3. Haji dan Keikhlasan
HAJI DAN KEIKHLASAN
(Oleh : H. Aswanto Muhammad, Lc.,M.A.)
Ibadah haji adalah salah satu di antara ibadah agung yang Allah syariatkan kepada hambaNya, bahkan ia bagian dari rukun Islam. Sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, ibadah haji pun dipersyaratkan keikhlasan ketika ditunaikan agar menjadi haji mabrur yang diterima di sisi Allah sebagai amal shaleh. Hakikat keikhlasan adalah beribadah hanya kepada Allah tanpa mengharapkan penilaian dari orang lain dan tidak mengharapkan ganjaran kecuali dariNya. Allah berfirman tentang keharusan ikhlas dalam beribadah, yang artinya:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110).
Khusus terkait ibadah haji Allah berfirman yang artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali Imran: 97).
Inilah yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai haji mabrur dalam sabdanya, “Haji yang mabrur tak ada balasan yang patut (bagi pelakunya) kecuali surga”. (HR. Bukhari). Makna haji yang mabrur adalah haji yang diterima di sisi Allah Ta’ala, tidak terdapat kemaksiatan di dalamnya berupa syirik, riya, harta haram dan sebagainya.
Dengan demikian, untuk mendapatkan haji yang mabrur hendaknya menunaikannya dengan niat semata-mata menjalankan ketaatan kepada Allah, tanpa mengharapkan pujian dan balasan dari makhluk.
Bentuk-bentuk keikhlasan dalam berhaji
Kalau kita perhatikan amalan-amalan ibadah haji maka kita dapat melihat bahwa ikhlas (baca: tauhid) tampak jelas sebagai poros dari setiap amalan-amalan tersebut, sejak masuk dalam manasik (amalan) haji sampai amalan penutup ibadah haji. Berikut beberapa contoh amalan ibadah haji yang menggambarkan keikhlasan hanya kepada Allah Ta’ala:
- Talbiyah
Talbiyah adalah Kalimat pertama yang diucapkan seorang muslim ketika melaksanakan ibadah haji yang hakikatnya adalah pemurnian tauhid kepada Allah dan mencampakkan segala bentuk kesyirikan. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan bahwa lafadz talbiyah yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
لَبَّيْكَ اللهم لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لك لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لك وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لك
“Aku memenuhi panggilanMu ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya pujaan dan ni’mat adalah milikMu, begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagiMu”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan mengucapkan kalimat tersebut jamaah haji memproklamirkan keikhlasannya dalam menyambut panggilan Allah untuk berhaji, semata-mata ia peruntukkan bagi Allah Ta’ala.
- Thawaf dan Sa’i.
Ketika jamaah haji melakukan thawaf dan sa’i, ia harus berjalan mengelilingi Ka’bah serta bukit Shafa dan Marwah, perjalanan yang cukup melelahkan di tengah-tengah keramaian dan kepadatan manusia, semua itu ia lakukan semata-mata untuk Allah dan atas perintah Allah, berulang kali ia mengucapkan kalimat tahlil (tauhid) ketika berada di bukit Shafa dan Marwah sebagai bentuk persaksian bahwa ia melaksanakan amalan dengan penuh keikhlasan hanya untuk Allah Ta’ala.
- Menyembelih Hadyu (Dam).
Pada tanggal 10 Dzulhijjah jamaah haji yang menunaikan ibadah haji Tamattu’ dan Qiran diharuskan menyembelih hadyu (dam). Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyembelih hewan tersebut dengan penuh keikhlasan, dengan menyebut namaNya sebagai bentuk ketaatan kepadaNya, Allah berfirman yang artinya:
“Katakan: sesungguhnya sholatku, sembelihanku (ibadahku), hidupku dan matiku semuanya milik Allah penguasa alam semesta”. (QS. Al-An’am: 162).
Dalam ayat lain Allah berfirman yang artinya: “Maka shalat dan sembelihlah (hewan qurban) untuk Tuhanmu”. (QS. Al-Kautsar: 2).
- Melempar Jumrah.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah orang pertama yang melempar jumrah di Mina kemudian menjadi bagian dari ibadah haji yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kalau Ibrahim ‘alaihis salam melempar jumrah untuk mengusir syetan yang menghalanginya, maka ketika kita melempar jumrah tidak lagi bertujuan untuk melempar syetan, tetapi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dengan menjalankan ritual tersebut dan menegakkan dzikrullah (dzikir kepada Allah) sebagai buah dari keikhlasan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat: “Sesungguhnya disyariatkannya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah untuk menegakkan dzikrullah (dzikir kepada Allah)”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi, hadis ini sanadnya lemah, yang benar bahwa ini adalah perkataan Aisyah dan bukan sabda Nabi).
- Doa dan dzikir.
Doa dan dzikir adalah inti dari ibadah. Segala ibadah yang kita laksanakan tidak terlepas dari doa dan dzikir, termasuk ibadah haji. Allah memerintahkan hambaNya untuk ikhlas dalam berdoa dan tidak melakukan kesyirikan di dalamnya, Allah berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya masjid itu hanyalah kepunyaan Allah, maka janganlah kalian menyembah siapapun selain Allah di dalamnya”. (QS. Al-Jin: 18).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan ibadah haji bersama para sahabatnya, beliau memperbanyak doa dan dzikir, hingga ketika beliau bersama sahabatnya sampai ke padang Arafah di waktu Zhuhur, beliau wukuf sambil berdoa dan berdzikir hingga terbenam matahari, di saat itu diriwayatkan bahwa beliau memperbanyak mengucapkan tahlil yang mengandung tauhid dan keikhlasan kepada Allah Ta’ala semata.
Bahaya Riya’ dan Sum’ah
Riya’ dalam beribadah ialah melakukan suatu ibadah dengan tujuan agar orang lain melihatnya sehingga mereka memujinya. Sedangkan sum’ah ialah melakukan suatu ibadah dengan tujuan agar orang lain mendengarnya lalu mereka memujinya. Keduanya sangat bertentangan dengan keikhlasan dan dapat menggugurkan pahala ibadah. Allah berfirman tentang orang yang riya’ dalam bersedekah, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (QS. Al-Baqarah: 264).
Maka sebagaimana orang yang bersedekah disertai dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan orang yang menerima sedekahnya menyebabkan pahala sedekahnya gugur, demikian juga yang bersedekah dengan disertai perasaan riya’ dapat menggugurkan pahalanya. Dalam hadis qudsi Allah berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah Rabb yang sangat tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang ia sekutukan Aku dengan yang lainnya, maka Aku tinggalkan ia dengan amal syiriknya tersebut”. (HR. Muslim).
Allah Ta’ala mencela siapa saja yang mencampuri ibadahnya dengan riya’, sebagaimana Allah mengancam celaka bagi pelakunya. Allah berfirman yang artinya:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya”. (QS. Al-Ma’un: 4-6).
Jika kita mau jujur, pada dasarnya pujian manusia tidak banyak berguna, apalagi bila kita mengetahui hakikat diri kita yang sebenarnya. Apa faedah kata “Wah” atau acungan jempol kalau ternyata kita tidak seperti yang disangkakan. Bisa-bisa hanya akan menjerumuskan kita pada sifat sombong yang tercela. Oleh karena ini para shahabat radhiyallahu ‘anhum mengajarkan doa ketika kita dipuji:
اللَّهُمَّ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ، وَاغْفِرْ لِي مَا لَا يَعْلَمُونَ
“Ya Allah, jangan Engkau siksa hamba lantaran apa yang mereka ucapkan dan ampunilah dosa hamba yang tidak mereka ketahui” (HR. Bukhari di Al-Adabul Mufrad).
Jalan menuju keikhlasan
Ikhlas dalam beribadah bukanlah perkara mudah semudah mengucapkannya, namun ia membutuhkan usaha dan kesungguhan untuk mendapatkannya. Yusuf bin Asbath berkata, “Mengikhlaskan niat dari perkara yang merusaknya lebih berat dari ibadah yang kontinyu”. Dan berkata salah seorang ulama salaf, “Sesuatu yang paling berat di dunia adalah keikhlasan, betapa sering aku menjauhkan riya’ dari hatiku namun ia tinggal dengan warna lain”.
Namun bukan berarti ikhlas sesuatu yang mustahil, ia dapat diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh. Ada beberapa cara untuk mendapatkan keikhlasan dalam beribadah, di antaranya:
- Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala. Dengan mengenal Allah melalui nama dan sifatNya, akan lahir dalam jiwa seorang hamba pengagungan kepadaNya dan bahwa Dialah satu-satunya zat yang patut untuk disembah dengan penuh keikhlasan.
- Mengenal hakikat makhluk, bahwasanya mereka adalah ciptaan Allah yang lemah yang tidak pantas untuk disembah dan diharapkan pujiannya.
- Berdoa kepada Allah untuk dikaruniakan keikhlasan dalam beribadah, karena hati manusia berada di antara jari-jemariNya, Dialah yang menguasai hati manusia dan membolak-baliknya sesuai kehendakNya.
- Mengingat keutamaan ikhlas dan derajatnya yang tinggi di sisi Allah bagi orang-orang yang ikhlas.
- Mengingat akibat dari riya’ serta tempat yang rendah lagi hina bagi orang-orang yang riya’ dalam beribadah.
- Membaca kisah orang-orang shaleh yang ikhlas dalam beribadah untuk memotivasi diri mengikuti jejaknya.
- Bersahabat dengan orang-orang ikhlas yang dapat membantu kita mengasah keikhlasan ketika melaksanakan ibadah.
Haji yang sarat dengan nilai keikhlasan ini hendaknya menumbuhkan kepekaan dalam diri kita terhadap hal-hal yang merusak amal ibadah kita, saat ini dan sepulang kita dari tanah suci. []