Apa Persyaratan Imam Shalat?

ASSALAMU ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH .APA PERSYARATAN IMAM 🙏🙏
Jawab
*Syarat-Syarat Imamah (Kepemimpinan dalam Shalat)*
*Cabang Pertama: Islam*
Disyaratkan bagi imam agar beragama Islam, karena tidak sah shalat diimami oleh orang kafir.
Dalil-dalilnya:
1. Dari Sunnah
Dari Abu Sa‘īd al-Khudrī رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
> ((إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ، وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ))
“Jika mereka (yang shalat) tiga orang, maka hendaklah salah satu dari mereka menjadi imam, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaannya.”
(HR. Muslim)
Sisi pendalilan:
Imam yang kafir tidak sah menjadi imam, karena ia tidak memiliki bacaan (Al-Qur’an) yang sah.
2. Dari Ijma‘ (kesepakatan ulama)
Ibnu Hazm menukil adanya ijma‘ bahwa tidak sahnya imam yang kafir.
3. Karena orang kafir bukan termasuk ahli shalat.
4. Karena shalatnya sendiri tidak sah, maka otomatis tidak sah pula menjadi imam bagi orang lain.
*Cabang Kedua: Berakal*
Disyaratkan bagi imam untuk berakal, maka tidak sah shalat diimami oleh orang gila.
Dalil-dalilnya:
1. Dari Ijma‘
Ibnu Taimiyyah menukil adanya ijma‘ tentang tidak sahnya shalat orang gila.
2. Karena shalatnya sendiri tidak sah, maka tidak sah pula bagi orang lain mengikutinya.
*Masalah: Imamah Orang Mabuk*
Tidak sah shalat diimami oleh orang yang mabuk.
Dalil-dalilnya:
1. Dari Ijma‘
Ibnu Taimiyyah menukil adanya ijma‘ bahwa shalat orang mabuk tidak sah.
Jika shalatnya sendiri tidak sah, maka tidak sah pula menjadi imam bagi orang lain.
2. Qiyās (analogi) dengan orang gila; keduanya tidak memiliki kesadaran.
3. Karena orang mabuk dilarang mendekati shalat dan masjid, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
> لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.”
(QS. An-Nisā’: 43)
*Cabang Ketiga: Laki-laki*
Disyaratkan bagi imam agar laki-laki, maka wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.
Jika hal itu dilakukan, maka shalat mereka batal.
Hal ini merupakan kesepakatan empat mazhab: Ḥanafiyyah, Mālikiyyah, Syāfi‘iyyah, dan Ḥanābilah, bahkan telah diriwayatkan adanya ijma‘ (kesepakatan ulama).
Dalil-dalilnya:
1. Dari Sunnah
Dari Abu Bakrah رضي الله عنه, ia berkata:
لقدْ نفَعني اللهُ بكلمةٍ أيَّامَ الجَمَل: لَمَّا بلغَ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّ فارسًا ملَّكوا ابنةَ كِسرى، قال: ((لنْ يُفْلِحَ قومٌ ولَّوْا أمرَهم امرأةً ))
> “Aku telah mendapat manfaat dari suatu perkataan Nabi ﷺ pada hari peristiwa Jamal, yaitu ketika sampai kepada Nabi ﷺ bahwa bangsa Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin mereka, beliau bersabda:
((لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً))
‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.’”
(HR. al-Bukhari)
Sisi pendalilan:
Jamaah shalat menyerahkan urusan kepemimpinan kepada imam; maka tidak sah jika wanita dijadikan imam bagi mereka.
2. Dalil lain:
Nash-nash syar‘i menunjukkan anjuran agar wanita berada di saf paling belakang, sementara laki-laki di depan, hal ini menunjukkan tidak bolehnya wanita mendahului laki-laki dalam shalat (sebagai imam).
3. Karena hal itu dapat menimbulkan fitnah (godaan) yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat laki-laki jika wanita berada di depannya atau di sampingnya.
Masalah Pertama: Imamah Khuntsā (banci) bagi laki-laki
Tidak sah khuntsā musykil (yang tidak jelas jenis kelaminnya) menjadi imam bagi laki-laki.
Ini juga kesepakatan empat mazhab: Ḥanafiyyah, Mālikiyyah, Syāfi‘iyyah, dan Ḥanābilah, karena ada kemungkinan dia seorang wanita.
Masalah Kedua: Imamah Khuntsā bagi wanita
Sah khuntsā musykil menjadi imam bagi wanita, menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama) dari mazhab Ḥanafiyyah, Syāfi‘iyyah, dan Ḥanābilah.
Karena jika ternyata dia laki-laki, maka imam laki-laki untuk wanita sah, dan jika ternyata dia wanita, maka imam wanita untuk wanita juga sah.
*Cabang Keempat: Mampu Membaca (Al-Fatihah dan bacaan shalat)*
Kemampuan membaca adalah syarat sah imamah.
Tidak sah bagi orang yang mampu membaca untuk shalat bermakmum kepada orang yang bisu, dan ini merupakan kesepakatan empat mazhab: Ḥanafiyyah, Mālikiyyah, Syāfi‘iyyah, dan Ḥanābilah.
Sebab, orang yang bisu meninggalkan rukun shalat, yaitu bacaan (qirā’ah) dan takbiratul ihram, serta tidak mampu menggantinya dengan pengganti yang sah.
Wallahu a’lam



