Ulumul Quran

Apakah Ada Nasakh dalam Al-Quran? (Bag. 1)

Dalam hierarki sumber hukum Islam, Al-Quran menduduki posisi tertinggi sebagai sumber hukum utama yang tak bisa ditawar-tawar keabsolutannya. Sebab itu, sebagai pemeluk agama Islam, seorang muslim harus menjadikan Al-Quran sebagai asas utama dalam hidup ini, serta berusaha mengimplementasikan kandungannya sesuai pemahaman salafussalih.

Namun, apa jadinya bila di dalam sumber hukum seperti Al-Quran terdapat beberapa ayat atau syariat yang ternyata sudah tidak berlaku, telah digantikan dengan hukum lain, atau telah dihapus secara mutlak tanpa ada syariat lain yang menggantikan posisinya?

Jika kita menilik kembali era kenabian Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam ketika wahyu masih diturunkan, maka kita akan mendapati bahwa ada beberapa syariat yang pada awalnya diwajibkan. Lalu datang hukum baru yang menghapuskan kewajiban tersebut, atau menetapkan syariat lain yang semisal dengannya.

Konsep yang berkaitan dengan penghapusan syariat ini dinamakan dengan nasakh. Syariat yang dihapus dinamakan dengan mansukh, dan syariat yang datang menggantikan posisinya dinamakan dengan nasikh.

Para ulama Al-Quran maupun Usul Fikih jauh hari telah menelaah dan merumuskan masalah ini, baik ulama klasik maupun kontemporer. Ada banyak diskursus dan diskusi yang sangat panjang dan alot antara satu pandangan terhadap pandangan yang lain mengenai makna dan klasifikasi nasakh, tentu berdasarkan ijtihad dan kapabilitas ilmu yang mereka miliki.

Konsep nasakh dalam agama Islam sendiri mencakup berbagai sumber baik sumber hukum yang berasal dari ayat Al-Quran maupun Hadis Nabi shallahu ‘alaihi wasallam. Namun, pada artikel ini hanya akan fokus pada konsep nasakh terhadap ayat Al-Quran saja mengingat pembahasan tentang ilmu ini sangat luas riset dan kajiannya.

Definisi Nasakh

Secara etimologi, nasakh berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna dan kerap kali digunakan untuk dua hal yang berbeda:

Baca Juga  Pengumpulan dan Penulisan Alquran (1)

Pertama, nasakh bermakna izalah, yaitu menghapus atau menghilangkan. Makna ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

فَيَنسَخُ ٱللَّهُ مَا يُلۡقِي ٱلشَّيۡطَٰنُ ثُمَّ يُحۡكِمُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ

“Maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu, dan Allah akan menguatkan ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-Hajj: 52)

Kedua, nasakh bermakna naql, yaitu memindahkan atau menyalin atau mencatat. Ini selaras dengan firman Allah Ta’ala:

إِنَّا كُنَّا نَسۡتَنسِخُ مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

“Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatatapa yang telah kerjakan.” (QS. Al-Jatsiyah: 29)

Dari kedua makna di atas, makna pertama lebih sejalan dengan maksud nasakh yang diinginkan oleh para ulama, yaitu menghapus atau menghilangkan. Lebih lanjut lagi, kata nasakh dan mansukh telah menjadi kata baku tersendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu menasakhkan yang artinya menghapuskan; menghentikan, serta mansukh dengan artian batal; terhapus; tidak berlaku lagi.

Sedangkan secara epistemologi ialah penghapusan suatu hukum syar’i dengan hukum syar’i lain yang datang setelahnya. (Lihat: Manahil al-‘Irfan, az-Zurqani, jilid 2 hal. 211).

Setelah mengetahui makna-makna istilah di atas, kita jadi tahu bahwa dalam konsep syariat Islam terdapat istilah pembatalan atau penghapusan syariat. Namun, dari manakah sumber-sumber info nasakh tersebut, apa saja klasifikasi para ulama terhadap ilmu nasakh, serta apakah nasakh terhadap ayat Al-Quran betul-betul konkret, valid dan disepakati eksistensinya oleh semua ulama dan ahli tafsir?

Untuk pertanyaan pertama tentu jawabannya berasal dari akhbar para sahabat yang hidup berdampingan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sumber hukum absolut, sehingga informasi tentang nasakh tentu berasal dari mereka serta murid-murid mereka.

Beberapa ulama juga mengelompokkan nasakh menjadi beberapa bagian. Di antara klasifikasi nasakh yang populer di antaranya:

Baca Juga  Pentingnya Ilmu Tafsir

Pertama, dari aspek beban: nasakh dari amalan berat ke amalan ringan, dari amalan ringan ke amalan berat, dan nasakh dari amalan tertentu kepada amalan yang sepadan.

Kedua, dari aspek sumber hukum: nasakh ayat Al-Quran terhadap ayat yang lain, nasakh ayat Al-Quran terhadap Sunah, nasakh Sunah terhadap Sunah yang lain, dan nasakh Sunah terhadap ayat Al-Quran.

Ketiga, dari aspek ayat Al-Quran dan hukum isinya: nasakh ayat tertentu namun hukumnya tetap berlaku, nasakh hukum tertentu namun ayatnya tetap dibaca, atau nasakh suatu ayat dan hukumnya bersamaan.

Contoh nasakh dari amalan berat ke amalan ringan adalah masa ‘iddah bagi wanita yang telah bercerai. Awalnya adalah satu tahun, lalu dikurangi menjadi tiga bulan atau tiga masa haid/suci.

Contoh nasakh dari amalan ringan ke amalan berat ialah puasa wajib yang dahulunya hanya dibebankan pada satu hari, yaitu Asyura. Ia lalu diganti menjadi puasa 30 hari di bulan Ramadhan. Tentunya ini melihat maslahat pahala yang berlipat ganda dan kemuliaan terhadap umat ini dengan dijadikannya Ramadan sebagai bulan ibadah dan puasa.

Contoh nasakh dari amalan tertentu kepada amalan yang sepadan adalah pengalihan arah kiblat dari arah Masjidilaqsa di Palestina ke Masjidilharam di Makkah. Kedua hal ini sepadan dan tidak ada yang berat dari yang lainnya. Bersambung.

Mu'tashim Billah, Lc

Mahasiswa S2 Qassim University, KSA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?