Usul Tafsir

Alquran Sebagai Sumber Penafsiran

Serial Usul Tafsir (bag. 2)

Alquran Sebagai Sumber Penafsiran

Tafsir Alquran dengan Alquran adalah menjelaskan makna suatu ayat dengan ayat yang lain. Alquran dijadikan sebagai sumber karena dua alasan:

  1. Sudut pandang syariat; karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menggunakannya, seperti apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahihnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu: “Ketika turun ayat:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman” [QS. al-An’am: 82]; kami bertanya: Wahai Rasulullah, mana ada di antara kami yang tidak menzalimi (menganiaya) dirinya sendiri?! Beliau menjawab: “Bukan demikian, maksud dari kezaliman pada ayat:) tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman(, adalah kesyirikan, tidakah kalian mendengar perkataan Lukman kepada putranya:

ۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” [QS. Luqman: 13]([1]).

  1. Sudut pandang rasional; pembicara lebih tahu apa yang dikatakannya. Adapun jenis penafsiran tersebut, diantaranya:
  • Menjelaskan maknanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Thabari dari Ibnu Zaid tentang penafsiran firman Allah azza wajalla:

ٱحْشُرُوا۟ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ وَأَزْوَٰجَهُمْ وَمَا كَانُوا۟ يَعْبُدُونَ

(Diperintahkan kepada malaikat) Kumpulkanlah orang-orang yang berbuat zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah” [QS. ash-Shaffat: 22].

Beliau mengatakan: teman sejawat mereka (itu adalah) berupa amalan perbuatan. Lalu ia membaca:

وَكُنتُمْ أَزْوَٰجًا ثَلَٰثَةً فَأَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ مَآ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ وَأَصْحَٰبُ ٱلْمَشْـَٔمَةِ مَآ أَصْحَٰبُ ٱلْمَشْـَٔمَةِ وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلسَّٰبِقُونَ

Kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga)” [QS. al-Waqi’ah: 7-10]([2]).

  • Mengkhususkan yang umum, seperti pengkhususan perempuan Ahli Kitab yang terdapat dalam firman Allah azza wajalla:

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ

Baca Juga  Definisi dan Sejarah Usul Tafsir

Janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka beriman” [QS. al-Baqarah: 221], dengan ayat:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَٰمُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka, dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang beriman dan dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu” [QS. al-Maidah: 5], menurut ulama yang mengkhususkan ini dengannya.

  • Membatasi yang mutlak, seperti permohonan ampunan dari para malaikat yang terdapat pada firman Allah azza wajalla:

 وَٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَن فِى ٱلْأَرْضِ

Para malaikat bertasbih dengan memuji Rabbnya, dan memohonkan ampunan untuk orang yang ada di bumi” [QS. asy-Syura: 5], diperuntukan hanya bagi orang-orang yang beriman sebagaimana dalam ayat:

ٱلَّذِينَ يَحْمِلُونَ ٱلْعَرْشَ وَمَنۡ حَوْلَهُۥ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِۦ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟

(Para malaikat) yang memikul Arsy dan yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Rabbnya, dan mereka beriman kepada-Nya, serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman” [QS. Ghafir: 7].

Dilihat dari subjeknya keabsahan tafsir Alquran dengan Alquran ada tiga macam:

1. (Redaksi Alquran) yang tidak mungkin adanya perselisihan. Ini hujjah (landasan kuat); karena menyerupai ijmak, seperti tafsir (الطَّارِقُ) dalam firman Allah azza wajalla:

وَٱلسَّمَاءِ وَٱلطَّارِقِ

Demi langit dan yang datang pada malam hari” [QS. ath-Thariq: 1], dengan ayat:

النَّجْمُ الثَّاقِبُ

(Yaitu) bintang yang bersinar tajam” [QS. ath-Thariq: 3].

Baca Juga  Definisi dan Sejarah Usul Tafsir

2. (Redaksi Sunnah) yang diriwayatkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ini juga hujjah, seperti penafsiran beliau terhadap kata (الظُّلْم / kezaliman) dengan (الشِّرْك / kesyirikan).

3. Ijtihad para ahli tafsir, bisa benar ataupun salah, dan diterima atau tidaknya (ijtihad tersebut) tergantung kedudukan penafsirnya; semakin tinggi kedudukan ahli tafsir tersebut semakin besar kemungkinan untuk diterima dari yang lainnya.

Penafsiran Alquran dengan Alquran dengan pemahaman seseorang tidak selalu benar apalagi dikatakan lebih sahih dari yang lain. Sebab terkadang penafsir adalah seorang ahli bidah yang menafsirkan ayat menurut landasan (keyakinan) yang mereka pegang, maka tidak bisa diterima dikarenakan landasan yang menyimpang tersebut.

Penafsir ketika menafsirkan ayat dengan ayat yang lain haruslah berasaskan adanya keterkaitan antara kedua ayat tersebut, diantara bentuk keterkaitan yang dimaksud:

a. Kesamaan peristiwa dengan ungkapan yang berbeda, seperti kata (السِّجِّيْل) dalam kisah kaum Luth dalam firman Allah azza wajalla:

  وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ

Dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar” [QS. Hud: 82], maksudnya adalah tanah liat, sebagaimana yang terdapat dalam ayat:

لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِّن طِينٍ

Agar kami menimpa mereka dengan batu-batu dari tanah liat” [QS. adz-Dzariyat: 33]; karena ada kesamaan peristiwa (antara keduanya).

b. Kata-kata yang sepadan itu memiliki makna yang sama, seperti (التزويج) pada firman Allah azza wajalla:

وَإِذَا ٱلنُّفُوسُ زُوِّجَتْ

Dan apabila ruh-ruh dipertemukan” [QS. at-Takwir: 7], dengan ayat:

ٱحْشُرُوا۟ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ وَأَزْوَٰجَهُمْ

Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka” [QS. ash-Shaffat: 22].

Di antara ahli tafsir yang paling menonjol dalam  penafsiran Alquran dengan Alquran adalah; Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi, Abdurrahman bin Zaid, Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, al-Amir Shan’ani, Tsanaullah al-Hindi Amratasri, dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi.

Baca Juga  Definisi dan Sejarah Usul Tafsir

Adapun manfaat yang bisa dipetik oleh penafsir di berbagai bidang dan aspek sangat banyak sekali, seperti bidang tarjih (memilih pendapat yang paling kuat) yang terdapat dalam Alquran, dan menghimpun ayat-ayat yang serupa maknanya.

Adapun manfaat selain di bidang tafsir, seperti tafsir firman Allah azza wajalla:

وَلَقَدْ زَيَّنَّا ٱلسَّمَآءَ ٱلدُّنْيَا بِمَصَٰبِيحَ وَجَعَلْنَٰهَا رُجُومًا لِّلشَّيَٰطِينِ ۖ

Sungguh telah Kami hiasi langit dunia dengan bintang-bintang, dan kami jadikan (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan” [al-Mulk: 5], berkata Qatadah: “Sesungguhnya Allah menciptakan bintang untuk tiga perkara; sebagai hiasan langit dunia, alat pelempar setan, dan tanda petunjuk (jalan manusia)”([3]). Masih banyak manfaat tafsir Alquran dengan Alquran; baik dalam hal menyimpulkan, mengutip, mengaplikasikan, maupun yang lainnya.

([1] (Shahih Bukhari (Kitab kisah-kisah para nabi, Bab firman Allah ta’ala “Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih” ]an-Nisa: 125], No: 3360).

([2] (Tafsir al-Thabari (19/521).

([3] (Tafsir al-Thabari (23/123).

Sadnanto. BA. MA

Kandidat Doktor Ulumul Hadis Universitas Islam Madinah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?