Fatawa Umum

FATWA AMALAN FIKIH SEHARI-HARI (BAG 5)

FATWA AMALAN FIKIH SEHARI-HARI

(BAG. 5)

TENTANG SALAT

60. Apabila seorang anak telah mencapai usia tujuh tahun, maka walinya memerintahkannya untuk melaksanakan salat agar ia terbiasa dengannya. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim bahwa Nabi ﷺ bersabda:

‘Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila meninggalkannya) ketika mereka berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.’

Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah sempurnanya usia tujuh tahun, bukan permulaan masuknya usia tersebut.”

61. Seorang anak kecil mendapatkan pahala atas salatnya apabila ia telah mencapai usia tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk), serta ia melaksanakan kewajiban wudu dan salat dengan cara yang benar.

62. Disyariatkan bagi seorang muazin yang mengumandangkan azan tanpa pengeras suara untuk menoleh ke kanan dan ke kiri ketika mengucapkan hayalah (yaitu lafaz ḥayya ‘alaṣṣalāhḥayya ‘alal-falāḥ), dengan tetap dalam posisi kakinya. Hal tersebut diriwayatkan sebagai perbuatan muazin Rasulullah ﷺ di hadapan beliau, dan juga karena lebih efektif dalam menyampaikan panggilan salat kepada orang-orang yang jauh dari masjid.

63. Disyariatkan azan untuk salat di tempat mana pun di muka bumi, baik di dalam kota maupun di luar kota. Azan tetap sah (mencukupi) meskipun sebagian jamaah tidak mendengarnya. Namun, bagi orang yang tertinggal dari salat berjamaah, maka ia cukup melaksanakan iqamah saja (tanpa azan).

64. Disyariatkan dalam pelaksanaan iqamah agar dilafalkan dengan suara keras. Maka barang siapa yang mengumandangkan iqamah, hendaklah ia melakukannya dengan suara yang jelas, baik ia salat sendirian maupun bersama orang lain.

65. Disunahkan bagi orang yang mendengarkan iqamah untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muqim (orang yang mengumandangkan iqamah), karena iqamah merupakan azan kedua, sehingga dijawab sebagaimana azan dijawab. Ketika muqim mengucapkan “Hayya ‘ala ash-shalah” dan “Hayya ‘ala al-falah”, maka pendengar hendaknya menjawab dengan ucapan “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.”

Ketika muqim mengucapkan “Qad qāmatiṣ-ṣalāh”, maka pendengar mengucapkan hal yang sama sebagaimana yang diucapkan muqim, dan tidak mengucapkan “Aqāmahallāhu wa adāmahā”, karena hadis tentang ucapan tersebut lemah.

Telah sahih dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda:

“Apabila kalian mendengar muazin, maka ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan.”

Hadis ini mencakup baik azan maupun iqamah, karena keduanya disebut sebagai azan.

66. Karena doa merupakan ibadah yang disyariatkan, dan tidak terdapat dalil yang sahih —baik berupa sunah qauliyyah (ucapan Nabi) maupun sunah fi‘liyyah (perbuatan Nabi)— yang menetapkan kebiasaan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah berdoa, sedangkan riwayat yang menyebutkan hal itu bersumber dari jalur yang lemah, maka yang lebih utama adalah meninggalkannya. Hal ini sejalan dengan hadis-hadis sahih yang tidak menyebutkan adanya perbuatan mengusap wajah tersebut.

67. Tidak terdapat dalil yang sahih tentang doa yang disyariatkan setelah iqamah dan sebelum takbiratulihram. Namun, yang disyariatkan adalah hendaknya seseorang mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muazin ketika iqamah dikumandangkan, kemudian berselawat kepada Rasulullah ﷺ serta memohonkan untuk beliau kedudukan al-wasīlah (derajat yang mulia di surga). Setelah itu, ia menunggu hingga imam bertakbir, lalu bertakbir mengikutinya.

68. Penetapan kalender (waktu) termasuk perkara ijtihadiyah, sehingga orang-orang yang menyusunnya adalah manusia yang bisa benar dan bisa pula salah. Karena itu, tidak sepantasnya penentuan waktu salat dan puasa —baik permulaan maupun akhirnya— digantungkan sepenuhnya pada kalender tersebut. Sebab, permulaan dan akhir waktu-waktu tersebut telah dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunah; maka seyogianya kita berpegang pada dalil-dalil yang menunjukkan hal itu.

Namun demikian, kalender atau perhitungan astronomi (hisab falak) dapat dimanfaatkan oleh para muazin dan imam sebagai acuan perkiraan waktu salat secara umum. Adapun dalam hal puasa dan berbuka, maka tidak boleh dijadikan sandaran secara mutlak, karena Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menetapkan hukum puasa berdasarkan terbitnya fajar hingga datangnya malam.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya. Jika langit tertutup (tidak terlihat), maka sempurnakanlah bilangan (bulan) menjadi tiga puluh hari.”

69. Apabila seorang wanita suci dari haid atau nifas sebelum berakhirnya waktu darurat suatu salat, maka ia wajib melaksanakan salat tersebut beserta salat yang dapat dijamak dengannya sebelumnya.

Dengan demikian, jika ia suci sebelum matahari terbenam, maka wajib atasnya melaksanakan salat Asar dan Zuhur. Jika ia suci sebelum terbit fajar kedua (fajar shadiq), maka wajib atasnya melaksanakan salat Isya dan Magrib. Dan jika ia suci sebelum terbit matahari, maka wajib atasnya melaksanakan salat Subuh.

70. Mengqada salat yang terlewat wajib dilakukan segera tanpa menunda-nundanya. Selain itu, pelaksanaannya harus berurutan sesuai dengan urutan yang telah Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tetapkan, yaitu dimulai dengan salat Subuh, kemudian salat Zuhur, lalu salat Asar.

71. Pendapat yang paling kuat di antara para ulama Islam adalah bahwa aurat laki-laki berada di antara pusar dan lutut.

72. Tidak diperbolehkan seseorang melaksanakan salat dengan mengenakan pakaian yang bergambar makhluk bernyawa, seperti manusia, burung, hewan ternak, atau makhluk bernyawa lainnya. Seorang muslim pun tidak diperbolehkan mengenakan pakaian semacam itu di luar salat.

Salat orang yang mengenakan pakaian bergambar makhluk bernyawa tetap sah, tetapi ia berdosa jika mengetahui hukum syar‘i yang melarangnya.

Selain itu, tidak boleh menuliskan nama Allah pada pakaian, dan makruh hukumnya memasuki kamar kecil (toilet) dengan pakaian yang bertuliskan nama Allah, kecuali karena ada kebutuhan yang mendesak, sebab hal itu termasuk bentuk penghinaan terhadap nama-Nya Yang Agung.

73. Apabila seseorang salat dalam keadaan memakai pakaian yang najis, lalu ia teringat atau mengetahui hal itu di tengah salat, maka ia wajib memutus salatnya dan mengganti pakaian najis tersebut dengan pakaian yang suci, atau membersihkan najisnya terlebih dahulu.

Namun, apabila di dalam pakaian najis itu terdapat pakaian lain yang suci, maka cukup baginya melepas pakaian yang najis tersebut dan melanjutkan salatnya.

Hal ini berdasarkan peristiwa ketika Jibril ‘alaihis-salām memberi tahu Nabi ﷺ tentang adanya najis pada kedua sandal beliau; maka beliau pun segera melepaskannya dan melanjutkan salat tanpa mengulanginya dari awal.

74. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa pelipatgandaan pahala mencakup seluruh kawasan Tanah Haram, karena seluruhnya disebut sebagai Masjidilharam dalam Alquran dan Sunah.

Adapun dosa, tidaklah dilipatgandakan dari sisi jumlah —baik di Tanah Haram maupun di tempat lain— tetapi dilipatgandakan dari sisi kualitasnya. Hal itu terjadi karena perbedaan tingkat parahnya dosa dan besarnya pelanggaran yang dilakukan, terutama bila dilakukan pada waktu dan tempat yang dimuliakan, seperti bulan Ramadan, Tanah Haram Makkah, Madinah Al-Munawwarah, dan yang semisalnya.

Mu'tashim Billah, Lc

Mahasiswa S2 Qassim University, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button