Jual Beli Sende, apakah sah atau tidak? (Bagian 3, akhir)
Sebelumnya kita telah membahas contoh kasus pertama dengan menyimpulkan bahwa jual beli sende pada contoh kasus tersebut adalah tidak dibolehkan, karena mengandung unsur riba, jenis akad pinjaman yang terlarang, ditambah lagi akad ini adalah hasil comotan dari banyak akad.
Pada bagian akhir ini, kita akan membahas jual beli sende pada contoh kasus kedua, di mana para pelaku jual beli sende melakukan proses jual beli ini dengan tidak menyebutkan syarat tersebut dalam lafaz akad, namun mereka telah bersepakat sebelumnya untuk melaksanakan syarat tersebut.
Contoh: Si A (penjual) membutuhkan uang dan mengatakan: “Saya ingin menjual tanah ini seharga 100 juta rupiah”, Si A pun (selaku pembeli) mengatakan “Iya saya terima jual belinya”, dan sebelumnya atau jauh hari sebelumnya mereka telah bersepakat untuk melakukan syarat tersebut, baik secara lisan ataupun isyarat.
Jika dilihat dari lafal ijab-kabul secara gamblang, jual beli dalam kasus ini hanyalah jual beli biasa, karena tidak ada syarat sende yang di lafalkan. Namun jika kita lihat dari sisi tujuan dan kesepakatan tersembunyi antara kedua belah pihak, maka jual beli ini bukan jual beli biasa, melainkan jual beli sende.
Dari sini kita pahami sebuah pertanyaan penting, “Apakah sebuah syarat pada akad jual beli harus dilafalkan sewaktu akad sehingga mempengaruhi keabsahan atau tidaknya sebuah akad? Atau tidak harus dilafalkan sewaktu akad, melainkan sebelum akad pun sudah cukup?”, dengan kata lain, apakah hukum sah-tidak sebuah akad dipengaruhi oleh lafal yang disebutkan dalam akad ijab-kabul saja? Atau juga mencakup hal-hal lain yang tidak disebutkan dalam akad, seperti kesepakatan sebelum akad, dll.
Di bawah pembahasan ini, para ulama berselisih. Pembahasan ini sering kita temui dalam buku-buku fikih sebagai pembahasan “Apakah syarat yang disebutkan sebelum akad, memiliki hukum yang sama dengan syarat yang disebutkan pada inti akad?”. Pembahasan ini dibangun atas dasar kaidah “Sadd Dzarai’” yang berarti menutup pintu-pintu yang memungkinkan seseorang jatuh ke dalam perkara yang di larang.
Jika kita melihat akad ini secara lahir saja, tanpa menoleh pada maksud tersembunyi, maka pasti akad ini adalah akad yang sah, sebagaimana jual-beli pada layaknya, namun jika kita lihat maksud tersembunyi tersebut, maka secara langsung kita akan mengatakan bahwa orang ini hanya bermaksud licik guna menjalankan akad yang haram berselimut akad halal.
Di sinilah kaidah Sadd Dzarai berlaku, menutup jalan atau pintu yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perbuatan licik (tujuan licik mereka adalah menghalalkan apa yang di haramkan oleh Allah U), terlebih lagi jika kita telah mengetahui pada bagian sebelumnya bahwa pada jual beli sende terdapat unsur riba, jadi pada contoh kasus kedua ini seakan-akan seseorang yang melakukan jual beli ini ingin menghalalkan riba dengan berbagai cara.
Imam Ayyub As-Sikhtiyani pernah berkata: “Mereka ingin menipu Allah sebagaimana ingin menipu seorang anak kecil, sekiranya mereka langsung saja melakukan praktik riba tanpa harus melakukan penipuan ini, maka itu lebih ringan menurut saya.”
Olehnya, jual beli sende baik pada contoh kasus pertama atau kedua, merupakan hal yang di larang oleh agama Islam, Wallahu A’lam.
Referensi:
Hasyiah Showi, Abu Abbas Ash-Showi
Dhouw Syumu’, Muhammad Al-Amir
Al-Mughni, Ibnu Qudamah
Al-Inshof, Al-Mirdawi
Kassyaf Qina’, Al-Buhuti.