HIKMAH DAN PELAJARAN BERHARGA DARI AYAT AYAT PUASA (Bag.1)

HIKMAH DAN PELAJARAN BERHARGA DARI AYAT AYAT PUASA
(diterjemahkan dari buku Khulasatul Kalam Alaa Ayati Ashhiyam karya Ahmad bin Aqil al-Anzi)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”
[Al Baqarah:183]
Dalam ayat ini terdapat beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik, diantaranya:
Pertama: Keutamaan Iman
Ayat ini menunjukkan betapa mulianya iman dan orang-orang yang memilikinya, karena Allah Azza wa Jalla memanggil mereka dengan panggilan kehormatan tersebut.
Kedua: Kewajiban Puasa Ramadan
Ayat ini juga menjadi bukti bahwa puasa di bulan Ramadan adalah kewajiban bagi setiap orang beriman, karena kata kutiba dalam bahasa Arab merupakan bentuk lafaz yang menunjukkan kewajiban.
Ketiga: Makna Puasa
Puasa adalah ibadah yang dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dengan cara meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar shodiq hingga terbenamnya matahari.
Keempat: Puasa Juga diwajibkan bagi Umat Sebelumnya
Ayat ini menjelaskan bahwa puasa bukan hanya diwajibkan kepada umat Islam, tetapi juga telah menjadi bagian dari syariat umat-umat terdahulu. Ini menunjukkan bahwa bahwa syariat umat sebelum kita juga berlaku bagi kita jika terdapat dalil dalam syariat kita yang menegaskannya.
Kelima: Keistimewaan Umat Islam
Karena umat ini adalah umat yang paling mulia dan utama, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menghendaki agar keutamaan puasa ini tidak hanya dimiliki oleh umat-umat sebelumnya. Oleh karena itu, Allah mewajibkan puasa bagi umat ini sebagaimana Allah telah mewajibkannya atas umat-umat terdahulu.
Dengan demikian, puasa bukan sekadar ibadah, tetapi juga simbol kesucian, ketaatan, dan kedekatan dengan Allah yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Keenam: Meraih ketakwaan dengan puasa
Tujuan utama dari ibadah puasa adalah mencapai ketakwaan dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika dalam berpuasa kita berusaha menghindari hal-hal yang membatalkan puasa agar ibadah kita tetap sah, maka demikian pula kita harus menjauhi dosa dan maksiat agar pahala dari berpuasa itu tidak berkurang.
Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Sebaliknya, puasa bertujuan untuk mendidik jiwa agar menjauhi perbuatan maksiat dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dosa, dan kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
Dengan demikian, esensi puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengendalikan diri dari segala bentuk keburukan agar kita benar-benar meraih derajat takwa.
أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”
[Al Baqarah:184]
Dalam potongan ayat ini terdapat beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik, diantaranya:
Pertama: Waktu Puasa Terbatas, Manfaatkan Dengan Kebaikan.
Hari-hari puasa yang Allah tetapkan waktunya terbatas dan tidak berlangsung selamanya. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin dengan amal saleh dan tidak menyia-nyiakannya. Betapa meruginya seseorang yang melewatkan waktu-waktu istimewa dan musim kebaikan tanpa mengambil manfaat darinya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Celakalah seseorang yang ketika Ramadan datang kepadanya, lalu berlalu begitu saja sebelum ia mendapatkan ampunan.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengingatkan kita bahwa Ramadan adalah kesempatan emas untuk meraih ampunan Allah. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi.
Kedua: Syariat Islam Dibangun di Atas Kemudahan
Aturan-aturan dalam Islam selalu mengandung kemudahan dan tidak memberatkan. Jika suatu hukum terasa berat bagi seorang Muslim, maka syariat memberikan keringanan agar tetap bisa diamalkan. Hal ini terlihat jelas dalam ayat-ayat tentang puasa, di mana Allah memberikan keringanan untuk berbuka bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan.
Kemudahan ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, agar mereka tidak merasa kesulitan dalam menjalankan ibadah. Islam bukan agama yang menyulitkan, melainkan agama yang penuh rahmat, membimbing manusia menuju kebaikan tanpa menimbulkan beban yang berlebihan.
Dengan memahami hal ini, marilah kita menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran, semangat, dan rasa syukur, serta memanfaatkan setiap momen Ramadan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ketiga: Puasa Orang Sakit dan Musafir Tetap Sah Jika Tidak Memberatkan
Seorang yang sakit atau sedang dalam perjalanan, jika mereka tetap berpuasa, maka puasanya tetap sah selama tidak menimbulkan kesulitan yang dapat membahayakan diri mereka.
Keempat: Wajib Mengganti Puasa yang Ditinggalkan
Jika seseorang yang sakit atau musafir tidak berpuasa, maka mereka wajib mengganti (qadha) puasa sebanyak hari yang mereka tinggalkan.
Kelima: Qadha Puasa Tidak Harus dikerjakan Segera, Tetapi Sebaiknya Dipercepat
Dari hal ini, dapat dipahami bahwa qadha puasa tidak harus dilakukan segera, tetapi boleh ditunda selama belum memasuki Ramadan berikutnya. Hal ini karena Allah tidak menetapkan kewajiban qadha dengan segera. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha terkadang menunda qadha puasanya hingga bulan Sya’ban.
Namun, lebih baik jika seseorang segera mengganti puasanya, karena itu akan lebih cepat membebaskannya dari tanggung jawab.
Keenam: Fleksibilitas dalam Mengganti Puasa
Seseorang boleh mengganti puasa hari yang pendek dengan hari yang lebih panjang. Selain itu, qadha puasa boleh dilakukan secara terpisah ataupun berturut-turut, karena Allah tidak menetapkan syarat tertentu mengenai hal tersebut.
Ketujuh: Orang Yang Sembuh Atau Musafir Yang Tiba Di Rumah Saat Siang Hari Ramadan Tidak Wajib Menahan Diri Hingga Waktu Berbuka.
Jika seseorang yang sakit sembuh di tengah hari, atau seorang musafir telah kembali ke kampung halamannya sebelum waktu berbuka, mereka tidak diwajibkan untuk menahan diri (imsak) hingga maghrib, karena mereka tetap harus mengganti puasanya di lain hari. Namun, sebaiknya mereka tidak makan atau minum secara terang-terangan di hadapan orang lain yang tidak mengetahui alasan mereka berbuka, agar tidak menimbulkan prasangka buruk.