Kemahatinggian Allah ta’ala
Dalam bahasa arab, kata ketinggian atau kemahatinggian diungkapkan dengan uluww (tinggi) dan fauq atau fauqiyah (di atas). Dalam kitab-kitab aqidah dikemukakan tiga macam kemahatinggian yang dimiliki Allah Ta’ala. Yaitu, uluwwuz zat (kemahatinggian zat), uluwwul qahr (kemahatinggian kekuasaan dan keperkasaan) dan uluwwul qadr (kemahatinggian derajat).
Uluwwuz zat terkait dengan tempat keberadaan Allah, biasa juga diungkapkan dengan uluwwul makan (kemahatinggian tempat), sedang uluwwul qahr terkait dengan sifat keperkasaan Allah, sementara uluwwul qadr terkait dengan sifat keagungan dan kemahasucian-Nya.
Yang dimaksud dengan uluwwuz zat adalah bahwa Allah dengan zat dan sifat-Nya berada pada tempat yang tertinggi, yaitu di atasnya arasy yang merupakan makhluk yang tertinggi. Tidak ada makhluk yang setara apalagi lebih tinggi posisinya daripada Allah.
Sementara uluwwul qahr bermakna bahwa Allah Mahaperkasa dan Mahamenguasai semua makhluk. Tidak satu pun makhluk dapat keluar dari kekuasaan-Nya apalagi melawan dan mengalahkan-Nya. Allah berfirman:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am: 18, 61)
Sedang uluwwul qadr adalah Allah memiliki sifat-sifat yang derajat keagungan dan kesuciannya mahatinggi sehingga sifat-sifat makhluk tidak serupa denganNya apalagi melebihiNya. Karenanya Allah berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَثَل الْأَعْلَى
“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi“. (QS. An-Nahl: 60).
“Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ar-Rum: 27).
Pada umumnya, kaum muslimin dari berbagai sekte mengakui dan meyakini uluwwul qahr (kemahatinggian kekuasaan dan keperkasaan) dan uluwwul qadr (kemahatinggian derajat). Sedang uluwwuz zat (kemahatinggian zat) sebagian mereka ada yang menolak dan mengingkarinya atau mentakwilnya. Padahal kemahatinggian zat Allah dan bahwa Allah berada di atas semua makhluk-Nya, beristiwa di atasnya arasy termasuk perkara yang sangat gamblang disebutkan di dalam Al-Quran dan sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam.
Argumentasi tentang uluwwullah tidak terbatas pada dalil-dalil al-Quran dan sunnah, logika dan fitrah manusia pun turut memperkuat argumen tersebut.
Secara global dilalah Al-Quran dan sunnah terhadap kemahatinggian zat Allah dapat diketahui dalam berbagai redaksi. Antara lain dengan ungkapan; naik ke atas, atau mengangkat dari bawah ke atas, turun dari atas ke bawah atau menurunkan dari atas ke bawah, memberi isyarat ke atas atau menengadahkan telapak tangan ke atas.
Berikut beberapa redaksi Al-Quran dan sunnah dalam menetapkan kemahatinggian zat Allah Ta’ala:
Pertama, penegasan bahwa Allah berada di atas makhluk dengan menggunakan kata Fauqa (di atas) pada saat membicarakan ketaatan penghuni langit dan bumi dan rasa takut para malaikat kepada Allah. Allah berfirman:
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (QS. An-Nahl: 50)
Ayat yang menggunakan kata fauqa ini dibarengi dengan kata min untuk mempertegas kemahatinggian posisi zat Allah. Dan bukan sekedar kemahatinggian qadr ataupun qahr. Karena jika preposisi min mendahului kata fauqa yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai zharf maka hal itu mengindikasikan ketinggian zat. Sebaliknya jika fauq dipakai dalam konteks fauqiyah qadr maka tidak tepat menggunakan preposisi min. Sebagai contoh: Jika dikatakan emas lebih tinggi derajatnya daripada besi maka hanya diungkapkan dengan adz-dzahab fauq al-hadid, bukan adz-dzahab min fauq al-hadid. Atau raja lebih tinggi derajat dan kedudukannya daripada rakyat hanya dibahasakan dengan al-malik fauq al-ra’iyyah, bukan al-malik min fauq al-rai’iyyah.
Kedua, penegasan bahwa kepada Allah diangkat dan naik kepada-Nya sebagian di antara hamba ataupun amalan hamba dengan menggunakan bentukan kata ar-raf’u, as-shu’ud dan al-‘uruuj yang bermakna mengangkat atau naik ke atas. Sementara indikasi dasar dari kata mengangkat atau naik adalah pindah atau memindahkan dari bawah ke atas.
Bentukan kata ar-raf’u, di antaranya terdapat dalam firman Allah:
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya”. (QS. An-Nisa’: 158).
Sedang bentukan kata as-shu’ud, terdapat di dalam firman Allah dan sabda Rasulullah berikut ini:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS. Fathir: 10).
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلاَ يَصْعَدُ إِلَى اللَّهِ إِلَّا الطَّيِّبُ، فَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فُلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَلِ
“Barangsiapa yang bersedekah sebesar biji kurma dari usaha yang halal, dan tidak akan naik kepada Allah kecuali yang baik, maka Allah menerimanya dengan tangan kananNya, kemudian Allah memeliharanya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kudnya, sehingga ia menjadi seprti gunung”. (HR. Bukhari).
Tentu saja kata “naik kepada Allah” tidak dapat ditakwil dengan diterima. Karena setelah itu disebutkan “Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya”. Sebab akan terjadi pengulangan yang tidak memberi tambahan makna. Hal ini jauh dari kefasihan bahasa yang dimiliki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sedang bentukan kata al-‘uruj, di antaranya terdapat dalam firman Allah:
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Malaikat-malaikat dan Jibril naik menghadap kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (QS. As-Sajadah: 4).
Juga terdapat di dalam hadits yang menyebutkan pergantian sif para malaikat pendamping dan pencatat amalan hamba setelah bertugas:
ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ
“Lalu mereka yang telah bertugas di waktu malam naik ke atas, lalu mereka ditanya oleh Robb”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan para malaikat yang telah menghadiri majlis zikir.
فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ – قَالَ – فَيَسْأَلُهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Apabila mereka telah selesai, mereka naik kelangit. Lalu Allah bertanya kepada mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, penegasan bahwa kitab-kitab suci diturunkan dari sisi Allah, sedang indikasi tempat dari kata dasar turun atau menurunkan adalah dari atas ke bawah. Dengan demikian, jika dikatakan bahwa Allah menurunkan kitab-Nya maka hal itu menunjukkan bahwa posisi zat Allah berada di atasnya makhluk. Di antara ayat dan hadits yang masuk dalam kategori ini adalah firman Allah:
آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Baqarah: 285).
Dan firman Allah:
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم
“Kitab (Al Quran ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Az-Zumar: 1).
Dalam salah satu do’anya, Rasulullah menyebutkan bahwa Allah-lah yang menurunkan kitab-kitab suci kepada para rasul-Nya.
وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ وَالْفُرْقَانِ
“Yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan (Al Qur’an)”. (HR. Muslim).
Selanjutnya dalam teks do’a tersebut, Rasulullah menfsirkan nama Allah “Azh Zhohir” bahwa tiada sesuatupun yang lebih tinggi dari-Nya:
وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىْءٌ
“Engkaulah Yang Maha Zhohir tiada sesuatupun berada di atas Engkau”. (HR. Muslim).
Keempat, penegasan bahwa Allah beristiwaa’ (bersemayam) di atasnya ‘arasy. Sedang ‘arasy merupakan makhluk ciptaan Allah yang tertinggi. Posisinya berada di atasnya langit yang ketujuh. Dan kata istawa’ jika dibarengi dengan preposisi ‘alaa seperti istawa ‘ala al-‘arsy maka artinya hanya menunjukkan makna di atas ‘arasy. Dalam Al-Quran disebutkan antara lain:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. Thaha: 5)
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. Al-A’raf: 54).
Kelima, pernyataan bahwa Allah berada di langit yang diungkapkan dengan teks fis-samaa’. Sedang kata as-sama’ dalam bahasa Arab dapat bermakna umum yaitu segala seuatu yang berada di atas arah yang tinggi, juga dapat bermakna khusus yaitu langit. Dalam Al-Quran, disebutkan firman Allah:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (QS. Al-Mulk: 16-17).
Jika as-samaa’ pada ayat tersebut di artikan langit, maka makna huruf fii yang mendahuluinya sama dengan makna huruf ‘alaa, yaitu di atas, seperti halnya dengan makna fii pada firman Allah:
فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ
“Maka berjalanlah kamu di atas bumi”.(QS. Ali Imran: 137)
Sedang apabila diartikan dengan arah yang tinggi maka makna huruf fii adalah di. Dengan demikian maka makna ayat tersebut adalah Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di arah yang tinggi?
Teks yang sama juga terdapat dalam hadits Rasulullah, seperti:
أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian mempercayai aku! sedangkan Aku kepercayaan Allah yang berada di atasnya langit. Berita langit senantiasa datang kepadaku setiap pagi dan sore”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dan sabdanya:
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِى فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
”Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah seorang suami yang mengajak isterinya ke tempat tidur lalu istrinya enggan, kecuali Allah yang berada di atas langit murka kepada sang isteri hingga sang suami ridha terhadapnya”. (HR. Muslim).
Keenam, penegasan bahwa Allah mengatur segala urusan dari atasnya langit ke bumi ini. Ini disebutkan dalam firman Allah:
يُدَبِّرُ الأَمْرَ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”. (QS. As-Sajadah: 5).
Ketujuh, pengalaman mi’raj ke langit yang dikisahkan Rasulullah saat menerima perintah shalat lima waktu. Beliau melewati langit yang tujuh dan terus naik ke Sidratul Muntaha hingga mendengar goresan qalam. Beliau menuturkan:
“Kemudian aku dibawa naik lagi sampai aku mendengar goresan aqlaam (pena-pena). Lalu Allah mewajibkan atas umatku lima puluh shalat. Maka aku kembali sampai aku melewati Musa u. Ia bertanya apa yang diwajubkan Robbmu atas umatmu? Aku jawab: Ia mewajibkan limu puluh shalat atas mereka. Maka musa berkata: kembaliah kepada Robbmu (mohon keringanan) sesungguhnya umatmu tidak mampu melakukan hal itu…”. (HR. Muslim).
Kedelapan, Aksi menunjuk dan menengadahkan tangan ke arah atas, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saat berkhutbah pada saat wukuf di Arafah.
وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ ( اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ).
”Kalian akan ditanya tentangKu, apakah yang akan kalian katakan? Jawab para sahabat: kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau talah menyampaikan risalah, telah menunaikan amanah dan telah menasihati. Maka ia berkata dengan mengangkat jari telunjuk ke arah langit, lalu ia balikkan ke manusia: Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x”. (HR. Muslim).
Juga seseorang yang dikisahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa ia melakukan perjalanan yang jauh, rambutnya kusut, badannya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah langit sambil berdo’a: Ya Robb, Ya Robb. Sedangakan makananya harm, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia dibesarkan dengan yang haram, dimana Allah akan mengabulkan do’anya”. (HR. Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
“Sesungguhnya Robba kalian adalah Maha Malu lagi Maha Pemberi, Ia malu dari hambaNya apa bila mengangkat dua tangannya kepadaNya, ia kembalikan dalam keadaan kosong”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Disyari’atkannya mengangkat tangan ke arah atas saat berdo’a adalah karena Zat yang kita meminta kepadanya berada di atas kita. Hal ini dapat dirasakan oleh setiap orang yang sedang berdoa dalam sanubarinya. Artinya gerakan tangan mengikuti apa yang dikatakan hati kita.
Juga kesaksian Rasulullah atas keimanan seorang budak wanita yang diujinya sewaktu tuannya ingin menebus kesalahannya. Rasulullah bertanya kepadanya: dimana Allah? Ia menjawab: di langit. Lalu beliau bertanya lagi: siapa saya? Ia menjawab: engkau adalah rasulullah (utusan Allah). Beliau bersbada: merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman”. (HR. Muslim).
Kesembilan, indikasi nama Allah, al-‘Aliy, al-A’la, dan al-Muta’al yang mutlak bermakna mahatinggi. Baik secara qahr, qadr, ataupun zat dan tempat. Seperti dalam firman-Nya:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى
“ Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi“. (QS. Al-A’la: 1).
وَهُوَ الْعلي الْعَظِيم
“Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al-Baqarah: 255).
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ
“Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (QS. Ar-Ra’ad: 9).