Fikih

HUKUM FIKIH BERKAITAN DENGAN ANAK (bag. 2)

Seorang dewasa yang mengikrarkan kekafiran dapat mengeluarkannya dari Islam, yang biasa disebut dengan kata murtad. Adapun ketika kata tersebut keluar dari lisan seorang anak yang belum mencapai usia tamyiz, maka tidak menghasilkan hukum apapun. Olehnya hukum-hukum yang berkaitan dengan kemurtadan pun tidak dapat diterapkan padanya. Berbeda jika kata tersebut diikrarkan oleh anak yang telah mencapai usia tamyiz; apakah ikrar itu sah?.

Para ulama berbeda pendapat terkait hal ini, di mana persoalan tersebut membuahkan perbedaan dalam penerapan hukum-hukum yang berkaitan dengan kemurtadan, di antaranya:

  1. Tidak mewarisi serta diwarisi,
  2. Pisah dari pasangan jika telah menikah,
  3. Tidak disalatkan ketika meninggal dunia, dll.

Pendapat Pertama: menyatakan bahwa ikrar kafir seorang anak mumayiz tidak sah dan tidak dianggap sebagai kemurtadan, pendapat ini dikemukakan oleh para ulama bermazhab Syafii. Mereka yang memilih pendapat ini berdalihkan bahwa anak kecil selama belum mencapai usia balig (walaupun telah mumayiz) maka segala ikrar dan akad yang dilakukan dianggap tidak sah, seperti; lafaz talak, akad jual beli, kesaksian di hadapan pengadilan. Sebagian menambahkan bahwa segala bentuk akad yang menguntungkan anak tersebut, maka sah. Sebaliknya jika akad tersebut hanya akan merugikan, maka batal. Dalam hal ini, kemurtadan hanyalah merugikan anak tersebut dan tidak membawa keuntungan apapun, maka dianggap batal.

Pendapat Kedua: menyatakan bahwa ikrar kafir seorang anak mumayiz dihukumi sah, dan anak tersebut dianggap telah murtad. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. Mereka yang memilih pendapat ini berdalih dengan beberapa dalil, di antaranya:

  • Hukum Islam berkaitan langsung dengan akal, bukan usia balig, ini dibuktikan dengan kasus seorang anak yang gila kemudian balig, maka hukum Islam tidak mencakupnya dikarenakan akal yang tidak dimilikinya, meskipun dia telah balig. Olehnya ketika anak telah memiliki akal (mumayiz) meskipun belum balig, maka pengakuannya akan keyakinan tertentu diterima, sehingga pengikrarannya akan kekafiran mengeluarkannya dari Islam.
  • Pengakuan secara sadar dari seorang anak mumayiz merupakan bukti keyakinan yang dia yakini, dan bukti ini tidak dapat ditolak.
  • Sebagaimana anak ini sah dalam melakukan ibadah (seperti salat, puasa, dll…), dan juga sah dalam membatalkan ibadah-ibadah tersebut, maka pengakuan kemurtadan juga dihukumi sah.
Baca Juga  Sujud Sahwi (Bag. 2)

Dilihat dari dalil kias (analogi) yang dipaparkan di atas, kias ikrar kafir dari seorang anak lebih dekat kepada ikrar lafaz lainnya (seperti; talak, akad jual beli, dan kesaksian di hadapan pengadila), dibandingkan dengan penganalogian ikrar kafir terhadap ibadah salat. Maka dapat disimpulkan; ikrar (terhadap kekafiran) ini tidak sah kecuali dari orang yang telah balig, sebab ikrar merupakan perkataan yang memiliki konsekuensi, dan tidak dapat dihukumi kecuali ketika diucapkan oleh seorang yang telah balig dan berakal. Olehnya tidak tepat ketika dikatakan bahwa hukum Islam berkaitan dengan akal dan bukan usia balig pada perkara ini.

Anak kecil mumayiz dapat melakukan ibadah dan mendapatkan pahala, namun tidak berdosa jika melakukan kemaksiatan. Adapun jika telah balig dan berakal, maka setiap perkara, baik menguntungkan maupun merugikan merupakan tanggung jawabnya sendiri. Dari sini dapat dipahami bahwa hukum Islam dan segala konsekuensinya secara penuh berkaitan dengan usia balig plus akal, Wallahu A’lam.

Referensi:

Hasyiah Ibn Abidin, Ibn Abidin

Al-Mabsut, Imam Sarakhsiy

Mugni Muhtaj, Imam Khatib Syirbini

Al-Inshof, Imam Mardawi

Ensiklopedia Hukum Fikih

Usamah Maming, Lc.

Mahasiswa S2, Qassim University, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?