Bunda Terindah
Di bawah langit biru Makkah terlihat seorang bunda merana. Pandangan kosongnya melihat ke arah utara, arah yang menjadi tujuan suami tercinta. Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia terlihat di Abthah, pinggiran Kota Makkah. Ia duduk di sana meratapi kelemahan dirinya yang tak mampu menyusul hijrah suaminya dan merangkul bayi kecilnya. Air mata beningnya selalu tumpah membasahi wajah cantiknya. Adz-Dzahabi dan Ibn Hajar menyifati dirinya: sangat cantik dan sangat cerdas. Dua anugerah yang jarang ada pada diri kaum hawa.
Ia melakukan itu setiap hari hingga setahun lamanya. Sungguh, bukan hal mudah bagi seorang bunda untuk bersabar di atas iman, tabah dalam kungkungan keluarga yang penuh sosok-sosok durjana, juga menahan rindu terhadap bayi kecil yang dipaksa untuk ia tinggalkan.
Setahun lamanya ia tersiksa seperti ini. Hingga salah satu keluarganya dari Bani al-Mugirah merasa kasihan padanya. “Apakah kalian tetap menahan wanita yang merana ini? Apakah kalian tetap enggan menyusulkannya dengan keluarga kecilnya? Kalian sungguh zalim saat memaksanya tidak ikut bersama suaminya ke Madinah dan menjauhkan dirinya dari bayi kesayangannya!”
Sekeras apa pun hati para zalim Bani al-Mugirah, ternyata bisa luluh oleh ketabahan Ummu Salamah. “Kalau begitu, jika kamu mau, silakan menyusul suamimu ke Madinah.” Tutur mereka.
Kisah perjalanan hijrah Ummu Salamah merupakan salah satu kisah tersedih dalam perjuangan iman para sahabiyah. Sampai-sampai Ummu Salamah sendiri pernah bertutur, “Saya tidak tahu ada keluarga dalam Islam yang sangat menderita (demi perjalanan hijrah) selain keluarga Abu Salamah.”[1]
Saat itu, ketika singar bingar hijrah belum terdengar, suaminya bertekad membawa dirinya dan bayi mereka untuk hijrah ke Madinah. Sayangnya, ketika mereka telah start melakukan perjalanan, keluarga Ummu Salamah malah menghalangi mereka lantaran tidak rela dengan keputusan suaminya. Mereka malah mengancamnya, “Apakah kamu akan memisahkannya dari kami? Tidak ada alasan bagimu untuk turut serta membawanya ke Madinah!” Ummu Salamah dan bayinya pun dipaksa untuk tetap tinggal di Makkah.
Hal ini ternyata menimbulkan kemurkaan dari keluarga suaminya, Abu Salamah, yaitu Bani Abdul Asad. Mereka ingin membalas dendam, “Bayi dari nasab kami, tidak akan kami biarkan tinggal bersama kalian. Kalian telah mengambil paksa istrinya dari dirinya. Maka kami akan mengambil bayi itu dari kalian!”
Kedua keluarga itu pun saling berebutan tangan bayi mungil itu agar tinggal bersama mereka. Meskipun keluarga Abu Salamah berhasil merebutnya, tapi salah satu lengan sang bayi terputus lantaran kerasnya tarikan tangan-tangan mereka.
Demi hijrah dan perjuangan, Abu Salamah tetap melanjutkan perjalanan hijrah ke Madinah sendiri. Istrinya tertawan oleh keluarganya sendiri. Sedangkan bayinya tertahan oleh keluarga Abu Salamah, dalam kondisi cacat.
Sederet kepiluan inilah yang membuat Ummu Salamah tak berhenti menangis selama setahun. Bukan pertama kali ini saja para durjana itu menzalimi dirinya. Beberapa tahun sebelumnya, ia bersama suaminya terpaksa harus berhirah ke Habasyah demi menghindari penyiksaan mereka. Di sanalah putra pertama mereka dilahirkan dengan nama Salamah. Kemudian mereka kembali ke Makkah dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan. Namun, berbagai intimidasi dan penyiksaan kaum Quraisy, membuat para sahabat termasuk mereka sekeluarga memutuskan untuk hijrah kembali, tapi kali ini ke Madinah. Ironisnya, mereka semua harus tersiksa kembali selama setahun.[2]
Ketika diberikan izin, Ummu Salamah langsung mengambil putranya dari keluarga suaminya, lantas berdua dengan sang anak menunggang unta menuju Madinah. Ketika di Tan’im yang ketika itu masih berada jauh di luar Kota Makkah, dia bertemu Usman bin Thalhah yang saat itu masih kafir. Karena merasa kasihan, ia pun mengantar Ummu Salamah dan putranya ke Madinah. Usman berjalan kaki sembari memegang tali kekang unta, sementara mereka berdua duduk di atas unta hingga sampai di Madinah. Usman ini kemudian masuk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah di tahun ke-7 H dan berhijrah ke Madinah bersama Khalid bin al-Walid.
Ummu Salamah dan suaminya adalah pasutri yang pertama kali berhijrah ke Habasyah sekaligus yang pertama kali hijrah ke Madinah. Di Madinah, Ummu Salamah fokus melayani sang suami sekaligus memelihara dan mendidik putra-putrinya. Dirinya adalah sosok bunda sekaligus wanita Quraisy yang mesti menjadi cerminan para bunda dalam ketaatan terhadap suami dan kesabaran dalam mendidik anak.
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ؛ أحْنَاهُ علَى ولَدٍ في صِغَرِهِ، وأَرْعَاهُ علَى زَوْجٍ في ذَاتِ يَدِهِ
“Sungguh sebaik-baik wanita penunggang kuda adalah wanita kaum Quraisy; mereka lebih sayang pada anak di masa kecilnya dan lebih perhatian terhadap hak dan harta suaminya.” [3]
Ummu Salamah adalah teladan bagi setiap wanita yang hanya hidup sebatang kara bersama sang suami, jauh dari seluruh kerabat dan keluarga. Meskipun demikian, dirinya tetap memotivasi sang suami untuk memperjuangkan agama Allah. Padahal, bila suaminya syahid, tak akan ada lagi yang bisa menanggung kehidupannya. Potret keteguhan seperti ini hampir ada di semua para sahabiyah. Sebab itu, meskipun mereka tidak ikut berjihad, namun kesabaran dan ketabahan mereka dalam mengikhlaskan kesyahidan ayah, anak, suami, dan saudara mereka, pantas menjadi salah satu faktor keistimewaan hati mereka di sisi Allah.
Adapun sang suami, maka menjadi salah satu tangan kanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain ia adalah sepupu satu kali Rasulullah karena ibunya Barrah binti Abdul Mutthalib, ia juga merupakan saudara sepersusuannya. Tak heran bila beliau membebani Abu Salamah dengan tugas-tugas militer yang super berat. Ia menjadi salah satu andalan umat Islam dalam perang Badar dan Uhud, menjadi komandan perang dalam beberapa sariyah atau ekspedisi pasukan, serta pernah menggantikan Rasulullah dalam pemerintahan Kota Madinah ketika beliau safar dalam perang al-‘Asyirah tahun ke-2 H.
Abu Salamah terluka parah dalam perang Uhud. Ia sempat sembuh, bahkan sempat mengomandoi sebuah sariyah dan memenangkan perang. Namun, sekembalinya dari perang ini, lukanya terbuka kembali yang menyebabkan dirinya sakit parah. Ibn Sa’ad meriwayatkan dialog cinta antara dua pasutri ini di saat-saat menyedihkan itu.
“Telah sampai padaku bahwa bila suami wafat dan masuk surga sedangkan istrinya tidak lagi menikah sepeninggalnya, maka Allah akan mengumpulkan mereka berdua di surga. Sebab itu, mari berjanji: engkau tidak menikah lagi bila saya duluan wafat, sebaliknya saya juga tidak akan menikah lagi bila engkau duluan wafat.” Ucap Ummu Salamah. Tentu, ini adalah ungkapan cinta dan kasih yang luar biasa.
Tapi, cinta laki-laki tampaknya berbeda. Karena luasnya ruang logikanya di relung cinta itu. Abu Salamah lantas berkata padanya, “Apakah kamu mau mendengar dan menaatiku?”
“Tentu”, jawab Ummu Salamah.
“Bila saya wafat, menikahlah dengan pria lain.” Kemudian dia berdoa, “Ya Allah! Karuniailah Ummu Salamah setelah wafatku seorang suami yang lebih baik dariku. Ia tidak membuatnya sedih, tidak pula menyakitinya.”[4]
Tak berselang lama setelah itu, Abu Salamah menghembuskan napas terakhirnya. Radhiyallahu ‘anhu.
Kesedihan kembali menimpa Ummu Salamah yang mesti sendiri memelihara 4 anaknya, Salamah,Umar, Zainab, dan Durrah, yang kesemuanya masih belum dewasa. Selain itu, satu-satunya keluarga Ummu Salamah di Madinah adalah suaminya. Tak ada keluarga dekat selainnya. Kesedihan ini mengingatkannya pada doa yang diajarkan oleh Rasulullah tatkala ditimpa musibah:
إنَّا لِلَّهِ وإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أْجُرْنِي في مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لي خَيْرًا منها،
“Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah aku pahala di balik musibahku dan gantikanlah aku dengan yang lebih baik darinya.”[5]
Ia pun terus-menerus membacanya sembari bergumam: siapakah pengganti yang lebih baik dari Abu Salamah yang tak akan membuat dirinya sedih dan menyakitinya?!
Tak lama kemudian, datanglah lamaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. “Wahai Rasulullah, saya tidak keberatan bila engkau ingin menikahiku. Namun, saya adalah wanita yang sangat pencemburu, sehingga saya khawatir engkau mendapatiku melakukan sesuatu yang menjadi sebab Allah menyiksaku. Saya juga adalah wanita yang sudah cukup berumur sekaligus memiliki banyak anak yang masih kecil.” Tukas Ummu Salamah menyampaikan alasan keragu-raguannya dalam menerima lamaran Rasulullah.
Beliau lantas bersabda meyakinkannya, “Adapun sifat cemburumu, maka Allah akan menghilangkannya dari dirimu. Adapun terkait usiamu, maka saya juga telah berumur seperti dirimu. Adapun terkait banyaknya anak kecilmu, maka mereka akan ada dalam tanggunganku.”[6]
Keduanya pun menikah pada tahun ke-4 H. Ummu Salamah pun bersyukur sembari berucap, “Ternyata pengganti yang Allah karuniakan yang lebih baik dari Abu Salamah adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ini merupakan pelajaran bagi para bunda. Agar banyak berdoa dengan doa ini ketika ditimpa musibah kehilangan, baik suami ataupun anak. Sembari menguatkan keyakinan akan datangnya inayah ilahi. Insya Allah, akan mendatangkan yang lebih baik dan lebih utama.
Penikahan ini menjadi kesempatan bagi Ummu Salamah untuk mendekatkan putra-putrinya dengan sosok Rasulullah. Rasulullah kemudian memindahkan mereka ke rumah yang ia khususkan untuk mereka. Di sanalah saat-saat indah bagi putra-putri Ummu Salamah bersama Rasulullah dan menimba ilmu dari keseharian beliau. Di sanalah beliau mengajarkan mereka berbagai adab dan ajaran agama.
Suatu waktu ketika makanan sudah siap dihidangkan, Umar kecil malah memungut makanan dari nampan seenaknya. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lembut menasihatinya:
يا غلام، سمِّ اللهَ، وكُلْ بيمينك، وكُلْ مما يليك
“Wahai anakku, sebutlah nama Allah dahulu, makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah dari makanan yang terdekat darimu.”[7]
Berkat pembinaan Ummi Salamah, Umar tumbuh menjadi sosok pemberani dan pemimpin seperti ayahnya, Abu Salamah, apalagi ditambah dengan pembinaan Sang Baginda. Dia sangat akrab dengan sepupu dua kalinya, Abdullah bin Zubair, yang sama-sama sedari remaja sudah menampakkan tanda-tanda keberanian dan ketangkasan. Dia kelak menjadi gubernur Bahrain lalu gubernur Persia di pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Sedangkan Zainab, maka kelak menjadi sosok ulama fikih dan ahli hadis di kalangan para sahabat. Ia tidak hanya mewarisi kecantikan sang ibu yang tak ada duanya, tapi juga mewarisi kecerdasan akalnya. Ini tidak lain lantaran pembinaan luar biasa yang diberikan oleh Ummu Salamah pada dirinya. Juga pembinaan Rasulullah, lantaran ayahnya wafat saat ia masih bayi. Pernah suatu kali, Rasulullah sedang mandi. Ummu Salamah dengan wajah gembira membisiki Zainab yang masih kecil, “Cobalah masuk ke tempat mandi Rasulullah.” Ketika ia hendak masuk, beliau membasahi wajah Zainab dengan air bekas mandinya seraya menyuruhnya, “Kembalilah ke bundamu.” Berkat keberkahan air ini, parasnya tetap sangat cantik dan muda meskipun setelah memasuki usia senja.[8] Ibnu Abdil Barr menjulukinya: ulama wanita yang paling fakih di zamannya, yaitu zaman sahabat dan tabiin.
Adapun kakaknya, Durrah, maka ia sama sepertinya, mewarisi kecantikan dan kecerdasan sang bunda. Hanya saja, Zainab lebih populer.
[1] . Sirah Ibn Hisyam (2/75-76)
[2] . Kisah hijrah Ummu Salamah ini bisa dilihat dalam ath-Thabaqat al-Kubra (1/204), Sirah Ibn Hisyam (2/75-76), al-Bidayah wa an-Nihayah (3/169), dan al-Ishabah (3/586)
[3] . Sabda Rasulullah ini ada dalam Shahih Muslim (2527)
[4] . Ath-Thabaqat al-Kubra (8/88)
[5] . HR Muslim (918)
[6] . HR Ahmad (15751)
[7] . HR Bukhari (5061) dan Muslim (2022)
[8] . Lihat: al-Isti’ab (4/1854), Usdul-Gabah (7/132), dan al-Ishabah (8/160)
Maa Syaa Allah Tabaarakallaahu. Sungguh karunia dan Rahmat Allah kepada siapa yang ia kehendaki bagi hambaNya yang beriman dan taat padaNya. Sungguh potret Wanita, suami dan keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta keikhlasan dan pengorbanannya yang luar biasa. Semoga Allah merahmati mereka semuanya. Aamiin.
Membaca kisah kehidupan mereka sungguh sangat menginspirasi dan memotivasi. membangkitkan semangat beriman dan bertaqwa kepada Allah dengan taqwa yang sesungguhnya. Terima kasih Ustadzanaa DR. Maulana Laeda Hafidzahullaahu. Dan kepada Markaz Inayah telah memfasilitasi tersebarnya faidah yang sangat berharga. Jazaakumullaahu Khairan.