Tarbawi

Risalah Da’i

 

Kedudukan Ulama dan Dai di Tengah Umat 

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat pada 12 Rabiul Awwal 11 H (sekitar 1430 tahun silam), maka dua amanat utama beliau diemban oleh para ulama dan umara. Dua amanat yang dimaksud adalah amanat menjaga agama dan mengurus negara.  Itulah sebabnya, Khulafa Rasyidin terpilih sebagai penerus dua tugas utama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Khulafa Rasyidin, yakni Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum adalah ulama besar kalangan sahabat yang memiliki kemampuan memimpin umat. Artinya, kapasitas mereka untuk menjalankan amanah memimpin umat dan menjaga agama tidak diragukan lagi.  

Kemudian sistem pemerintahan berubah menuju sistem kerajaan (dinasti) setelah amanat pemerintahan diemban Bani Umayyah. Sehingga syarat utama seorang pemimpin, yakni harus memiliki kapasitas baik dalam ilmu agama dan kepemimpinan, tidak selamanya terpenuhi. Selanjutnya, kualitas kepemimpinannya dan kesesuaian keputusaanya dengan syariat Allah tergantung pada ilmu agama yang ia miliki dan kedekatannya dengan ulama.  

Allah Azza wa Jalla berfirman,  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59). 

Ibnu Katsir berkata, Ibnu Abbas menafsirkan ulil amri sebagai ahli fikih dan agama, begitu pula tafsiran Mujahid, Atha’ dan Hasan Al-Bashriy. Abul‘Aliyah mengatakan yang dimaksud dengan ulil amri adalah ulama. Dan sepertinya yang lebih tepat –wallahu a’lam yang dimaksud dengan ayat ini adalah umara dan ulama.”1 

Dapat dipahami, bahwa saat seorang pemimpin yang juga merupakan seorang ulama seperti Khulafa Rasyidin, maka ketaatan sepenuhnya kepada mereka adalah wajib. Begitu pula saat seorang pemimpin bukan seorang ulama, namun instruksi dan perintahnya tidak bertentangan dengan syariat Islam dari semua sisi, karena ia tetap merujuk ulama sebelum memutuskan perkara-perkara baru yang berkaitan dengan rakyat secara umum. 

Hanya saja, para pemimpin negara tidak disebut ahli waris Nabi, karena ahli waris Nabi hanyalah para ulama, dan mereka sejatinya mewarisi ilmu beliau dan tugas-tugas yang berkaitan dengan ilmu itu, seperti mengamalkan, mengajarkan, berdakwah, menegakkan amar makruf dan nahi mungkar kepada semua golongan, dsb. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  

«إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ» 

“Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu, barang siapa mengambil warisan itu, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”2  

Seorang penuntut ilmu yang kecipratan tugas mengemban dakwah yang mulia ini, juga termasuk ahli waris para nabi sesuai dengan kadar ilmu yang dia miliki. Barangkali di suatu tempat ia sudah dianggap alim, namun ia lebih memilih disebut ustaz atau dai, sebab sebutan ulama membawa konsekuensi yang tidak ringan baginya. 

Tanggung Jawab Para Ulama dan Dai 

Bisa dikatakan bahwa hampir seluruh negara di dunia sekarang menganut sistem/asas demokrasi dalam pemerintahan. Pada umumnya negara-negara tersebut tidak terlepas dari cengkraman Liberal atau Sekuler dalam perundang-undangan dan ideologi bernegaranya, meski mayoritas rakyat di negaranya beragama Islam. Sampai hari ini hanya dua negara yang mendeklarasikan syariat Islam sebagai pedoman dasar negara, yakni Arab Saudi dan Brunei Darussalam.  

Baca Juga  Makna Ketakwaan Pasca Ramadhan

Di negara yang menerapkan syariat Islam, tugas dan tanggung jawab para ulama dan para dai lebih ringan dibandingkan negara lain, karena pemerintah bertanggung jawab secara langsung merealisasikan syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan, dalam setiap peraturan dan keputusan. Berbeda jauh dengan negara-negara yang tidak menerapkan syariat Islam. 

Dalam beberapa poin berikut, penulis mencoba merumuskan tugas utama para ulama dan dai sebagai ahli waris para nabi 

1. Mengajak manusia kepada Islam dan menauhidkan Allah Ta’ala. 

Seluruh kaum muslimin memiliki kewajiban menyeru manusia kepada agama Allah, masing-masing sesuai dengan kapasitas dan otoritasnya. Tetapi kaum ulama dan para dai harus berada di garda terdepan. Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.(QS. An-Nahl: 125). 

Tugas ini menjadi lebih berat ketika umat menghadapi krisis yang melanda, seperti saat ini di mana covid-19 mengancam nyawa dan kehidupan manusia di dunia, di kala orang-orang merasa takut tertular virus sehingga tidak berani keluar rumah. Padahal, di sisi lain mereka harus tetap bekerja demi mencari nafkah buat diri dan keluarga, bahkan sebagian dari mereka terpaksa terjebak dalam dua pilihan; bersabar dan bertahan dalam kelaparan atau berbuat haram.  

2. Mengajari dan Mentarbiah Umat. 

Tugas utama para alim, ustaz dan dai adalah mengajari manusia urusan agama mereka, dimulai dari tauhid, ibadah sampai pada muamalah dan akhlak karimah. Selain itu, tugas yang tak kalah pentingnya adalah tarbiah dan kaderisasi generasi muda.  

Bila mereka mengajarkan umat ilmu agama dengan lisan, maka setiap orang yang mengamalkannya akan menyumbangkan pahala baginya, dan jika di antara muridnya ada yang menjadi ulama maka itu pun menjadi sedekah jariah baginya. Bila ia memilih menyampaikan ilmu melalui karya tulis, maka karya tulisnya akan terus dibaca dari generasi ke generasi dan diambil manfaat darinya, sesuai kadar keikhlasan penulisnya. 

Para ulama dan dai harus mengambil peran utama dalam menyiapkan kader calon pemimpin dan ulama masa depan, tidak membiarkan kepemimpinan dipegang oleh oknum ruwaibidhah (orang bodoh yang berkuasa). Inilah salah satu visi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Sepeninggal beliau semua sahabatnya langsung melanjutkan estafet perjuangan beliau di segala bidang, dan boleh diklaim bahwa hampir semua dari mereka kapabel dan profesional di bidangnya masing-masing.  

3. Menjaga kemurnian agama dan mengcounter semua syubuhat. 

Jika dokter bertugas membantu manusia agar terbebas dari penyakit yang menyerang tubuhnya, maka para ulama dan dai bertugas mengobati dan membebaskan manusia dari ideologi sesat dan semua syubhat. Konfrontasi antara kebenaran Islam dan kesesatan kufur mengakibatkan serangan terhadap kemurnian Islam begitu masif, mulai dari serangan nyata kepada Al-Quran dan hadis Nabi, sampai kepada perkara-perkara parsial dalam agama Islam. 

Dalam hal ini, para alim dan dai berperan seperti kompas yang senantiasa menunjukkan jalur yang benar dan mencegah manusia dari salah atau hilang haluan. Menjaga kemurnian agama dimulai dengan memberikan imunisasi bagi kaum muslimin dengan mengajarkan prinsip-prinsip dasar agama, kaidah-kaidah umum dan pengagungan pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Baru kemudian menjelaskan semua tuduhan, syubhat dan membongkar berbagai proyek Liberalisasi dan Sekularisasi Islam.  

Baca Juga  Gagal Paham Seorang Dai (2)

Jika tidak, maka kaum muslimin akan ditutupi kabut keraguan, tidak bisa membedakan ajaran agama dari perkara-perkara asing yang menempel atau ditempelkan padanya. Pada realitasnya, kita menyaksikan banyak kaum muslimin mengikuti adat kebiasaan atau bahkan doktrin agama lain tanpa ia sadari. Memang benar, realitas ini akan benar-benar terjadi sesuai sabda Rasulullah, “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” 3  

Tapi bukan berarti kita harus hanya berpangku tangan, bersantai sambil menyaksikan kaum muslimin lupa akan identitas keislamannya, meniru  dan mengikuti figur serta doktrin agama lain, sampai akhirnya terjerumus dalam lubang kesesatan. Hadis ini mengimplisitkan peringatan kepada para ulama dan dai sepanjang masa, bahwa mereka harus bekerja keras menjaga umat dari rayuan dan ancaman doktrin pemikiran dan ideologi sesat.   

4. Menegakkan amar makruf dan nahi munkar secara bijaksana. 

Amar makruf dan nahi mungkar adalah jaminan sosial agar umat ini tetap menempati nominasi umat terbaik. Tugas menyeru kepada kebaikan banyak ustaz dan dai yang melakukannya, tetapi yang jarang dilakukan adalah mencegah manusia dari perbuatan mungkar, lebih langka lagi yang berani mencegah kemungkaran para penguasa. 

Eksistensi orang-orang yang senantias menebar kebaikan, menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran menjadi jaminan langsung suatu negeri selamat dari kehancuran. Allah Ta’ala berfirman, Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud: 17). 

Di antara kemungkaran terbesar yang harus dicegah setelah syirik adalah kemungkaran para penguasa. Sebab, jika para penguasa dan orang-orang kaya di suatu negeri sudah semakin zalim dan durjana, itu merupakan tanda kehancurannya. Allah Ta’ala berfirman, Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS. Al-Isra: 16). 

Kehancuran ini tidak akan terjadi -biidznillah- jika kaum ulama dan dai sebagai garda reformasi terdepan, melaksanakan syiar amar makruf dan nahi mungkar kepada semua elemen masyarakat, utamanya para pemebesar dan pejabat negara yang melampaui batas 

Fakta ini dengan gamblang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis safinah (kapal laut) yang diriwayatkan oleh sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  

“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya, seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah kapal. Lalu orang yang berada di bawah bila hendak menngambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas, lantas mereka berkata, “Seandainya boleh kami lubangi saja kapal di bagian kami sehingga kami tidak perlu mengganggu orang yang berada di atas kami.” Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah mereka maka mereka akan selamat semuanya.”4  

Baca Juga  Semua Nikmat Akan Ditanya di Hari Kemudian

Jika kemungkaran penguasa sudah berdampak luas, membahayakan eksistensi negara dan kemurnian agama, maka ulama harus bangkit mencegahnya dengan elegan dan bijaksana, meskipun terkadang nyawa jadi taruhannya. Dalam sejarah perkembangan Islam dan di bawah dinasti kekhalifahan, kita membaca bersama kisah-kisah heroik para ulama Islam dalam menegakkan amar makruf dan nahi mungkar kepada penguasa, tersebutlah kisah Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Sultanul Ulama Izzuddin bin Abdissalam, dll. 

5. Aktif dalam kegiatan sosial masyarakat. 

Berlomba-lomba dalam kebaikan di kalangan ulama tidaklah terbatas pada sisi ilmiah dalam mencerdaskan umat di bidang agama, melainkan dalam segala medan kebajikan termasuk berderma dengan harta. Marilah kita dalami bersama kisah Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiyalahu ‘anhuma berikut:  

Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar bersedekah, dan itu bertepatan saat aku mempunyai harta. Maka aku pun bergumam, “Jika hari ini aku bisa bersegera, maka aku akan dapat mendahului Abu Bakar.” Kemudian aku datang dengan membawa setengah hartaku, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ”Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” Aku menjawab, “Harta yang sama seperti itu.” Umar berkata, Abu Bakar kemudian datang dengan membawa seluruh harta yang ia miliki. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, ”Wahai Abu Bakar! Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu? Ia menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya”. Maka aku katakana, “Selamanya aku tidak akan bisa mengalahkanmu dalam beramal apa pun.” 5  

Sebagai sahabat terbaik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar radhiyalahu ‘anhuma tidak berhenti berkompetisi dalam kebaikan demi mengharap rida Allah Azza wa Jalla. Adapun bagi kita orang biasa, batas maksimal bersedekah adalah dengan sepertiga harta, sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau sampaikan di kemudian hari setelah peristiwa ini.  

Tidak kalah mengagumkan apa yang dilakukan oleh sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu saat kaum muslimin mengalami krisis keuangan yang sangat parah, sedangkan perlu persiapan maksimal menghadapi perang Tabuk. Pada saat itu Rasulullah berseru, “Siapa yang (siap) membekali Jaisy al-Usrah (pasukan yang sedang kesulitan) maka baginya surga.” 6 Kemudian Utsman bin Affan datang membawa 1000 keping uang dinar dan meletakkanya di pangkuan Rasulullah, kemudian ia pergi. Lalu Rasulullah membolak-balik harta yang diserahkan Utsman, dan bersabda, “Tidak akan membahayakan Utsman apa yang dia lakukan setelah hari ini.” Beliau mengatakannya dua kali. 7 Diriwayatkan pula bahwa Ustman menanggung setengah dari biaya pasukan Rasulullah dalam perang Tabuk tersebut.  

Begitulah idealnya seorang alim atau dai, jika dia memiliki harta ia tidak segan menyedekahkannya, jika tidak punya harta ia menjadi pelopor gerakan sosial, mengajak orang-orang kaya, para pebisnis dan pengusaha untuk mengumpulkan harta, kemudian membagikannya kepada fakir miskin, kepada pihak-pihak yang sangat membutuhkan. Bahkan, tidak segan membantu negara dalam menghadapi krisis bersama. 

Risalah yang diemban oleh seorang alim dan dai intinya adalah melanjutkan estafet perjuangan Rasulullah dan para sahabat beliau, membumikan Al-Quran dan Sunnah dalam segala aspek kehidupan, dan menjadi pelita penerang jalan kebenaran di manapun mereka berada. Wallahu a‘lam   

 

 

Abu Zulfa, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Fiqih dan Ushul, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?