Fluktuasi Iman Dalam Perspektif Ahli Sunnah

Dalam prinsip dasar Ahli Sunnah wal Jamaah, selain persoalan masuknya amalan ke dalam terminologi iman, juga hal yang mendasar lain adalah konsep bahwa iman itu mengalami fluktuasi. Bagi Ahli Sunnah wal Jamaah, iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Hal tersebut, antara lain ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam tulisannya:
ومن أصول أهل السنة والجماعة أن الدين والإيمان قول وعمل، قول القلب واللسان وعمل القلب واللسان والجوارح, وأن الإيمان يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية.
Dan di antara prinsip Ahli Sunnah wal Jamaah adalah bahwa agama dan iman itu merupakan perkatan dan perbuatan, yaitu perkataan hati dan lidah dan amalan hati, lidah dan anggota tubuh. Dan sesungguhnya iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. (Lihat: al-‘Aqidah al-Wasithiyah yang disyarah oleh Al-Kharras hal. 199-170).
Konsep iman menurut Ahli Sunnah tersebut telah dibicarakan oleh para ulama salaf jauh sebelum masa Ibnu Taimiyah. Di antaranya; Imam Abu Bakar Al-Humaidiy yang wafat pada tahun 219 H. Ia telah menulisnya dalam risalahnya yang dikenal dengan Ushul As-Sunnah. Di dalamnya beliau juga menukil perkataan gurunya, Imam Sufyan bin ‘Uyainah bahwa iman mencakup ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang. (Lihat: teks aslinya dalam Ushul as-Sunnah, hal. 37-38 & 41).
Imam Asy-Syafi’iy (w. 204 H) juga telah menegaskannya dalam perkataannya: al-iman qaul wa ‘amal, yazidu wa yanqush/iman itu adalah perkataan dan perbauatan, bertambah dan berkurang. (Lihat: Manaqib Asy-Safi’iy karya Al-Baihaqiy: 1/385).
Imam Ibnu Batthah menukil tidak kurang dari 133 nama ulama yang dikoleksi oleh Imam Ibnu Sallam (w. 224 H) sebagai ulama yang menegaskan bahwa iman itu berfluktuasi dan bahwa hal tersebut merupakan mazhab Ahli Sunnah. (Lihat: al-Ibanah: 2/814).
Imam Bukhari menegaskan bahwa: “Aku telah menjumpai lebih dari seribu ulama di berbagai penjuru, tidak seorang pun di antara mereka menyelisihi bahwa iman itu mencakup ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” (Lihat: Fathul Bari karya Ibnu Hajar: 1/47).
Abu Zur’ah Ar-Raziy dan Abu Hatim Ar-Raziy berkata, “Kami telah menjumpai para ulama pada setiap tempat, di Hijaz, Irak dan Syam serta Yaman. Dan di antara mazhab mereka adalah bahwa: iman itu mencakup perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang“. (Syarah Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah karya Al-Lalakaiy: I/197).
Ibnu Abdil–Barr (W.463H) telah menukil konsensus ulama hadis atas fluktuasi iman: “Telah sepakat para ulama fikih dan ulama hadis bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan dan bahwa tidak terwujud suatu amal sebagai ibadah kecuali dengan niat. Mereka juga konsesus bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan dan bahwa semua ketaatan itu merupakan keimanan, kecuali Imam Abi Hanifah dan pengikutnya sebab diriwayatkan bahwa beliau berpendapat ketaatan tidak termasuk dalam terminologi iman”. (Kitab at-Tamhid: IX/238).
Konsep iman berfluktuasi sebagaimana pandangan Ahli Sunnah wal Jamaah sangat berbeda dengan konsep iman menurut kaum wa‘idiyah (baca; Khawarij dan Muktazilah) dan menurut kaum Murjiah yang masing-masing berpendapat bahwa iman itu adalah satu kesatuan yang utuh, tidak bertambah dan tidak berkurang. Meskipun hukum yang mereka bangun di atas konsep tersebut masing-masing berbeda. Tetapi yang pasti, mereka menjustifikasi bahwa iman adalah sesuatu yang tidak berfluktuasi. Dalam konsep Khawarij dan Muktazilah, iman adalah satu kesatuan yang utuh yang tidak bertambah dan tidak berkurang, mencakup semua amalan saleh. Jika orang beriman dan beramal saleh tersebut melakukan dosa besar maka ia keluar dari imannya. Lalu orang yang keluar dari iman karena melakukan dosa divonis kafir oleh Khawarij, sedang Muktazilah menamakannya sebagai orang yang berada pada al-manzilah baina al-manzilatain, posisi transisi di antara dua posisi yaitu antara posisi iman dan kafir. Ia telah keluar dari iman tetapi ia belum dinamakan kafir menurut Muktazilah. Kaum Murjiah juga berpandangan bahwa iman tidak berfluktuasi. Hal tersebut didasari oleh konsep dasar mereka bahwa iman itu adalah tashdiq (pembenaran/keyakinan) yang tidak dapat bertambah ataupun berkurang. Karena jika tashdiq tersebut berkurang maka keyakinan tersebut berganti menjadi keraguan sehingga pelakunya tidak lagi beriman. Atas dasar bahwa iman adalah tashdiq yang tidak dapat berfluktuasi tersebut maka bagi mereka iman para nabi, malaikat dan iman orang-orang yang larut dalam kemaksiatan adalah sama.
Konsep iman berfluktuasi beserta hukum yang dibangun di atasnya dalam perspektif Ahli Sunnah melahirkan sikap bahwa pelaku dosa dari kalangan orang beriman tidak sama dengan orang yang tidak melakukan dosa, tetapi ia juga tidak dikeluarkan dari keimanan. Bagi Ahli Sunnah pelaku dosa tersebut dikatakan mu’min naqishul-iman/mukmin minim iman, atau mu’min bi imanihi wa fasiq bi kabiratihi/ orang yang mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosanya. Ahli Sunnah memandang bahwa keimanan dan dosa besar bisa berkumpul di dalam diri seseorang, tanpa ia keluar dari keimanannya selama dosa besar tersebut bukanlah dosa syirik, tetapi ia juga tidak lagi sempurna keimanannya akibat melakukan dosa tersebut.
Tingkatan-Tingkatan Orang Beriman
Bertolak dari konsep fluktuasi iman, maka Ahli Sunnah memandang bahwa orang-orang beriman tidak berada pada satu derajat, tetapi mereka berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Di antara mereka, terdapat orang-orang yang memiliki keimanan yang sempurna seperti para nabi dan para shiddiqin, juga ada yang imannya sedang dan ada pula yang sangat kurang, hingga imannya digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sebesar biji sawi atau lebih kecil dan lebih ringan daripadanya. (lihat: HR. Bukhari No. 7510).
Dengan merujuk kepada firman Allah dalam Surah Fathir ayat 32, maka Ahli Sunnah mengklasifikasi orang-orang beriman secara global menjadi tiga tingkatan, yaitu: tingkat zhalim linafsih, tingkat muqtashid dan tingkat sabiq bil-khairat . Allah berfirman,
{ ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ} [فاطر: 32]
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.“ (QS. Fathir: 32).
Ketiga golongan tersebut sama-sama memiliki dasar-dasar iman, sama-sama dipilih oleh Allah di antara sekian banyak hamba–Nya, sama-sama mewarisi Kitabullah serta sama-sama akan masuk surga, akan tetapi mereka berbeda dalam mewujudkan kesempurnaan iman, berbeda kadar dari pemilihan Allah kepada mereka dan berbeda dalam memegang warisan dari Allah berupa Kitab–Nya serta berbeda dalam kedudukan dan derajat mereka di surga, tergantung pada sifat-sifat mereka. (lihat: Fawaid Qur’aniyah karya As-Sa’diy hal. 60).