Hukum Bepergian Bagi Seorang Wanita

Islam adalah agama yang memuliakan wanita, terbukti bahwa salah satu dari lima maqashid dharuriyat adalah hifdzul ‘irdh (menjaga kehormatan), dan salah satu cara Islam menjaga kehormatan seorang wanita adalah dengan melarang wanita bepergian tanpa ditemani oleh mahramnya.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086), di dalam riwayat yang lain disebutkan: “Tiga malam” (HR. Muslim No. 1338), di riwayat yang lain: “Dua hari” (HR. Bukhari no. 1197, dan Muslim no. 827), di riwayat yang lain: “Dua malam” (Musnad Ahmad no. 11294), di riwayat yang lain: “Sehari semalam” (HR. Bukhari no. 1088), dan di riwayat yang lain: “Sejauh bariid (atau sama dengan perjalanan setengah hari)” (Syarh Ma’ani Al-Atsar no. 3497).
Imam An-Nawawi menyimpulkan dari perbedaan riwayat di atas dalam kitab Al-Majmu’, beliau berkata: “Kesimpulan dari riwayat-riwayat tersebut bahwasanya: Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak membatasi jarak bepergian yang diwajibkan seorang wanita untuk ditemani oleh mahramnya, tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan jarak tiga hari, dua hari, sehari semalam, sehari saja, semalam saja, dan setengah hari, menunjukkan bahwa semua jarak tersebut dinamakan bepergian, wallahu a’lam” (Al-Majmu’, jilid 4, halaman 330).
Pendapat Imam An-Nawawi di atas dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1862). Dalam hadits ini larangan bepergian bersifat mutlaq. Dan dikuatkan juga dengan sebuah kaidah ushul fiqih yang mengatakan:
ذكرُ بعض أفرادِ العموم ليس بتخصيصٍ
Artinya: Penyebutan salah satu contoh dari kata yang bersifat umum tidak mengkhususkan keumuman kata tersebut.
Contohnya: jika seorang murid masuk ruangan kelas kemudian mengatakan: “Saya melihat kursi guru,” maka tidak berarti dia tidak melihat kursi-kursi yang lain selain kursi guru.
Bagi seorang wanita yang bersuami, yang paling berhak untuk menemaninya dalam bepergian adalah suaminya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Janganlah seorang wanita bepergian selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1197).
Sebagian ulama mengecualikan bepergian untuk menunaikan haji wajib, maka dibolehkan wanita bepergian dengan wanita-wanita lain yang terpercaya, bahkan dibolehkan juga untuk bepergian seorang diri dengan syarat jalan yang ditempuh selama bepergian aman. Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat ini bertentangan dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i (Al-Hawi, jilid 4, halaman 363).
Hikmah dari dilarangnya wanita bepergian tanpa mahram –wallahu a’lam – adalah untuk memuliakan dan menjaga kehormatan wanita, sehingga hukum ini tetap berlaku meskipun kita yakin bahwa jalan yang ditempuh adalah aman.
Madinah, 25/03/1438 H
Khalid Saifullah, Lc