Akhir Yang Baik
Tidak asing bagi kita istilah “husnul khotimah” yang berarti “akhir yang baik”. Namun istilah tersebut seringkali diucapkan sebagai doa untuk memohon kepada Allah ta’ala akhir kehidupan yang baik, atau wafat dalam keadaan yang baik. Padahal “husnul khotimah” boleh saja diucapkan sebagai doa untuk memohon kepada Allah ta’ala akhir yang untuk suatu hal yang Lebih umum, misalnya, penutup hari, akhir Pekan, akhir bulan atau tahun, seperti ucapan: semoga akhir hari anda baik, akhir pekan kita bahagia, bolehkan? Boleh insyaa Allah, kenapa tidak?
Ada doa yang Diriwayatkan oleh busr bin arthoah dari Rasulullah saw namun dilemahkan oleh syaikh Al albany untuk memohon akhir atau penutup yang baik dalam segala urusan:
(اللَّهُمَّ أحسِن عاقبتَنا في الأمورِ كُلِّها وأجِرنا مِنَ خزيِ الدُّنيا وعذابِ الآخرةِ)
Artinya: ya Allah jadikanlah baik akhir segala urusan kami, dan lindungi kami dari kehinaan dunia dan Silas akhirat”.
Oleh karenanya, Jika boleh saya ucapkan untuk anda dan kita semua semoga Allah mengkaruniakan akhir tahun 1444 H yang baik atau semoga kita semua mendapatkan “husnul khotimah” diakhir tahun 1444 H ini, aamiin.
Sangat baik bila kita selalu mengingat dan mengucapka doa ini setiap saat bersamaan dengan tarikan nafas, karena setiap kita tidak ada yang tahu kapan tarikan nafas ini akan terhenti, yang pasti jika nafas terhenti itulah akhir kehidupan, mudah-mudahan dengan senantiasa mengingat dan mengucapkan doa “husnul khotimah” kita menjadi terbiasa untuk selalu berada dalam keadaan terbaik, dalam ibadah kepada Allah ta’ala, maupun dalam akhlak dan perbuatan kepada sesama hamba dan makhluk Allah yang lain.
Ukuran baik menurut Al Quran
Untuk memahami ukuran tersebut saya ingin mengajak anda untuk menghayati firman Allah ta’ala yang berbunyi :
﴿لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ﴾
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Hajj 22: Ayat 37).
Sebelum menyelami kandungan ayat tersebut, yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut merupakan penutup dari untaian ayat-ayat haji dan kurban dalam surah al hajj yang dimulai dari ayat ke 26 Hingga ayat ke 37. tujuh dari Sebelas ayat-ayat tersebut menjelaskan ibadah yang sangat agung yaitu haji yang menempati rukun ke lima/ terakhir dalam rukun-rukun islam, yang tidak bisa ditunaikan- demikian juga ibadah kurban- kecuali dibulan zulhijjah yang merupakan akhir dan penutup bagi bulan-bulan islam/ hijriyah.
Kesamaan Sebagai akhir dan penutup sebagaimana dalam uraian diatas menjadikan ayat ke 37 sangat menarik untuk ditadabburi- tentu semua ayat-ayat Al quran sangat menarik untuk ditadabburi-.
Imam ibnu katsir Berkata ayat diatas diturunkan untuk menjelaskan bahwa Allah akan menerima ibadah bila seseorang mengerjakannya dengan ikhlas. Syaikh As sa’di juga berkata dalam tafsirnya: ayat tersebut menganjurkan ikhlas dalam berkurban, dan hendaknya tujuan dalam beribadah adalah ridlo Allah subhaanah, bukan riya, sum’ah, berbangga, atau adat kebiasaan, karena ibadah tanpa keikhlasan, ibarat cangkang/kulit tanpa buah, atau jasad tanpa ruh/nyawa.
Ya keikhlasan, inilah ukuran baik menurut Al quran, perhatikan petikan ayat dibawah ini:
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu”
Begitu gamblang dan jelas seperti matahari disiang hari, bahwa ukuran baik ibadah adalah keikhlasan, bukan bentuk dan gerakannya.Rasulullah e bersabda:
)إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ(
Artinya: sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.(H.R Muslim)
Meskipun ayat ke 37 khusus terkait ibadah kurban, namun pesan keikhlasan yang terkandung didalamnya wajib diterapkan pada ibadah-ibadah lainya. ibadah haji yang disebutkan pada ayat 26-33, seluruh rangkaian manasik haji mulai dari berihram, talbiyah, tawaf, sa’i, wukuf, mabit,melontar jumrah,dan tahallul tidak diterima disisi Allah bila dikerjakan tanpa keikhlasan.
Bukankah ini sangat menakutkan?
Dan hendaknya rasa takut ini selalu dihadirkan setiap kali beribdah kepada Allah ta’ala, karena bisa Jadi ibadah tersebut Tertolak akibat hampa dari keikhlasan.
Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam hadis qudsi:
﴿قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ﴾
Artinya: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985)
Allah ta’ala juga berfirman:
﴿عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ تَصْلٰى نَارًا حَامِيَةً﴾
” Artinya: (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas (neraka),”(QS. Al-Ghasyiyah :3- 4).
Sudah Saatnya keikhlasan menjadi Pusat perhatian yang selalu kita kontrol dan jaga.
Kemudian apa kaitannya keikhlasan dengan “husnul khotimah” diakhir tahun 1444 H ??
Bila telah kita ketahui bahwa Allah ta’ala Tidaklah menerima ibadah kecuali dilandasi keikhlasan, maka kita tahu bahwa ibadah tersebut adalah yang paling baik disisi Allah, dan Muslim yang melakukannya adalah manusia terbaik disisiNya.
Hakikat kehidupan seseorang tidak lain adalah kumpulan tahunan, bulanan, pekanan dan harian, jam dan detik, maka kebaikan detik, jam, hari, pekan, bulan, tahun, dalam kehidupannya tidaklah diukur dengan bertambahnya harta benda dan kekayaan, atau naiknya jabatan dan statuys sosialnya ditengah masyarakat, namun ukuran akhir yang baik/ “husnul khotimah”adalah keikhlasan kepada Allah ta’ala dalam ibadah dan taat keapdaNya.
Bagaimana menanamkan ikhlas dalam ibadah?
Yang lebih penting untuk diketahui dan diamalkan adalah bagaimana menanamkan ikhlas dalam ibadah?
Ada beberapa kiat yang bisa kita petik secara tersirat dalam ayat ke 37 surah al haj yang sedang kita tadabburi, Diantara kiat-kiat tersebut adalah:
- Merasa fakir dan butuh kepada Allah ta’ala, dengan menghadirkan kelemahan dan kejahilan kita, karena jika bukan karena pertolongan Allah dan bantuanNya niscaya ibadah tersebut tidak bisa dikerjakan.
Hal diatas diatas tersirat dalam firman Allah:
﴿كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَـكُمْ﴾
“Demikianlah Dia menundukkannya untukmu”.
Dalam ibadah kurban, Allah ta’ala telah menundukkan hewan-hewan yang akan dikurbankan, sehingga mengembalakannya, menuntun, dan membaringkannya untuk disembelih menjadi mudah.
Demikian juga dalam ibadah yang lain, ketika sholat Siapa yang menundukkan tubuh kita, sehingga kaki melangkah kemasjid, kemudian berdiri tegak, tangan terangkat bersamaan dengan lisan melantunkan takbir dan selanjutnya membaca doa iftitah kemudian Surat al fatihah dan surah lain, pungung dan kepala turun dengan posisi ruku, kemudian sujud yang hampir semua anggota tubuh Mengikuti gerakan tersebut, hingga salam sebagai penutup ibadah shalat. Kita harus jujur untuk mengakui bahwa Allah ta’ala sajalah yang menundukkan anggota tubuh untuk menunaikan shalat.
Shaum,haji, dzikir, jihad, dan ibadah-ibadah yang lain sesungguhnya jika bukan karena pertolongan dan bantuan Allah ta’ala niscaya tidak bisa dikerjakan.
Jika perasasaan tadi tertanam dalam hati dan diri, insyaaAllah keikhlasan akan tumbuh. Dan kwalitas keikhlasan dalam hati kita berbanding lurus dengan rasa fakir dan butuh kepada Allah ta’ala، Serta bersihnya hati tersebut dari sifat sombong dan tidak butuh kepada Allah karena merasa mampu dengan ilmu dan kekuatan yang dimiliki.
Ada 2 kiat penting lain agar keikhlasan tertanam dalam hati kita, yang bisa dipetik dari ayat tersebut, apa saja?
Bersambung….