13. Haji dan Ibadah Harta
HAJI DAN IBADAH HARTA
(Oleh : H. Fakhrizal Idris, Lc., M.A)
Haji adalah ibadah yang istimewa, karena ibadah haji menyatukan antara, ibadah badaniyah (fisik) dan ibadah maliyah (harta). Maksudnya adalah ketika seorang muslim ingin melakukan ibadah haji maka dia harus mampu secara fisik, sehat badannya, dan kuat untuk berkendaraan melakukan perjalanan ke tanah suci Mekkah, serta memiliki harta untuk biaya perjalanan tersebut dan bekal selama melakukan ibadah yang mulia ini, baik untuk dirinya maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Hal ini berbeda dengan ibadah lain seperti shalat dan puasa, seorang muslim yang wajib melaksanakan kedua rukun Islam ini dapat menunaikannya walau hanya bermodalkan kekuatan fisik saja. Atau zakat, jika seseorang dalam kondisi terbaring sakit, dan pada saat yang sama wajib atasnya menunaikan zakat, tentu dia tetap wajib untuk melaksanakannya.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa hikmah besar dari pelaksanaan rukun-rukun Islam adalah:
- Mengorbankan sesuatu yang dicintai oleh manusia, yaitu harta dalam ibadah zakat. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya:
”Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada harta”.(QS. Al-‘Aadiyaat : 8)
- Menahan diri dari perkara yang secara tabiat merupakan kebutuhan manusia, yaitu makan dan minum serta berhubungan suami-istri ketika sedang beribadah puasa.
- Bersabar dalam menahan kelelahan fisik serta tidak bakhil membelanjakan harta dalam menunaikan haji.
Semua ini adalah bentuk ujian dari Allah Ta’ala bagi hamba-hambaNya, sebagai konsekuensi dari kalimat tauhid;
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Istitha’ah (kemampuan) dalam ibadah haji
Ibadah haji adalah kewajiban yang disebutkan Allah Ta’ala dalam Al-Quran yang artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali ‘Imran : 97).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebutkan rukun Islam yang lima bersabda: “Dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan tersebut”.(HR. Muslim).
Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah (kemampuan) dan sabil, dalam ayat dan hadis di atas?
Ulama kita menjelaskan bahwa mampu artinya memiliki kekuatan fisik, yaitu badan yang sehat dan memiliki harta.
Kemampuan harta disini adalah ketika seseorang memiliki sarana untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan bekal untuk dirinya selama proses ibadah haji, serta bekal untuk keluarga yang ditinggalkan (jika dia memiliki keluarga) sampai dia kembali.
Sarana perjalanan pada zaman sekarang dapat berupa sarana darat (bus), laut (kapal laut), atau udara (pesawat terbang), dan kesemuanya tergantung kondisi dan kebutuhan seseorang. Demikian pula sarana penginapan dan makanan, sesuai kondisi dan kebutuhan seseorang.
Segala puji bagi Allah yang Maha Kaya lagi Maha Mulia yang telah mewajibkan ibadah haji bagi hamba-hambaNya, dan ibadah ini hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup.
Agar pengorbanan dalam menunaikan ibadah haji tidak sia-sia maka harta yang dibelanjakan harus didapat dengan cara yang baik dan halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang thayyib (baik), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
”Wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah Maha Suci, dan Allah tidak menerima kecuali sesuatu yang suci (bersih) ”. (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan uang halal disini adalah uang yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan uang yang haram adalah uang yang dihasilkan dari usaha atau cara-cara yang diharamkan dalam syariat, seperti, mencuri, menipu, berdagang barang yang diharamkan syariat, transaksi berunsur riba, korupsi, dan sebagainya. Orang yang melaksanakan haji dengan biaya hasil mencuri atau korupsi, sama halnya dengan orang yang shalat dengan pakaian hasil curian, ia berdosa. Ia tidak mempunyai hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya. Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi beribadah haji.
Adakalanya seseorang mendapat harta bukan dari hasil kerjanya secara langsung, melainkan dari hibah (pemberian) atau hadiah. Biaya melaksanakan haji yang didapat dari hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan bagi pihak yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya. Sehingga kemampuan (istitha’ah) yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan (tidak diterima pula) sedekah dari (hasil) ketidakjujuran (mengambil hasil rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpin)”. (HR. Muslim).
Imam Bukhari berkata, ”Allah Ta’ala tidak menerima sedekah dari (hasil) ketidakjujuran dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang thayyib (baik), berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun“. (QS. Al-Baqarah : 263).
Akan tetapi harta halal yang didapat dari usaha sendiri lebih baik dari harta pemberian atau hadiah. Sebagaimana yang dilakukan sahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau memilih berniaga dipasar daripada menerima harta hibah (pemberian) saudaranya Sa’ad bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu.
Berbisnis saat haji
Namun demikian Allah Ta’ala dengan segala hikmahNya tidak menjadikan haji semata-mata momen dan waktu untuk mengeluarkan dan membelanjakan harta saja, namun syariat membolehkan bagi orang yang sedang beribadah haji untuk melakukan hal yang mubah yang mendatangkan penghasilan dan keuntungan, seperti berdagang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya:
”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka”. (Al-Baqarah : 27-28).
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata dalam menafsirkan ayat ini, ”Manfaat di dunia dan akhirat, di akhirat manfaat keridhaan Allah Ta’ala, sedangkan manfaat dunia apa yang mereka dapatkan dari hewan sembelihan dan keuntungan perniagaan”.
Antara haji sunah dan sedekah
Dari Qatadah, aku bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Berapa kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beribadah umrah?”, Anas menjawab, “Empat kali, yaitu; pertama: umrah Hudaibiyah (6 H) di bulan Dzulqa’dah saat dihalang-halangi kaum musyrikin, kedua: umrah yang dilakukan pada tahun berikutnya (7 H) di bulan Dzulqa’dah, ketiga: umrah Ji’ranah di saat pembagian harta rampasan perang (ghanimah) Hunain”, keempat: umrah ketika beliau berhaji. Aku bertanya lagi, “Berapa kali Nabi saw beribadah haji?” Anas menjawab, “Satu kali”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beribadah haji hanya satu kali saja, padahal beliau mempunyai beberapa kesempatan untuk beribadah haji? Mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya beribadah umrah sunah hanya empat kali saja, padahal beliau mempunyai banyak kesempatan beribadah umrah?
Bandingkan dengan sebagian kaum muslimin sekarang yang –apabila memiliki dana– ingin beribadah haji setiap tahun, dan ingin beribadah umrah setiap bulan atau setiap minggu. Sementara di sisi lain banyak sekali masyarakat muslim yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mendahulukan ibadah-ibadah sosial (ibadah muta’addiyah) seperti: jihad fi sabilillah, membantu ahlus suffah (penuntut ilmu yang tinggal disekitar masjid Nabawi) dari pada ibadah-ibadah sunah individual (ibadah qaashirah) seperti: haji dan umrah sunah. Dan demikianlah teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitab beliau Al bidayah wan Nihayah, tentang Abdullah bin Al Mubarak, ketika beliau dalam perjalanan haji sunah, beliau bertemu dengan seorang gadis kecil dan saudara laki-lakinya yang kelaparan dan dalam kondisi yang memprihatinkan, maka beliaupun membatalkan perjalanan hajinya dan menyedekahkan biaya hajinya untuk mereka dan berkata, ”Ini lebih baik daripada haji kita tahun ini”.
Imam Ahmad pernah berkata, ”Infak kepada orang yang kelaparan lebih saya cintai (dari ibadah haji sunah)”.
Hakikat harta
Pada dasarnya pemilik mutlak harta itu adalah Allah subhanahu wata’ala, hanya saja Allah mengamanahkan manusia untuk mengelolanya sehingga dapat dijadikan bekal dan sarana dalam menjalankan misi ubudiyah (penghambaannya). Dalam syariatNya Allah menetapkan ‘kepemilikan’ sementara bagi manusia bukan untuk tujuan kesenangan, namun untuk memudahkan pengelolaannya sesuai kodrat manusia.
Harta adalah ajang ujian; siapa yang syukur dan siapa pula yang kufur. Dalam ujian harta ini Allah menjadikannya sebagai perhiasan dunia yang dapat menggiurkan hawa nafsu manusia dan melalaikannya dari tujuan utama. Di beberapa ayat dalam Al-Quran Allah mengingatkan manusia akan hakikat ini agar kita menyadari betapa hina harta dunia dihadapan pahala surga yang Allah janjikan bagi mereka yang bertakwa. Allah berfirman yang artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya harta kalian dan anak kalian adalah ujian, sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang agung”. (QS. Al-Anfal : 28).
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali Imran : 14-15).
Jika demikian hakikat harta, maka tidak pantas bagi kita berambisi untuk menumpuknya dengan menghalalkan segala cara, atau menghamburkannya demi kesenangan diri dan keluarga. Kita harus selalu ingat bahwa dalam harta kita ada hak tertentu bagi fakir miskin, para pengemis, dan orang-orang yang diuji oleh Allah dengan kesempitan rizki. Ada kebahagiaan dan keindahan saat kita berbagi, baik melalui zakat, infak, wakaf, hadiah, atau sedekah.
Semoga Allah Ta’ala memberi hidayah agar kita dapat menunaikan amanah harta ini dengan sebaik-baiknya dan menjauhkan kita dari sifat orang kafir yang terperdaya oleh harta yang hanya menambah dosa mereka. []