Ada Apa dengan Riba?
Definisi dan Hukum Riba
Kata riba (الربا) dalam bahasa Arab bermakna ziyadah (tambahan). Adapun dalam istilah syariat, riba didefinisikan sebagai:
“Tambahan pada salah satu alat tukar yang sejenis tanpa adanya pengganti untuk tambahan tersebut” (Al-Fiqhul Muyassar, hal: 221).
Riba telah diharamkan secara jelas di dalam al-Quran, Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Oleh karenanya, Allah telah mengancam pelaku riba dengan firmanNya:
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak bangkit (dari kuburnya) melainkan seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275).
“Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman. Jika kamu tidak melakukannya (tidak meninggalkan sisa riba), maka yakinlah bahwa Allah dan rasulNya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah: 279).
Di dalam Islam riba dikategorikan sebagai salah satu di antara dosa-dosa besar, di mana semua yang terlibat di dalam transaksi riba akan mendapatkan laknat dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Sahabat Jabir radhiyallahu ’anhu berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang memberikannya (meskipun tidak memakannya), pencatatnya, dan dua saksinya. Beliau berkata, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim).
Hikmah dilarangnya Riba
Di antara hikmah dilarangnya riba adalah, sebagai berikut:
- Harta yang dihasilkan dari transaksi riba tidak berkah (QS. Al-Baqarah: 276).
- Riba melahirkan sifat egois dan gaya hidup individualis, yaitu mengambil harta orang lain dengan melanggar syariat.
- Pelaku riba pada hakikatnya memakan harta orang lain tanpa memberi ganti untuk harta yang mereka ambil.
- Riba memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin.
- Riba melahirkan sifat malas dan tidak menumbuhkan sifat semangat kerja dan berusaha.
Jenis-jenis Riba
Syariat telah menentukan barang-barang yang bisa menjadi komoditi transaksi riba, atau biasa dikenal dengan barang ribawi, yaitu:
- Barang yang memiliki nilai tukar, seperti emas, perak, atau uang.
- Makanan yang ditakar atau ditimbang, seperti beras, gandum, kurma, dan sebagainya.
Adapun jenis-jenis riba ialah:
Pertama: Riba Fadhl
Yaitu tambahan pada salah satu alat tukar dalam transaksi jual beli dengan barang-barang riba yang sejenis.
Contohnya: A menjual atau menukar kontan 10 kg beras berkualitas super miliknya dengan 15 kg beras berkualitas biasa milik B. Maka tambahan 5 kg dari beras si B dikategorikan riba fadhl, karena keduanya telah menukar beras dengan beras dan melebihkan timbangan salah satunya, sementara beras termasuk barang ribawi. Transaksi seperti ini tidak boleh meskipun dilakukan secara tunai.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama (berada dalam dosa).” (HR. Muslim).
Semua barang yang dapat dijadikan sebagai alat tukar seperti mata uang sekarang ini hukumnya seperti emas dan perak. Begitu juga dengan makanan yang dapat disimpan dalam waktu yang lama dan dipertukarkan dengan cara ditimbang dan ditakar, hukumnya sama dengan makanan yang tersebut dalam hadits di atas. Ketika dipertukarkan dengan sejenisnya, maka harus memenuhi dua syarat; pertama: harus sama (takaran atau timbangannya), dan yang kedua: dilakukan secara tunai (kontan) tanpa menunda salah satunya atau kedua-duanya.
Dalam kasus di atas, jika A tetap ingin membeli beras B, maka A bisa menjual berasnya terlebih dahulu kepada orang lain, kemudian membeli beras B dengan uang hasil penjualannya itu.
Kedua: Riba Nasiiah
Yaitu tambahan pada salah satu benda yang dipertukarkan sebagai ganti penambahan waktu (tempo pembayaran), atau mengakhirkan pembayaran (tidak secara tunai) pada salah satu barang-barang ribawi ketika dipertukarkan dengan sejenisnya atau jenis yang lain.
Contoh pertama: A menjual atau menukar 1 ton beras berkualitas super miliknya dengan 1,5 ton beras berkualitas biasa, penyerahannya setelah satu tahun dari akad. Contoh kedua: A menjual atau menukar 10 kg beras miliknya dengan 15 kg gandum milik B, dan barang diserahkan setelah 3 hari.
Pada contoh pertama, akad tersebut selain termasuk riba fadhl karena adanya tambahan, juga termasuk riba nasiah karena tidak dilakukan secara kontan.
Adapun pada contoh yang kedua, transaksi itu digolongkan riba nasiah saja, karena barangnya berbeda (beras dengan gandum) dan keduanya termasuk barang ribawi pada makanan, sedang transaksinya tidak tunai. Padahal jika dilakukan secara tunai, maka akad tersebut selamat dari riba. Sama seperti emas ditukar dengan perak, dipersyaratkan satu syarat saja, yaitu: dilakukan secara tunai meskipun kadarnya tidak sama.
Syarat sama kadar dan tunai tidak berlaku pada jual beli barang ribawi makanan dengan barang ribawi bernilai tukar, seperti membeli beras dengan uang. Boleh beda dan pembayarannya boleh ditunda.
Riba pun kerap terjadi pada akad utang piutang, yaitu si pemberi utang mempersyaratkan adanya tambahan ketika pembayaran utang. Contoh: A meminjamkan uang Rp. 1.000.000 kepada B dengan syarat B mengembalikannya sebesar Rp. 1.100.000, baik dibayar secara kontan pada waktu yang telah disepakati atau dibayar dengan metode cicilan. Akad riba seperti inilah yang dilakukan oleh bank-bank konvensional ketika memberikan kredit kepada nasabahnya.
Semoga kita dapat menghindari transaksi ribawi, agar kita dan keluarga tidak mengonsumsi harta haram yang hanya akan menyengsarakan kita.