Tarbawi

Jangan Remehkan Siapapun

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang pemimpin yang menawan. Beliau sangat memperhatikan penampilannya di hadapan rakyatnya. Maka tidak heran apabila bersiwak menjadi salah satu kesenangan beliau, untuk menjaga kebersihan dan aroma nafas, apalagi saat hendak bertemu dengan keluarga, sahabat, atau utusan yang datang mengunjunginya. Beliau pernah bersabda:

“Siwak menjaga kebersihan mulut dan mengundang keridhaan Allah.”[1]

Selain itu, aroma siwak yang menyegarkan mulut akan menstimulasi tubuh untuk lebih aktif bekerja atau beribadah, dan menumbuhkan kepercayaan diri di hadapan manusia.

Para sahabat tahu perihal Rasulullah melebihi siapapun juga. Tak terkecuali apa yang beliau senangi. Di suatu siang beberapa orang sahabat sedang berkumpul mengitari sebuah pohon arak[2] yang cukup besar. Terlihat semuanya sangat antusias mendongakkan kepala mereka ke atas, mata mereka fokus tertuju pada gerak-gerik salah seorang dari mereka yang berusaha memanjat pohon tersebut. Dengan masih mengenakan sarungnya, ia berusaha menggapai ranting-ranting pohon arak itu yang kiranya bagus untuk dihadiahkan kepada sang kekasih, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tak beberapa lama, gelak tawa para sahabat yang asyik menonton tiba-tiba memecah suasana dan angin yang bertiup kencang membawa tawa mereka sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau yang merasa penasaran dipaksa mencari-cari sumber tawa yang baru saja didengarnya.

Rasulullah akhirnya mendapati sekumpulan sahabatnya dan salah seorang pemuda yang tak asing dari pelupuk matanya sedang menjadi bahan tontonan mereka. Masih membawa rasa penasarannya, beliau kemudian bertanya kepada para sahabat, “Mengapa kalian tertawa ?”. Rupa-rupanya angin yang membawa gelak tawa mereka sampai ke telinga Rasulullah adalah penyebab tawa mereka pula. Pasalnya, angin itu meniup sarung si pemuda hingga menyingkap kedua betisnya yang amat kurus. Ia memang adalah orang yang berperawakan kurus, pendek, dan hitam, yang melihatnya mungkin hampir-hampir tak membedakan mana betis mana batang pohon arak.

“Wahai Rasulullah, kami tertawa melihat kedua betisnya yang sangat kurus itu” jawab para sahabat.

Sekilas tergambar, ia adalah pemuda miskin yang telah menemani Rasulullah sejak pertama kali dakwah islam dibentangkan keluar dari kediaman Khadijah. Ia adalah As-Saabiquunal Awwalun, orang-orang pertama yang telah lebih dahulu memeluk agama islam bersama Khadijah, ‘Ali, Abu Bakar, Zaid, Bilal, Utsman, Ummu Aiman, Hamzah dan sahabat-sahabat mulia lainnya. Sahabat yang pertama kali menjaharkan dan memperdengarkan Al Quran di kota Makah. Hidup bertahun-tahun lamanya dalam kesusahan dan kepayahan bersama Rasulullah saat seluruh kota Makkah memboikotnya. Menyambut ibadah hijrah yang agung sebanyak dua kali; hijrah ke negeri Habasyah[3] dan hijrah ke kota Madinah. Saat peperangan uhud berkecamuk, ketika shaf pasukan sahabat kocar-kacir oleh luncuran serangan pasukan berkuda Khalid bin Walid[4] menghantam para pemanah, para sahabat diserang dari dua arah, hingga mereka lupa akan keselamatan sang kekasih, Rasulullah, maka pemuda itu bersama tiga orang sahabat lainnya tetap tegar, kedua kakinya lengket dengan kaki Rasulullah, kedua tangannya mengayunkan tebasan-tebasan mulia fii sabillah, tubuhnya dijadikannya tameng dari serangan musuh, agar sang kekasih tak terluka. Ia adalah pemuda yang diizinkan Rasulullah di saat yang lainnya dilarang, yang menyaksikan hidup Rasulullah di saat yang lainnya alpa, ia adalah ‘Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu.

Baca Juga  Sifat-sifat Hamba Ar-Rahman (Sifat Kedua Belas)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, sesungguhnya kedua betis itu lebih berat pada timbangan Allah dibandingkan gunung uhud.”[5]

Tahukah kamu gunung uhud itu? gunung yang terletak di sisi utara kota Madinah, memanjang sejauh 7 kilometer dengan ketinggian 350 meter, gunung yang juga menjadi saksi peperangan kedua antara kaum muslimin dan pasukan kuffar quraisy. Gunung terbesar kota Madinah yang kerap kali dikunjungi oleh Rasulullah, sebab di sana historical syuhada uhud dari kalangan sahabat dikuburkan, salah satunya adalah Hamzah bin Abdul Muththalib radiyallahu ‘anhu, paman dan saudara sepersusuan beliau.

Namun kamu tidak perlu memikirkan berapa berat gunung uhud untuk memahami hadits sekaligus pujian Rasulullah kepada sahabatnya yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud. Sebab Rasulullah tidak memaksudkan perbandingan riil antara kedua betis Ibnu Mas’ud dengan berat gunung uhud. Siapa pun yang punya akal pasti tahu bahwa gunung lebih berat dari tubuh seorang manusia, tetapi ketika tubuh itu dijadikan sebagai sarana perjuangan di jalan Allah, menolong Nabi dan Rasul Allah sepanjang hidupnya, memikul beban amanah tabligh risalah, dan menegakkan ketaatan kepada Allah, maka di sini letak berat tubuh itu dalam timbangan hari kiamat kelak. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.”[6]

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa amanah itu adalah ketaatan kepada Allah, kewajiban yang diberikan dari pembebanan-pembebanan syariatNya. Langit, bumi dan gunung-gunung enggan memikulnya oleh karena beratnya pertanggung jawaban tersebut, namun Adam ‘alaihissalam menerimanya dan siap memikulnya, apabila ia dan anak cucunya menjalankan amanah itu maka mereka akan diganjar pahala, jika tidak maka mereka akan diadzab[7]. Inilah poin yang membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk Allah lainnya.

Dari sini mari kita mengambil pelajaran berharga, bahwa menghargai orang lain tidak seharusnya ditautkan dengan apa yang nampak dalam kedua bola mata kita.

Sifat menghargai sesama adalah ciri orang yang berhati besar yang menerima perbedaan, namun tetap berprinsip hidup. Prinsipnya bahwa setiap orang yang ingin dihargai, maka ia harus menghargai orang lain terlebih dahulu. Okelah apabila keduanya memiliki persamaan, misal berasal dari suku yang sama, bekerja di tempat yang sama, dan sebagainya, tapi bagaimana caranya menghargai orang lain yang berbeda dengannya, sedang setiap orang memiliki perbedaan, di sinilah hati besarnya berperan.

Baca Juga  Sifat-sifat Hamba Ar-Rahman (Sifat Kesembilan)

Kita terkadang hanya melihat perbedaan melalui konotasi negatif dalam lingkup apa yang nampak di hadapan kita, dan mirisnya hal ini seakan menjadi mindset umum yang dipakai oleh sebagian besar manusia. Ketika seseorang berbeda dengan kita dan perbedaan itu katakanlah perbandingan antara baik dan buruk, tampan dan jelek, kaya dan miskin, dan lain sebagainya, maka apa yang meyakinkan kita bahwa ia adalah orang yang sama di luar sana ? apa yang meyakinkan kita bahwa ia akan dipandang sama di luar sana seperti pandangan kita kepadanya ? Apa yang menafikan bahwa orang tersebut tidak memiliki perbedaan selain apa yang nampak di hadapan kita ?

Baik, anggaplah apabila kita yakin bahwa orang tersebut adalah orang yang sama dilihat dari berbagai sisi manapun, dari pandangan siapa pun di dunia ini. Namun bukankah masih ada pandangan Allah yang meliputi segala sesuatu? yang mengetahui segala sesuatu? sebagaimana yang terjadi pada ‘Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu tatkala ditertawakan oleh para sahabat karena kurusnya kedua betis beliau. Siapa yang menyangka ternyata kedua betis itu jauh lebih berat timbangannya di sisi Allah dibandingkan gunung uhud.

Mari merubah mindset kita, jangan lagi memandang rendah seseorang sekadar dengan apa yang kasat pada mata, lalu lupa untuk berbaik sangka bahwa setiap orang memiliki rahasia yang hanya ia dan Allah mengetahuinya. Karena sifat memandang rendah, mencela, memaki, menggelar dengan sebutan buruk adalah ranting-ranting kering dari penyakit yang berakar di hati seseorang, ia hanya akan menghasilkan buah yang buruk lagi busuk berupa dosa, perselisihan, perpecahan, bahkan kekufuran kepada Allah, dan hal itu telah terjadi pada orang-orang munafik yang mencela para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semasa perjalanan mereka menuju peperangan tabuk. Kaum munafikin berkata, “Kami tak pernah melihat ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan lebih penakut di hadapan musuh dibandingkan kawan-kawan kami”, maksud mereka adalah para sahabat Rasulullah. Maka Allah menurunkan firmanNya yang berbunyi:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ.

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.”[8]

Sudikah kita kembali kafir setelah beriman kepada Allah? jika tidak, sudikah kita menyematkan sifat zalim dan pendosa kepada diri kita masing-masing? Allah berfirman:

Baca Juga  Sifat-sifat Hamba Ar-Rahman (Sifat Kesepuluh)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”[9]

Bertakwalah kepada Allah, dan berhentilah dari kebiasaan mengejek dan menghina seseorang sekalipun ia bersalah. Sebab apapun kesalahan orang lain, kita hanya memiliki beberapa kewajiban; meluruskan dan menjelaskan kebenaran, menegakkan hukum, dan memaafkan, hanya itu, tidak ada celaan, cacian, makian, hinaan, dan sebagainya. Apatah lagi bila orang tersebut sama sekali tidak bersalah, Allah berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا.

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”[10]

Bertakwalah kepada Allah, dan berhentilah menzalimi orang lain. Dan ingatlah, jangan sampai kita terjerumus dalam sarana media sosial yang hari ini penuh dengan ujaran kebencian. Tidak takutkah kita terhadap mustajabnya doa orang yang terzalimi ? tidak takutkah kita pada hari di mana seluruh tubuh akan bersaksi atas setiap perbuatan yang telah dilakukan?

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ .

“Pada hari itu, lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, yang menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya.”[11]

_______________________

[1] HR. Bukhari.

[2] Pohon arak adalah pohon yang digunakan dahan dan akarnya sebagai siwak atau pembersih gigi alamiah. Penelitian telah menunjukkan bahwa di dalam serat pohon ini mengandung bermacam-macam zat yang sangat bermanfaat, seperti fluoride, antiseptik dan lain-lainnya.

[3] Etiopia.

[4] Sebelum masuk islam.

[5] HR. Ahmad no. 3991 dengan sanad yang hasan.

[6] QS. Al-Ahzab ayat 72.

[7] Tafsir Ibnu Katsir 6/488.

[8] QS. At-Taubah ayat 65-66.

[9] QS. Al-Hujurat ayat 11.

[10] QS. Al-Ahzab ayat 58.

[11] QS. An-Nuur ayat 24-25.

Rahmat Badani, Lc., M.A.

Alumni S2, Bidang Fiqhus Sunnah, Fak. Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?