Tatsqif

KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN 

KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN 

Bulan Sya’ban memiliki keistimewaan dan keutamaan yang tidak dimiliki bulan lain, baik dari segi makna kata Sya’ban secara bahasa maupun Dari segi _wadzaif_ amalan yang ada padanya, mari kita pelajari melalui 9 point berikut:

  1. Mengapa Bulan Sya’ban Dinamakan Demikian?

Sya’ban adalah nama untuk bulan kedelapan hi Di zaman jahiliah disebut _’Adzil_ , dan orang awam  Memberi nama _Al Qashir_ (pendek) karena menunggu datangnya bulan tercinta Ramadlan terasa cepat,  sedang mereka menamakan bulan Syawal _At Thawil_ (panjang) karena terasa lama waktu berjalan meninggalkan bulan Ramadhan.

Bulan Sya’ban Dinamakan demikian karena orang Arab dahulu berpencar di dalamnya untuk mencari air. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka berpencar dalam peperangan setelah diharamkan berperang di bulan Haram Rajab. Ada pula yang berpendapat bahwa Sya’ban berasal dari kata syi’b yang berarti cabang atau jalan diantara Dua bukit; karena posisi Bulan Sya’ban terletak di antara dua bulan mulia yaitu Bulan Haram Rajab dan bulan mulia Ramadan. Bentuk jamaknya adalah Sya’banaat dan Sya’aabiin.

  1. Puasa di Bulan Sya’ban

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كان رسول الله يصوم حتى نقول لا يفطر، ويفطر حتى نقول لا يصوم، وما رأيت رسول الله استكمل صيام شهر إلا رمضان وما رأيته أكثر صياما منه في شعبان.

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata, ‘Beliau tidak akan berbuka,’ dan beliau berbuka hingga kami berkata, ‘Beliau tidak akan berpuasa.’ Dan aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain Ramadan, dan aku tidak melihat beliau lebih banyak berpuasa daripada di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1833 dan Muslim no. 1956).

Dalam riwayat Muslim lainnya:

كان يصوم شعبان كله، كان يصوم شعبان إلا قليلا.

“Beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya, beliau berpuasa di bulan Sya’ban kecuali sedikit.” (HR. Muslim no. 1957).

Sebagian ulama seperti Ibnu Mubarak rahimahullah dan lainnya berpendapat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh di bulan Sya’ban, melainkan hanya berpuasa sebagian besar dari bulan itu. Hal ini sesuai dengan riwayat dalam Shahih Muslim:

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: 

Baca Juga  Wahai Sejarah, Kami Telah Kembali!

ما علمته – تعني النبي صلى الله عليه وسلم – صام شهراً كله إلا رمضان.

“Aku tidak mengetahui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan penuh selain Ramadan.” (HR. Muslim no. 1954).

Dalam riwayat lain:

ما رأيته صام شهراً كاملاً منذ قدم المدينة إلا أن يكون رمضان.

“Aku tidak melihat beliau berpuasa sebulan penuh sejak beliau tiba di Madinah selain Ramadan.” (HR. Muslim no. 1955).

Dalam riwayat shahihain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

ما صام رسول الله صلى الله عليه وسلم شهراً كاملاً غير رمضان.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain Ramadan.” (HR. Bukhari no. 1971 dan Muslim no. 1157).

Ibnu Abbas radliallahu anhuma juga tidak menyukai puasa satu bulan penuh selain Ramadan.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

كان صيامه في شعبان تطوعاً أكثر من صيامه فيما سواه وكان يصوم معظم شعبان.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa Sunnah di bulan Sya’ban lebih banyak dibandingkan dengan bulan lainnya, dan beliau berpuasa hampir seluruh bulan Sya’ban.”

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

قلت يا رسول الله لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان

“Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau banyak berpuasa pada satu bulan seperti di bulan Sya’ban.’ Rasulullah bersabda: 

ذاك شهر تغفل الناس فيه عنه، بين رجب ورمضان، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم.

‘Itu adalah bulan yang banyak dilalaikan oleh manusia antara Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan diangkatnya amal kepada Rabb semesta alam, dan aku ingin amalanku diangkat dalam keadaan aku berpuasa.’” (HR. An-Nasa’i, lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, hlm. 425).

Dalam riwayat Abu Dawud rahimahullah:

كان أحب الشهور إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يصومه شعبان ثم يصله برمضان.

“Bulan yang paling disukai Rasulullah untuk berpuasa setelah Ramadan adalah Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan Ramadan.” (HR. Abu Dawud no. 2076, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 2/461).

  1. Keutamaan Ibadah di Waktu yang Terlupakan
Baca Juga  Terorisme Antara Hak Dan Bathil (Dalam Perspektif Barat)

Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah di waktu kelalaian memiliki keutamaan. Sebagian ulama salaf menyukai shalat di antara Maghrib dan Isya’ karena waktu itu adalah waktu kelalaian. Demikian pula, mengingat Allah di pasar lebih utama karena pasar adalah tempat kelalaian.

4. Beberapa manfaat dari ibadah di waktu yang terlupakan:

  • Lebih tersembunyi, dan menyembunyikan amalan sunnah lebih baik.
  • Lebih berat bagi jiwa, karena semakin sedikit orang yang melakukannya, semakin besar pahalanya.
  • Seperti berhijrah kepada Nabi, sebagaimana dalam hadis:

العبادة في الهرْج كالهجرة إلي.

“Ibadah di saat banyak fitnah seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2984, dari Ma’qil bin Yasar).

  1. Sebab Rasulullah Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Para ulama menyebutkan beberapa alasan mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban:

  1. Beliau sibuk dan tidak sempat berpuasa tiga hari tiap bulan, sehingga beliau mengqadhanya di bulan Sya’ban.
  2. Istri-istri beliau mengqadha puasa Ramadan di bulan Sya’ban, sehingga beliau ikut berpuasa.
  3. Karena bulan Sya’ban adalah bulan yang sering dilalaikan oleh manusia, sebagaimana dalam hadis Usamah di atas.

6. Qadha Puasa Wajib dan Puasa Sunnah di Bulan Sya’ban

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sunnahnya sebelum Ramadan, sebagaimana beliau mengqadha shalat sunnah yang terlewat. Aisyah radliallahu anha pun memanfaatkan waktu ini untuk mengqadha puasa Ramadan yang tertunda karena haid.

Jika seseorang masih memiliki utang puasa Ramadan, maka wajib mengqadhanya sebelum datang Ramadan berikutnya. Tidak boleh menunda tanpa uzur, dan jika tetap ditunda, wajib qadha disertai fidyah (memberi makan orang miskin) menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad.

  1. Puasa di Akhir Bulan Sya’ban

Dari Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu:

هل صمت من سرر هذا الشهر شيئا؟” قال لا، قال: “فإذا أفطرت فصم يومين.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang lelaki: ‘Apakah kamu telah berpuasa di akhir bulan ini?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah bersabda: ‘Jika kamu berbuka (setelah Ramadan), maka berpuasalah dua hari.’” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim no. 1161).

Kata “sarar” (ٌسَرَر) dalam hadis ini diartikan sebagai akhir bulan, karena saat itu bulan tidak terlihat (gelap atau tertutup), yaitu malam tanggal 28, 29, dan 30 jika bulan tersebut lengkap (30 hari).

Baca Juga  Sejarah Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Sarar bulan adalah pertengahan bulan, karena “sarar” adalah jamak dari “surrah”, yang berarti pusat atau tengah sesuatu. Dalam pengertian ini, yang dimaksud adalah hari-hari putih, yaitu tanggal 13, 14, dan 15.

Pointnya adalah Nabi ﷺ memotivasi sahabat tersebut untuk mengqadla puasa Sya’ban setelah Idul Fitri dan selesainya puasa Ramadan, agar seseorang tetap menjaga kebiasaannya dalam beribadah. Sebab, amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus.

Namun, ada hadis lain yang melarang puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan, kecuali bagi yang memiliki kebiasaan puasa:

لا تقدموا رمضان بيوم أو يومين، إلا من كان يصوم صوما فليصمه.

“Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa sebelumnya, maka boleh ia berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1983 dan Muslim no. 1082).

  1. Tiga Hukum Puasa di Akhir Sya’ban
  • Jika berpuasa dengan niat Ramadan, maka haram.
  • Jika berpuasa karena nadzar, qadha, atau kafarah, maka boleh.
  • Jika berpuasa sunnah tanpa alasan, maka makruh.
  1. Mengapa Makruh Berpuasa Tepat Sebelum Ramadan?
  • Agar tidak menambah puasa Ramadan secara berlebihan, sebagaimana Yahudi dan Nasrani menambah ibadah dengan hawa nafsu mereka.
  • Sebagai pemisah antara puasa wajib dan sunnah, sebagaimana shalat sunnah dipisah dari shalat wajib. 

Oleh karena itu, diharamkan puasa pada hari raya, dan Nabi ﷺ melarang menyambung shalat fardu dengan shalat lainnya tanpa dipisahkan dengan salam atau perkataan. Terutama dalam hal shalat sunah fajar sebelum shalat Subuh, disyariatkan untuk memisahkannya dari shalat fardu. Oleh sebab itu, dianjurkan untuk melaksanakannya di rumah dan berbaring setelahnya. Sebagaimana ketika Nabi ﷺ 

melihat seorang laki-laki sedang shalat sementara shalat Subuh telah ditegakkan, beliau pun berkata kepadanya:

آلصُّبح أربعاً.

“Apakah Subuh menjadi empat rakaat?” (HR. Bukhari no. 663).

Sebagian orang keliru mengira bahwa larangan berpuasa sebelum Ramadan adalah untuk foya-foya melampiaskan  nafsu menikmati makanan lebih banyak sebelum puasa, padahal bukan demikian, ada alasan syar’i sebagaimana telah dijelaskan. 

Wallahu a’lam.

Berian Muntaqo Fatkhuri, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Qassim University, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?