Kuantum Niat
“Adapun aku, maka beraktivitas tidur malam, dan juga shalat malam, lalu meniatkan pahala pada aktivitas tidurku, sebagaimana meniatkan pahala pada aktivitas shalat malamku”
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu (Shahih Bukhari: 56)
Dalam suatu hadis, Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيِهِ
Artinya: “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.” (HR Bukhari: 1/2, dan Muslim: 6/48)
Ketahuilah, bahwa amal perbuatan terbagi ke dalam tiga macam:
Pertama: Amalan Maksiat
Amalan maksiat tetap akan terus berstatus sebagai maksiat, tidak akan berubah hanya dengan adanya niat yang baik. Misalnya, ada orang yang membangun masjid dari harta haram dengan niat yang baik. Niat baik ini sama sekali tidak akan mengubah status maksiat keberadaan harta haram tersebut, sebab amalan kebaikan yang dilakukan dengan sarana haram adalah suatu maksiat tersendiri.
Kedua: Ibadah Ketaatan
Amal ibadah ini berkaitan erat dengan niat pelakunya dari segi sah tidaknya, dan juga dari segi dilipatgandakannya pahala ibadah tersebut. Dari segi sah tidaknya, seseorang yang beribadah wajib meniatkannya karena Allah, bukan karena selain-Nya. Bila ia beribadah dengan niat riya, maka hal itu adalah sebuah kemaksiatan. Adapun dari segi dilipatgandakannya pahala ibadah tersebut, maka dapat diraih dengan banyaknya niat baik dalam mengerjakan satu ibadah, karena satu ibadah ketaatan dapat diniatkan dengan banyak niat atau tujuan yang baik, sehingga di setiap niat tersebut ia mendapatkan pahala tersendiri, sebab setiap niat merupakan satu ketaatan tersendiri, lalu satu ketaatan atau kebaikan tersebut dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan.
Di antara contoh ibadah tersebut adalah duduk beribadah di masjid. Duduk di masjid ini bisa diniatkan dengan beberapa niat, di antaranya; niat duduk untuk menanti waktu shalat wajib, niat i’tikaf, niat menjauhi maksiat, niat menghilangkan berbagai kesibukan yang melalaikan dari Allah, niat berzikir kepada Allah Ta’ala, dan niat-niat semacamnya. Beginilah cara memperbanyak niat dalam mengerjakan satu jenis ibadah, dan tentunya bisa dilakukan pada ibadah ketaatan lainnya yang begitu banyak, lantaran tidaklah ada satu ibadah pun melainkan bisa diniatkan dengan banyak niat kebaikan.
Ketiga: Amalan Mubah
Tidak ada satu amalan mubah pun melainkan bisa diniatkan dengan satu niat kebaikan atau lebih, dengan niat ini, ia pun berubah menjadi sebuah ketaatan, dan seseorang bisa meraih banyak pahala dan derajat mulia di sisi Allah. Sungguh, betapa merugi seorang insan yang melalaikan niat-niat kebaikan ini, dan hanya mengerjakan amalan-amalan mubah ini seperti halnya amalan binatang yang tak memiliki niat sama sekali.
Di antara contoh amalan mubah yang bisa diniatkan untuk ketaatan tersebut adalah; memakai wewangian. Dengan memakai wewangian, seorang muslim hendaknya berniat untuk mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengagungkan masjid, dan menghilangkan bau tidak sedap yang bisa mengganggu orang yang bergaul dengannya.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Siapa yang harum wangi badannya (dengan memakai wewangian), maka akalnya semakin bertambah cemerlang.”
Sebagian salaf mengisahkan: “Aku suka bila di setiap gerak-gerikku aku memiliki niat, baik saat makan, minum, tidur, tidur, ataupun masuk WC.”
Semua jenis amalan yang disebutkan ini bisa saja diniatkan untuk ibadah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, karena semua amalan yang bisa menyehatkan badan, dan membersihkan hati merupakan bagian urgen dari agama ini. Sebab itu, siapa saja yang meniatkan makannya untuk kuat beribadah, atau meniatkan pernikahannya untuk menjaga agamanya, membahagiakan istrinya, dan mendapatkan anak saleh; ia pasti diberikan pahala atas niatnya tersebut.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali meremehkan setiap gerak-gerik dan tutur katamu, karena sekecil apapun ia dapat mendatangkan pahala untukmu. Evalusilah dirimu sendiri sebelum engkau nanti dievaluasi oleh Allah, perbaikilah niatmu sebelum mengerjakan setiap amalan, serta perhatikan niat baikmu pula pada sesuatu yang engkau jauhi berupa maksiat, atau perbuatan sia-sia.
Dalam perkara niat ini, manusia terbagi dalam tiga kategori:
Pertama: Orang yang mengerjakan ibadah ketaatan dengan dasar sebagai implementasi rasa takut (al-khauf) kepada Allah.
Kedua: Orang yang mengerjakan ibadah ketaatan dengan dasar sebagai implementasi harapan (ar-raja) kepada Allah.
Ketiga: Orang yang mengerjakan ibadah ketaatan dengan dasar niat atau sebagai implementasi pengagungan terhadap Allah Ta’ala, karena Dia berhak untuk ditaati dan diibadahi. Ini merupakan kategori paling tinggi, tidak mungkin diniatkan oleh orang yang cinta dunia. Ia juga merupakan niat paling mulia sekaligus paling sulit, hanya sedikit orang yang bisa memahami niat ini, apatah lagi yang bisa merealisasikannya, tentu lebih sedikit lagi. Pemilik kategori ketiga ini senantiasa berzikir kepada Allah, dan memikirkan keagungan-Nya; sebagai tanda cinta kepada-Nya.
Niat-niat yang disebutkan ini derajatnya berbeda-beda dan beragam. Kadang kala ada niat suatu amalan yang lebih dominan dalam diri seseorang, sehingga ia tidak mudah untuk memunculkan niat lain untuk amalan lainnya. Sebab itu, bila ada orang yang niat amalan mubahnya dominan dan pasti, namun niat baik untuk mengerjakan amalan sunah belum ada, maka amalan mubah tersebut lebih utama baginya. Misalnya, ada orang yang niat baiknya dominan dan hadir saat makan atau tidur agar makan atau tidurnya tersebut menjadikannya kuat beribadah, dan pada saat itu juga niatnya untuk puasa atau shalat sunat belum ada; maka pada kondisi ini makan atau tidur tersebut lebih utama. Bahkan, bila ia jenuh dari ibadah lantaran banyaknya aktivitas ibadah, dan yakin bahwa dengan rehat sebentar spirit ibadahnya akan kembali, maka hal itu lebih utama dari pada melanjutkan ibadah tanpa rehat.
Ali radhiyallahu ‘anhu menegaskan hal ini dalam ucapan hikmahnya: “Rehatkanlah hati, dan rasukkanlah ke dalamnya kata-kata bijak penghibur, sebab ia juga jenuh seperti halnya badan jenuh.”
Juga sebagian ulama menasihatkan: “Rehatkanlah hati, niscaya ia akan semakin giat mengingat akhirat (atau berzikir kepada Allah).” Wallaahu a’lam.
_______________________________
([1]) Disadur dari “Perjalanan Hati” (Intisari Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin), oleh Maulana La Eda.