ekses yang kira-kira muncul, agar tidak timbul penyesalan. Dari Abu Hurairah, Nabi mengingatkan, “Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak ia teliti kebenarannya, bisa jadi ucapannya itu menyebabkan ia tergelincir di neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” [Al-Bukhari no. 6477; Muslim no. 2988]
Ibnu Hajar menjelaskan, “Ia tidak memperhatikan ucapannya, itu artinya ia tidak merenungkan ucapannya dengan qalbunya, tidak memikirkan akibatnya, dan tidak mengira bahwa ucapannya dapat berdampak buruk.” [Fat-h Al-Bari 11/311]
Dalam riwayat Abu Hurairah yang lain, demikian wanti-wanti dari Rasulullah, “Sesungguhnya seseorang mengatakan satu kalimat yang diridhai Allah namun ia tidak menaruh perhatian terhadapnya, ternyata Allah malah mengangkatnya beberapa derajat dengan sebab kalimat itu. Sesungguhnya seseorang mengatakan satu kalimat yang dibenci Allah, namun ia tidak menaruh perhatian terhadapnya, ternyata Allah malah menjerumuskannya ke Jahannam dengan sebab kalimat itu.” [Al-Bukhari no. 6478; Lihat hadits serupa dalam Ash-Shahihah no. 888]
Hal inilah yang betul-betul dipahami hingga merasuk ke dalam setiap sudut sanubari para shahabat, di antaranya ‘Umar, “Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya. Barangsiapa banyak kesalahannya; banyak pula dosanya. Barangsiapa banyak dosanya, neraka lebih layak baginya.” [Raudhah Al-‘Uqala`, Ibnu Hibban Al-Busti, hal. 43] Abu Bakar juga merasakan yang sama. “Lisan inilah yang bisa membuatku berada di tempat-tempat yang membinasakan (yaitu neraka).” [HR. Abu Ya’la no.5] Menyadari begitu rawannya lisan terperosok dalam dosa, Ibnu Mas’ud sampai bersumpah, “Demi Allah, yang tiada tuhan yang berhak disembar dengan benar selain Dia, tidak ada sesuatu pun yang lebih berhak dipenjara dengan lama daripada lisan.” [Raudhah Al-‘Uqala`, Ibnu Hibban Al-Busti, hal. 46]
Sebenarnya, petaka lisan tidak hanya di akhirat, bahkan dunia. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, Rasulullah bertutur, “Aku keluar untuk mengabari kalian waktu lailatul qadr, kemudian ada dua orang yang saling mencela dan bertengkar, ternyata aku menjadi lupa kapan waktu tersebut. Semoga hal ini menjadi baik bagi kalian. Carilah pada malam ke-29, 27 dan 25.” [Al-Bukhari no. 2023]
Bagai geriba
Qalbu dan lisan itu ibarat geriba dan air yang ada di dalamnya. Apa yang dikeluarkan oleh lisan adalah apa yang ada di dalam qalbunya. Bila qalbunya baik, maka lisan hanya akan mengucapkan kata-kata yang baik. Seperti bila isi geriba adalah air yang baik, maka geriba hanya mengeluarkan air yang baik tersebut. Begitu pula sebaliknya. Maka cara yang paling tepat dan paling awal untuk berhasil menjaga lisan adalah dengan menjaga qalbu baik-baik.
Resep kedua untuk mudah mengendalikan lisan adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Nabi pernah memberikan satu resep mujarab berupa doa untuk mendapatkan taufiq dari Allah agar terhindar dari bejatnya lisan.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّي
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan pendengaran, penglihatan, lisan, qalbu, dan maniku.” [Sunan Abu Dawud no. 1551; Sunan At-Tirmidzi no. 3492]
Resep ketiga, senantiasa sadar diri untuk mengoreksi niat dan fungsi ucapan yang akan dilontarkan. An-Nawawi menasehatkan, “Hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali apabila perkataannya membawa kebaikan, dan kapan saja ia ragu apakah membawa kebaikan dalam perkataannya (atau malah keburukan), maka hendaklah ia tidak berbicara.” [Syarh Riyadh Ash-Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin, 6/155]
Resep keempat, selalu berlatih dan membiasakan diri untuk mengucapkan kata-kata yang baik. Asy-Syaikh Mahmud Al-Khazandar dalam Hadzihi Akhlaquna menyarankan, “Perkataan yang baik dapat terjadi dengan pelatihan dan pembiasaan, demikian pula perkataan yang buruk. Lisan akan mengeluarkan kata-kata yang biasa ia ucapkan. Hanya dengan kesungguhan, lisan dapat terjaga. Sedikit saja kita lengah, maka lisan kita akan terpeleset.”
Oleh Brilly El-Rasheed, S.Pd.