Bolehkah Iktikaf Di Rumah Semasa Corona?

Ketika pandemi melanda seperti saat ini, aktifitas di luar rumah dan yang melibatkan orang banyak terpaksa dibatasi, sehingga banyak aktifitas ibadah -baik wajib maupun sunah- juga terkena dampak secara langsung. Seperti ibadah haji, umrah, salat Jumat, salat jamaah di masjid, buka puasa bersama, salat Tarawih, dll.
Iktikaf yang sangat identik dengan bulan Ramadan dan senantiasa dilaksanakan di masjid juga termasuk ibadah yang terdampak secara langsung. Maka timbullah pertanyaan, bolehkan beriktikaf di rumah? Sebelum mencoba menjawab, penting kita ketahui beberapa perkara yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut.
Definisi Iktikaf
Secara bahasa iktikaf (الاعتكاف) berarti menetapi sesuatu dan menahan diri padanya.
Sedangkan dalam istilah syariat, iktikaf adalah (لزوم المسجد لعبادة الله فيه): berdiam di masjid untuk beribadah kepada Allah di dalamnya. (i)
Umumnya ulama yang memberikan definisi iktikaf secara istilah, selalu menyebutkan kata masjid, sebagai indikasi bahwa masjid adalah bagian dari ibadah iktikaf, atau dengan kata lain iktikaf hanya sah bila dilakukan di masjid.
Hukum Iktikaf
Iktikaf hukumnya sunah, kecuali seseorang bernazar untuk beriktikaf di masjid tertentu, maka hukumnya menjadi wajib. Hukumnya sunah bagi pria juga wanita, kecuali jika keberadaan wanita di masjid dapat menimbulkan fitnah.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iktikaf sunah, adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata, “Bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam senantiasa beriktikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadan hingga beliau wafat, dan setelah beliau wafat istri-istri beliau juga beriktikaf.” (ii)
Imam An-Nawawiy berkata, “Iktikaf hukumnya sunah sesuai ijmak dan tidak wajib kecuali dengan nazar sesuai ijmak (konsensus ulama).” (iii)
Iktikaf ini juga sudah disyariatkan kepada umat sebelum kita, Allah Ta’ala berfirman, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud‘.” (QS. Al-Baqarah: 125).
Hikmah dan Tujuan Iktikaf
Banyak hikmah dan tujuan dari anjuran iktikaf, di antaranya:
1. Fokus beribadah kepada Allah Ta’ala.
Dengan berdiam diri di masjid, orang yang beriktikaf hatinya terfokus hanya beribadah kepada Allah. Ia lakukan ibadah ini hanya dalam hitungan sembilan atau sepuluh hari, setelah sebelumnya ratusan hari ia habiskan dalam kesibukan duniawi. Pada hari-hari ini ia berusaha memperbaiki hubungannya dengan Sang Pencipta, berusaha semaksimal mungkin menggapai rida-Nya.
2. Meraih lailatulkadar.
Di anatara tujuan utama iktikaf adalah mengejar lailatulkadar, karena dengan beriktikaf di masjid, ia dapat menghabiskan malam-malamnya hanya dalam aktifitas ibadah. Jika saat ia beribadah bertepatan dengan malam lailatulkadar, maka pahala ibadahnya dilipatgandakan lebih dari 1000 bulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya saya beriktikaf pada sepuluh hari pertama untuk mendapatkan malam ini (lailatulkadar), kemudian saya beriktikaf pada sepuluh malam kedua, kemudian saya didatangi dan dan dikatakan kepada saya bahwa ia ada pada sepuluh malam terakhir. Maka barang siapa di antara kalian yang ingin beriktikaf maka iktikaflah. Lalu orang-orang pun beriktikaf bersama beliau (iv)
Dari hari pertama iktikaf hendaklah ia berniat dan berdoa untuk mendapatkan lailatulkadar.
3. Memurnikan keikhlasan.
Yang lebih penting dari iktikaf jasmani adalah iktikaf hati. Maka hendaklah orang yang iktikaf berusaha keras untuk merahasiakan amal ibadahnya, jangan sampai ia berdiam sendiri di sudut masjid, namun setiap amal ibadahnya di–share via media sosial, banyak yang suka, banyak yang memuji, akhirnya ria merasuki hati dan merusak tujuan utama dari ibadah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan (tidak minta-minta), dan menyembunyikan amalannya.” (v)
Rukun dan Syarat Iktikaf
Ulama menyebutkan bahwa iktikaf mempunyai empat rukun, yaitu:
1. Mu’takif (orang yang beriktikaf).
Disyaratkan bagi yang hendak beriktikaf: muslim, berakal, dan mumayiz. Adapun wanita dipersyaratkan mendapat izin suami. Syarat lain adalah harus dalam keadaan suci, yakni tidak dalam kondisi junub, haid ataupun nifas, karena mereka yang berkondisi demikian dilarang berdiam di masjid. Jika seorang anak dilarang oleh orang tuanya karena keduanya butuh bantuannya, atau karena takut bahaya tertentu, maka ia wajib menaati orang tuanya.
2. Mu’takaf Fihi (Masjid tempat iktikaf).
Banyak ulama yang menukil ijmak/konsensus bahwa iktikaf hanya boleh dilakukan di masjid. Ibnu Qudamah berkata, “Iktikaf tidak sah dilakukan di selain masjid, jika yang beriktikaf adalah lelaki, tidak ada perbedaan pendapat antara ulama tentang hal ini -sepengetahuan kami-.” (vi)
Al-Qurthubiy juga menegaskan, “Para ulama telah berijmak bahwa iktikaf tidak dilakukan selain di masjid.“ (vii)
Para ulama kemudian berbeda pendapat tentang batasan masjid yang dimaksud, apakah semua masjid, atau khusus masjid yang di dalamnya dilaksanakan salat jamaah dan Jumat? Pendapat yang terbaik adalah di masjid yang dilaksanakan salat jamaah di dalamnya, dan jika bisa di masjid jamik yang dilaksanakan salat Jumat maka lebih afdal, agar ia tidak perlu meninggalkan masjid tempat iktikafnya untuk melaksanakan salat Jumat dan jamaah. Ini berdasarkan atsar Ali Ibn Abi Thalib radhiyallahu ’anhu dan sahabat lainnya: “Tidak ada iktikaf kecuali di masjid (yang ada) jamaah.” (viii)
Adapun wanita, maka ia boleh beriktikaf di masjid mana saja yang aman baginya, karena ia tidak diwajibkan menghadiri salat Jumat dan jamaah.
3. Niat.
Jika seseorang berdiam di masjid tapi tidak berniat iktikaf, maka amalan tersebut tidaklah dianggap iktikaf sesuai makna syariat.
4. Berdiam diri dan menetap di masjid.
Orang yang beriktikaf, tidak dibolehkan meninggalkan masjid, kecuali ada uzur darurat dan hajat yang dibenarkan syariat. Sebagian ulama menyatakan bahwa rukun iktikaf hanya satu, yakni berdiam dan menetap di masjid.
Standar Masjid Tempat Iktikaf
Al-Qur’an dan Sunnah tidak menyebutkan standar khusus tentang masjid. Tetapi, dapat dipahami bahwa masjid yang dimaksud adalah yang memenuhi beberapa kriteria berikut:
1. Statusnya adalah wakaf, keluar dari kepemilikan orang yang mewakafkan.
2. Didirikan untuk pelaksanaan salat lima waktu untuk selamanya.
3. Adanya izin secara umum kepada semua orang untuk salat di dalamnya. (ix)
Dengan demikian, musala yang terdapat di rumah, gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, sekolah, dan lainnya di mana status kepemilikinnya dipegang lembaga atau orang tertentu dan salat lima waktu tidak dilaksanakan secara kontinu, maka hukumnya tidak sama seperti masjid. Sehingga iktikaf tidak dibenarkan di dalamnya.
Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshariy berkata, “Tiada ibadah yang sangat bergantung dengan masjid selain (salat) Tahiyyat Masjid, iktikaf dan tawaf.” (x)
Bolehkah Iktikaf di Rumah di Masa Corona?
Jawaban pertanyaan ini dapat kita rinci ke dalam beberapa poin:
Pertama, tidak semua daerah terpapar corona, masih banyak daerah di negeri kita, khususnya di pelosok yang masih steril, karena dari awal sudah melakukan karantina mandiri dan menerapkan standar pencegahan corona sejak dini. Maka untuk daerah yang masih steril seperti ini semua ibadah dilakukan sebagaimana mestinya; salat Jumat, salat berjamaah lima waktu, salat Tarawih dan iktikaf semuanya bisa dilakukan di masjid, dengan tetap melakukan tindakan preventif.
Adapun daerah yang sudah masuk zona merah atau yang sudah terpapar corona, kemudian Majelis Ulama sudah menfatwakan untuk menunda sementara kegiatan ibadah jamaah di masjid, maka sebaiknya jangan ada yang melaksankan iktikaf di masjid. Karena ibadah yang wajib saja sudah ditangguhkan pelaksanaannya di masjid, apalagi Iktikaf yang hukumnya sunah.
Kedua, dari pemaparan sebelumnya, kita ketahui bersama bahwa masjid dan berdiam di dalamnya untuk beribadah menjadi rukun atau syarat utama iktikaf baik bagi pria maupun wanita. Jika tidak bisa dilaksanakan di masjid maka sunah iktikaf menjadi gugur. Ibadah ini hukumnya sunah, jika tidak bisa dilaksanakan sesuai tuntunan syariat karena uzur dan halangan tertentu, maka ia tidak perlu diganti dengan melaksanakannya di rumah, karena tidak memenuhi rukun atau syarat sahnya.
Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak ditanya tentang hukum iktikaf di rumah di masa pandemi corona tahun 1441 H ini, beliau menjawab:
Alhamdulillah, was–shalaatu was–sallaamu ‘alaa Muhammad, Ammaa Ba’d:
Iktikaf adalah ibadah khusus yang dilakukan di masjid, sesuai firman Allah Ta’ala yang artinya: “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).
I’tizal (menyendiri) di rumah agar terhindar dari pergaulan jahat dan bahaya buruk sangat dianjurkan kapan saja. Tetapi berdiam di rumah atau ruangan di dalamnya tidaklah dinamai iktikaf, bahkan siapa yang mengklaim perbuatan ini iktikaf dia termasuk pelaku bidah. Imam Al-Baihaqiy meriwayatkan di Sunan Al-Kubra dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
إِنَّ أَبْغَضَ الْأُمُورِ إِلَى اللهِ الْبِدَعُ، وَإِنَّ مِنَ الْبِدَعِ الِاعْتِكَافَ فِي الْمَسَاجِدِ الَّتِي فِي الدُّورِ
“Sesungguhnya perkara yang paling dibenci Allah adalah bidah, dan termasuk bidah adalah iktikaf di masjid-masjid yang ada di rumah-rumah.” (xi)
Iktikaf juga memiliki hukum-hukum yang tidak disyariatkan bagi orang yang berdiam di rumah, seperti tidak boleh keluar dari tempat iktikafnya kecuali untuk kebutuhan mendesak.
Dengan demikian, tidak disyariatkan iktikaf di rumah pada sepuluh akhir Ramadan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakannya di masjid. Jika seseorang berdiam menetap di masjid (musala) rumahnya, tidaklah ia disebut mu’takif (orang yang beriktikaf), akan tetapi ia diberi pahala atas konsentrasinya untuk berzikir, beribadah, dan membaca Al-Qur’an. (xii)
Ketiga, bagi mereka yang konsisten beriktikaf setiap tahunnya, namun tahun ini tidak bisa melaksanakannya karena corona, maka insya Allah akan tetap mendapat pahala.
Syekh Sa’ad bin Turki Al-Khatslan (eks. Anggota haiah kibar ulama Saudi) ditanya tentang hukum iktikaf di musala rumah (di masa corona) sebagaimana biasanya dilakukan di masjid, beliau menjawab:
“Tidak disyariatkan iktikaf di rumah, iktikaf hanya dilakukan di masjid-masjid, inilah pendapat umumnya ulama yang masyhur dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali). Tetapi mazhab Hanafi mengecualikan wanita, ia boleh beriktikaf di masjid/musala rumahnya, dan pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa wanita dan pria tidak boleh beriktikaf selain di masjid. Inilah yang diamalkan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabat beliau setelahnya, begitu juga para tabiin.
Adapun kondisi saat ini, maka siapa yang menjadi kebiasaannya iktikaf pada tahun-tahun lalu, maka dituliskan baginya pahala (iktikaf) secara sempurna, sama seperti jika ia beriktikaf tahun ini. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika seorang hamba sakit atau safar, dituliskan baginya (pahala) sama seperti yang ia lakukan dalam kondisi mukim dan sehat.“ (xiii)
Adapun orang yang tidak biasa melakukannya (iktikaf), maka medan kebaikan sangat banyak, semua amalan yang akan ia lakukan dalam iktikaf bisa dia lakukan tanpa iktikaf; membaca Al-Qur’an di rumah tanpa iktikaf, bertasbih, bertahlil, berzikir, tanpa harus iktikaf.
Iktikaf ini adalah ibadah dan ibadah pada dasarnya bersifat tauqif (tidak boleh dilakukan tanpa dalil). Dalil menunjukkan bahwa ibadah ini hanya dilakukan di masjid, maka tidak dianjurkan iktikaf di selain masjid.” (xiv)
Keempat, jika jiwanya tidak puas karena tidak bisa iktikaf tahun ini, maka ia boleh mengkada iktikafnya pada Ramadan tahun depan, dengan beriktikaf selama 20 hari, atau menggantinya di bulan Syawal jika pandemi sudah berakhir atau di waktu lainnya. Mengkada iktikaf hukumnya boleh atau mustahab/dianjurkan, namun tidak wajib kecuali bagi mereka yang punya nazar iktikaf dan tidak bisa menunaikan nazarnya tahun ini. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadis di atas, dari riwayat Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Akhirnya beliau (Rasulullah) meninggalkan iktikaf pada bulan itu, lalu beliau beriktikaf sepuluh hari pada bulan Syawal.” (xv)
Dalam hadits lain yang dari riwayat Ubay bin Ka’ab radhyilahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (senantiasa) beriktikaf pada sepuluh terakhir Ramadan, suatu tahun beliau safar dan tidak beriktikaf, maka pada tahun berikutnya beliau beriktikaf duapuluh hari.” (xvi)
Kelima, orang yang berdiam dan menyendiri di musala rumahnya, tidak melakukan aktifitas lain selain ibadah, ia tetap mendapat pahala amal ibadah tersebut, hanya saja perbuatan ini tidak termasuk iktikaf secara syariat. Jika dikatakan iktikaf tidak sah dilakukan di rumah, bukan berarti seseorang tidak boleh berdiam dan menetap di musala rumahnya untuk fokus beribadah. Akan tetapi amalan tersebut dinamai i’tizal/’uzlah (menyendiri) bukan iktikaf. Wallahu A’lam
Kita berdoa semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala segera mengangkat pandemi ini, menjadikan kita hamba-hamba yang bersabar ketika ditimpa ujian dan cobaan, hamba-hamba yang bersyukur saat mendapat nikmat dan kesehatan. Semoga setelah pandemi ini berakhir, kita bisa lebih menghargai nikmat waktu dan kesehatan serta dapat menggunakannya untuk beribadah, melakukan ketaatan dan mengumpulkan bekal terbaik untuk akhirat. Amin