Motivasi Islami

Ibunda Sang Ahli Ibadah dan Mujahid Sejati

Terik mentari bercampur hawa panas tak henti menerpa perjalanan hijrah suami istri yang kini akan dikaruniai seorang putra itu. Perjalanan unta sembilan hari sembilan malam bukanlah waktu yang singkat dan upaya yang mudah bagi seorang wanita yang tengah hamil tua untuk melewatinya. Apalagi jalan-jalan yang dilalui bukanlah jalan beralaskan aspal dan tanah datar. Jalan-jalan itu adalah bebatuan, gurun pasir, penuh pendakian dan lembah.

Namun, seluruh rasa letih dirinya seakan tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan semangat memenuhi panggilan hijrah ke Madinah demi hidup berdampingan dengan Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di hari terakhir perjalanan, mereka tiba di pemukiman Quba yang saat itu masih berada di luar batas Kota Madinah. Wanita tersebut tampaknya tak lagi bisa menahan kuatnya kontraksi kelahiran anaknya, hingga mereka terpaksa berhenti di Quba.

Tak lama berselang putra terhebatnya, Abdullah bin Az-Zubair lahirkan. Setelah itu, mereka langsung bergegas menuju Kota Madinah agar anaknya didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memangkunya, melakukan tahnik padanya dan mendoakannya agar menjadi anak saleh. [Lihat: Sahih Bukhari No. 3619]

Tahnik adalah mengunyah kurma agar lunak lalu meletakkannya pada mulut bayi yang baru lahir. Ini merupakan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mendengar kelahiran putra Az-Zubair bin Al-‘Awwam dan Asma’ binti Abu Bakar tersebut, seketika kaum muhajirin yang berada di Kota Madinah bertakbir. Mereka merayakan kelahiran itu lantaran selama hijrah setahun di Kota Madinah, kaum muhajirin belum dianugerahi seorang anak pun. Abdullah putra Az-Zubair inilah anak pertama kaum muhajirin yang dilahirkan di masa hijrah.

Sepasang suami istri ini tentunya sangat bahagia dengan kelahiran buah hati mereka tersebut yang dicita-citakan menjadi ulama dan mujahid Islam sejati. Mereka berdua adalah sosok sahabat dan sahabiyat yang sejak berusia remaja telah turut memberikan sumbangsih terhadap dakwah Islam di fase Makkah. Sungguh indah bila mujahid dan mujahidah, ikhwan dan akhawat yang sevisi, dipertemukan dalam bingkai pernikahan dan mahligai rumah tangga.

Baca Juga  GURU PONDASI DUNIA

Az-Zubair adalah sosok yang selalu membela Rasulullah yang juga merupakan sepupu satu kali beliau. Dia pernah menghunuskan pedang di jalan-jalan Kota Mekkah menantang orang-orang Quraisy yang menzalimi Rasulullah.

Adapun istri tercintanya, Asma’, maka ia selalu membantu sang ayah, Abu Bakar dalam menyebarkan Islam, serta menyiapkan berbagai bekal dan keperluannya. Bahkan ialah satu-satunya yang menyiapkan bekal hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar ketika mereka berdua keluar secara sembunyi-sembunyi dari Kota Mekkah demi menghindari pengejaran kaum Quraisy.

Tatkala Asma’ hendak mengikat bejana bekal mereka berdua, ia tidak mendapatkan tali untuk mengikat bejana tersebut. Ia pun berkata kepada ayahnya, “Sungguh, saya tidak mendapatkan tali pengikat kecuali ikat pinggangku.”

“Sobeklah ia jadi dua bagian, lalu jadikan ia sebagai tali pengikatnya; satu sobekan untuk pengikat bejana air, dan yang lainnya untuk pengikat bejana makanan,” pinta Abu Bakar.

Dengan sebab kisah inilah, Asma’ binti Abu Bakar digelari dengan Dzat An-Nithaqain, yakni Pemilik Dua Ikat Pinggang. [Lihat: Shahih Bukhari No. 2979]

Dari pangkuan dua sosok sahabat pejuang inilah Abdullah bin Az-Zubair terbina dan terdidik sehingga menjadi anak yang cerdas, cakap, pemberani, tangkas dan ahli ibadah.

Tidak diragukan bahwa kesalehan orang tua sangat berpengaruh terhadap kesalehan sang anak. Inilah salah satu rahasia kenapa laki-laki dianjurkan oleh Rasulullah agar mencari calon istri yang salihah. Beliau bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لاِرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik agamanya, niscaya kamu beruntung.” [HR. Bukhari No. 4700].

Sebaliknya, hendaknya seorang Muslimah atau walinya tidak menerima lamaran kecuali dari seorang laki-laki yang saleh dan berakhlak mulia, yang bisa menuntunnya dan menuntun anak-anaknya ke surga, Rasulullah bersabda,

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوه

“Jika laki-laki yang kalian ridai agama dan akhlaknya datang melamar (wanita tanggungan kalian) kepada kalian, maka nikahkanlah dirinya.” [HR. Tirmizi No. 1084 dan Ibnu Majah No. 1967, dalam sanad hadis ada kelemahan, namun makna hadis sahih].

Asma’ merupakan sosok istri yang ahli ibadah, cerdas, penyabar dan selalu membantu suaminya ketika awal mula menjalani kehidupan sebagai istri sekaligus seorang bunda di Kota Madinah. Hal inilah yang membentuk kepribadian Abdullah bin Az-Zubair. Dari ibunya, ia belajar tentang kecerdasan, pengorbanan, kesabaran dan kelembutan, lalu dari ayahnya, ia belajar tentang ketangkasan, keberanian, dan kepemimpinan.

Baca Juga  Nilai Waktu Bagi Seorang Muslim

Oleh sebab itu, ia menjadi salah satu ahli ibadah dari kalangan para sahabat junior, dengan banyaknya salat dan puasa serta sedekah yang ia berikan. Ia juga dikenal sebagai mujahid dan kesatria sejati lantaran ayahnya telah mengikutkannya di atas kuda perang pada perang Yarmuk di saat usianya masih sepuluh tahun. Dia pula yang sukses memimpin penaklukan negeri-negeri Afrika setelah membunuh komandan pasukan Afrika yang bernama Jarjir.

Bahkan saat perang Jamal meletus, ketika ia mendampingi bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha ia terluka hingga lebih dari 40 luka tebasan dan tusukan pedang, namun ia tetap bisa bertahan hidup.

Ketika membahas sosok Abdullah bin Az-Zubair, kita tak akan bisa melupakan peran bibinya: Aisyah, terhadap perkembangan kecerdasan dan keilmuannya. Bibinya ini memiliki peran sangat besar dalam mendidik dirinya, mengajarkannya hadis-hadis Rasulullah dan berbagai ilmu lainnya. Bahkan Aisyah sangat mencintai keponakannya tersebut, sehingga ia menempatkannya sebagai orang yang ia sangat cintai setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ayahnya, Abu Bakar.

Sebab itu, peran seorang bibi dalam pembinaan seorang anak juga sangat luar biasa, lantaran bibi (terutama saudari ibu) juga sering kali menjadi wanita paling dekat dengan sang anak setelah ibunya sendiri. Sebab itu, mungkin inilah rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebutkan,

الخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ

 “Bibi (saudari ibu) memiliki kedudukan seperti ibu.” [HR. Bukhari No. 2699]

Dalam artian, bibi memiliki hukum atau kedudukan seperti ibu ketika sang anak kehilangan ibunya. Ini biasa disebabkan karena karakter bibi (saudari ibu) dalam kasih sayang dan cinta terhadap anak hampir sama dengan ibu sendiri.

Saudari ibu sering kali juga dikenal sebagai ibu kedua bagi sang anak, sebab itu, setiap bibi hendaknya juga memperhatikan perkembangan keponakan-keponakannya, menasihati mereka, bahkan mendidik mereka seperti halnya didikan Aisyah kepada keponakan-keponakannya, Abdullah bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair dan Al-Qasim bin Muhammad sehingga mereka menjadi para pemuda yang sukses menjadi ulama, ahli ibadah dan mujahid yang andal.

Baca Juga  Hamba Yang Berdusta Tentang Tuhannya

Di antara hal yang menjadi nilai plus pendidikan dari Asma’ ialah bimbingan dan arahannya kepada Abdullah bin Az-Zubair tak pernah berhenti meskipun putranya ini telah menjadi ulama besar, bahkan setelah menjadi pemimpin umat Islam yang menguasai Jazirah Arab, Irak, Khurasan dan Mesir. Salah satu wejangannya terhadap putranya yang memperjuangkan Khilafah Islam di eranya ialah, “Wahai putraku! Hiduplah mulia dan matilah secara mulia, dan jangan sekali-kali engkau terhina dengan menjadi tawanan.”

Beberapa hari sebelum putranya dibunuh dan disalib oleh Al-Hajjaj bin Yusuf, Asma’ terbaring sakit. Saat itu ia telah berusia 100 tahun dan mengalami kebutaan. Lalu kedua putranya masuk menemuinya, Abdullah dan ‘Urwah.

“Apa kabarmu, wahai Bunda?” Tanya Abdullah.

“Saya masih merasa sakit.” Jawab Asma’.

Abdullah lantas menenangkannya sembari berucap, “Sungguh pada kematian ada ketenangan.”

Asma’ pun tertawa kecil sembari bercanda pada putranya tersebut, “Apakah kamu menunggu kematianku?”

Lalu Asma’ bersumpah untuk putranya tersebut, “Demi Allah! Saya tak ingin wafat kecuali kamu telah mendapatkan salah satu dari dua harapanmu: antara kamu terbunuh sehingga aku bersabar dan mengharapkan pahala, atau kamu mendapatkan kemenangan (terhadap Al-Hajjaj) sehingga aku berbahagia.”

Radhiyallahu ‘anha wa ‘an abna`iha ajmain.

Sumber:

Tarikh al-Islam (3/135) dan Siyar A’lam an-Nubala (2/239), dengan berbagai penyesuaian.

Maulana Laeda, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?