6. Haji dan Cinta Rasul
HAJI DAN CINTA RASULULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM
(Oleh. H. Muhammad Lathif, Lc.)
Melalui ibadah haji kaum muslimin secara sadar atau tidak sadar mengakui pentingnya petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta keharusan untuk berpegang dengannya dalam segala amalan haji. Hal ini terlihat jelas dari semangat mereka menghadiri majlis-majlis ilmu untuk mempelajari sifat haji, tata caranya, rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya, dan hal-hal yang membatalkannya, dengan penuh perhatian dan hati-hati.
Apabila seorang muslim konsisten dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berhaji, maka dalam syariat yang lain sudah semestinya diberlakukan hal yang sama. Karena kesemuanya datang dari satu sumber yang tidak berbeda. Sebagaimana setiap orang dalam hajinya harus mengambil manasik beliau, maka demikian pula keharusan bagi setiap orang untuk mengambil petunjuknya dalam seluruh ketaatan.
Kedudukan cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Sesungguhnya termasuk dari kebahagiaan seorang hamba adalah di saat Allah menganugerahkan padanya kecintaan terhadap kekasihNya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tidak, kecintaan pada beliau adalah termasuk dari syarat keimanan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi Zat Yang jiwaku ada di TanganNya, tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai aku lebih ia cintai melebihi ayah dan anaknya”. (HR. Bukhari).
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah beriman seorang hamba sampai aku lebih dicintainya melebihi keluarga, harta dan seluruh manusia”. (HR. Muslim).
Cinta pada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga termasuk faktor utama dalam meraih kebahagiaan dunia dan akherat. Selain itu kecintaan pada beliau adalah salah satu sebab untuk mendapatkan lezatnya keimanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang terdapat pada dirinya, maka ia akan mendapatkan kelezatan iman; yaitu ketika Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduaNya, saat ia mencintai seseorang tidak lain kecuali karena Allah, serta benci untuk kembali pada kekufuran sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke dalam api”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Makna kelezatan iman adalah “Merasakan kelezatan dalam ketaatan, tabah menanggung beban dalam menjalankan agama, dan lebih memprioritaskannya dari kepentingan duniawi”. (Fathul Bari).
Kecintaan pada beliau merupakan sebab untuk dapat menemani beliau di surga yang penuh kenikmatan. Abdullah bin Mas’ud radhiyallah ‘anhu meriwayatkan, bahwa ada seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Apa pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum akan tetapi belum menjumpai mereka?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Barometer cinta
Kita semua mengatakan cinta kepada Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau lebih dicintai dari pada ayah, anak, dan seluruh manusia. Namun, apakah pengakuan kita ini sudah benar, atau dakwaan kosong belaka? Dan apakah dakwaan kita bernilai di sisi Allah Ta’ala?
Para ulama rahimahumullah menyebutkan tanda-tanda dan barometer untuk mengetahui tulus tidaknya kecintaan kita pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tanda yang paling nyata adalah sebagai berikut:
- Berkeinginan kuat untuk melihat dan bersahabat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila tidak dapat, maka hal itu lebih berat baginya dari pada kehilangan apapun di dunia.
- Memiliki kesiapan penuh untuk mengorbankan jiwa dan harta dalam membela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Menunaikan apa yang beliau perintahkan sesuai kemampuan dan menjauhi segala apa yang beliau
- Membela sunnah dan syariat beliau.
Apabila tanda-tanda di atas telah ada pada diri seseorang, maka hendaknya ia memuji Allah, karena ia telah dapat mencintai sang kekasih yang mulia selanjutnya hendaknya ia memohon keteguhan.
Dan barang siapa belum memiliki sifat-sifat di atas atau sebagiannya, maka hendaknya ia mawas diri sebelum datang hari hisab, selanjutnya berusaha keras untuk memprosesnya selama kesempatan masih Allah berikan.
Tanda Pertama
Berkeinginan kuat untuk melihat dan bersahabat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila tidak dapat, maka hal itu lebih berat baginya dari pada kehilangan apapun di dunia.
Kaum muslimin di Madinah mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah keluar dari Mekkah untuk berhijrah, maka mereka keluar setiap pagi hari menuju luar (tepi) kota, lalu mereka menunggu kedatangan Nabi hingga sinar matahari telah menyengat, baru mereka kembali.
Pada suatu hari ketika mereka telah lama menunggu dan akhirnya mereka kembali ke rumah masing-masing, tiba-tiba naiklah seorang laki-laki Yahudi di atas salah satu bangunan tinggi kota Madinah, kemudian ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat yang berpakaian putih. Iapun tak kuasa sampai berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Wahai bangsa Arab, itu pemimpin yang kalian tunggu-tunggu”.
Maka kaum Anshar segera memanggul senjata untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di gerbang kota Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan beriringan bersama mereka hingga kemudian tiba di perkampungan Bani ‘Amr bin Auf.” (Shahih Bukhari).
Betapa besar kerinduan mereka untuk menyambut kekasih yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tanda kedua
Kesiapan penuh untuk berkorban jiwa dan harta demi membela kekasih yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam
Buku-buku sejarah mengisahkan kepada kita tentang pengorbanan diri para shahabat demi membela Nabi tercinta. Di antaranya yang terjadi dalam perang Uhud;
Imam Ibnu Ishaq berkata, Rasulullah bersabda pada saat pasukan berada dalam kondisi genting, “Siapa yang bersedia membeli dirinya untuk kami?”. Lalu Ziad bin Sakan bersama lima orang Anshar berdiri. Ada yang mengatakan: Dia (Ziad) adalah Ammarah bin Ziad bin Sakan. Mereka bertempur untuk melindungi Rasulullah, satu per satu. Kemudian mereka pun terbunuh hingga tersisa Ziad atau Ammarah. Dia terus bertempur sampai terluka parah. Sekelompok kaum muslimin mundur dan menariknya, Rasulullah bersabda, “Dekatkan ia padaku!”, lalu mereka mendekatkannya kepada beliau dan menjadikan kaki beliau sebagai bantalnya. Akhirnya dia meninggal dalam posisi pipinya berada di atas kaki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tanda ketiga
Menunaikan segala perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjauhi larangan beliau.
Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan seseorang yang bertanya kepadanya, “Apakah keledai boleh dimakan?” Beliau diam, kemudian datang yang lainnya dan bertanya, “Apakah keledai boleh dimakan?”, beliau masih terdiam, setelah itu datang orang yang ketiga dan bertanya, “Apakah keledai boleh dimakan?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memeritahkan kepada salah seorang untuk menyerukan kepada manusia seruan berikut: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging keledai”. Maka, serta merta panci yang sedang dimasak dimatikan, padahal saat itu sedang mendidih penuh dengan daging. (HR. Bukhari).
Tidak terfikir oleh mereka untuk mencari-cari alasan, kesempatan, atau keringanan untuk dapat mencicipinya setelah adanya larangan itu. Karena mereka mengetahui dengan pasti bahwa prinsip yang paling mendasar dari orang yang mencintai adalah menuruti perintah kekasihnya meski harus mengorbankan keinginan dan hawa nafsunya.
Tanda keempat
Membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memperjuangkan syari’atnya.
Secara umum sudah diketahui, bahwa orang yang mencintai sesuatu akan mengerahkan segala yang dimilikinya untuk tujuan yang diperjuangkan oleh kekasihnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengorbankan seluruh apa yang Allah berikan kepadanya untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan terhadap Tuhan semua hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berjuang dengan sungguh-sungguh agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi dan kalimat kufur berada di dasar terendah. Beliau berperang sehingga tidak ada lagi fitnah (kemusyrikan) dan agama ini semuanya hanya milik Allah semata.
Orang-orang yang mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan mengikuti jejak dan petunjuknya, dan akan mengambil keteladanan dari sejarahnya. Mereka telah dan masih akan terus mengerahkan semua kekuatan dan kemampuan yang mereka miliki, baik harta maupun nyawa untuk tujuan yang diperjuangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Patut diingat dalam hal pujian terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa sebagian orang memuji beliau dengan cara yang keliru. Mereka mensifati beliau dengan sifat-sifat yang tidak pernah diberikan oleh Allah, tidak pula oleh diri beliau sendiri, bahkan di antara mereka mensifatinya dengan sifat-sifat yang dilarang untuk digunakan kepada selain Allah.
Apabila mereka diingatkan tentang masalah tersebut mereka beralasan, “Sesungguhnya kami mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia”, dan menuduh orang yang mengingkari perbuatannya sebagai orang yang tidak mencintai beliau. Mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang pemujaan dirinya dengan cara yang tidak benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka hendaklah kalian mengatakan, “Hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingkari orang-orang yang mensifatinya dengan sifat-sifat yang khusus milik Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingkari perbuatan orang yang berkata: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ “Atas kehendak Allah dan engkau” dengan sabdanya:
“Apakah engkau hendak menjadikan aku dan Allah sebanding? Akan tetapi (yang benar adalah) hanya kehendak Allah semata”. (HR. Ahmad).
Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari Rabi’ binti Mu’awwiz yang mengatakan bahwa dia mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Beliau bersabda, “Apa ini, janganlah kalian mengatakan seperti itu. Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian kecuali Allah”. (HR. Ibnu Majah).
Sesungguhnya pengakuan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berarti diperbolehkan untuk menyematkan sifat yang beliau larang, akan tetapi kecintaan kepadanya harus ditunjukkan dengan konsistensi dalam melaksanakan apa yang beliau perintahkan dan meninggalkan apa yang beliau larang. Allah berfirman yang artinya:
“Apa yang dibawa Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarang Rasul kepada kalian maka tinggalkanlah”. (QS. Al Hasyr: 7). []