Akidah

Kedudukan Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Sahabat Nabi adalah orang yang pernah bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya dan wafat juga dalam keadaan beriman.

Para Sahabat adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi murid dan pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sekaligus pembawa panji al-Quran dan sunnah, serta pengusung dakwah kepada generasi berikutnya hingga agama Islam ini sampai kepada kita dengan sempurna.

Sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perantara satu-satunya antara kita dengan Allah dalam memahami syariat dan tata cara beribadah, maka para sahabat merupakan perantara utama antara kita, umat Islam, dengan Nabi dalam memahami agama dan mengenal Allah. Mereka telah menghafal, memahami, dan mengamalkan serta mendakwahkan wahyu yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada generasi tabiin dan orang-orang yang datang sesudahnya.

Keutamaan Sahabat

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba. Dan Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilih beliau untuk diriNya dan mengutus beliau sebagai pembawa risalahNya. Kemudian Allah melihat hati para hamba setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai pendukung NabiNya yang berperang demi membela agamaNya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin [para sahabat], pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” [HR. Ahmad, hasan].

Para Sahabat Nabi adalah orang-orang yang paling tinggi ilmunya. Merekalah manusia-manusia yang paling paham perkataan dan perilaku Nabi. Merekalah manusia yang paling paham tentang al-Quran, karena selain mereka menguasai seluk beluk bahasa al-Quran dan sunnah, mereka juga menyaksikan proses turunnya wahyu tersebut. Sehingga mereka mengetahui waktu, tempat, konteks, dan sebab turunnya ayat-ayat al-Quran. Mereka juga melihat, mendengar, dan menyaksikan perilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung, sehingga mereka benar-benar memahami apa yang diinginkan oleh Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam Syafii menyatakan, “Mereka [sahabat Nabi] telah membawa sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Mereka menyaksikan Rasulullah saat wahyu turun kepadanya, sehingga mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh beliau; baik yang bersifat umum maupun khusus, yang berupa penegasan ataupun pengarahan.” [Manaqib al-Syafi’i, Juz I, hal. 442].

Baca Juga  Berinteraksi dengan Allah saat Dia Menyayangi Kita

Para sahabat memiliki jasa yang sangat besar kepada umat. Mereka rela mengorbankan jiwa, harta dan segala yang dimilikinya demi membela agama Allah dan RasulNya hingga agama ini sampai kepada kita dengan sempurna. Mereka rela berkorban dengan jiwa dan harta dalam menjaga agama ini serta menaklukkan negeri-negeri yang kelak dihuni dan dinikmati hasilnya oleh generasi sesudah mereka. Wajar jika mereka dipuji, diridhai, dan diterima taubatnya, bahkan di antara mereka ada yang telah dijamin masuk surga.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan untuk mereka dan memberi mereka balasan dengan kemenangan yang dekat [waktunya].” [QS. Al-Fath: 18].

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan.” [QS. al-Taubah: 117].

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku, lalu generasi berikutnya kemudian generasi sesudahnya.” [HR. Bukhari dan Muslim].

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Jangan mencaci sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka infaknya tidak akan menyamai satu genggaman tangan, bahkan setengah genggaman salah seorang di antara mereka.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Imam Nawawi berkata, “Keutamaan mendampingi Nabi, meskipun hanya sesaat, tak tertandingi dan tidak dapat diraih dengan amal apapun. Karena perkara keutamaan tidak dapat diperoleh dengan jalan qiyas [analogi]. Hal itu merupakan kelebihan yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendakiNya.” [Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Juz 16, hal. 93].

Baca Juga  Rukhsah Puasa

Kewajiban Kita Terhadap Sahabat

Karena kedudukan para sahabat sebagaimana tercantum dalam al-Quran dan sunnah, maka logis kalau setiap muslim diharuskan mengenal dan meyakini keutamaan mereka, menjunjung tinggi posisi dan kedudukannya, menepis segala tuduhan dan dusta terhadap mereka.

Menjatuhkan martabat sahabat berarti meruntuhkan agama, meragukan kredibilitas mereka berarti meragukan agama Islam, karena melalui jalan merekalah agama ini sampai kepada kita.

Imam Abu Zur’ah al-Razie berkomentar, “Jika anda melihat seseorang mencaci para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindiq [pendusta agama], karena al-Quran dan sunnah dalam pandangan kita semuanya benar, dan para sahabatlah yang mengantar keduanya kepada kita. Mereka sebenarnya bermaksud menjatuhkan para sahabat untuk memerangi al-Quran dan Sunnah. Justru orang-orang itulah yang lebih pantas dijatuhkan karena mereka adalah orang-orang zindiq.” [Dinukil oleh al-Khathib al-Bagdadi, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayah, hal. 97]

Lalu, apa gerangan di balik celaan, cacian, dan tuduhan kafir terhadap para sahabat yang terus berulang hingga saat ini, sementara mereka telah wafat dan cacian itu tidak akan sampai ke mereka? Berarti tidak ada maksud lain kecuali untuk meruntuhkan fondasi utama agama ini.

Ya, saat musuh-musuh Islam putus asa melawan Islam dengan kekuatan dan senjata, serta merasa tidak mampu meruntuhkannya melalui sisi al-Quran, pribadi Nabi, dan sunnahnya, maka mereka berusaha meruntuhkannya dengan menebarkan keraguan dan mendiskreditkan pembawa dan penyampai kedua pusaka suci ini, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Salahuddin Guntung, Lc., MA., Ph.D.

Alumni S3, Bidang Aqidah & Pemikiran Kontemporer, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?